Mohon tunggu...
ARIF NURUL IMAM NURUL IMAM
ARIF NURUL IMAM NURUL IMAM Mohon Tunggu... -

Hanya orang biasa, namun selalu optimis melihat masa depan. Tak pernah menyerah dan terus bergerak meski dengan segala keterbatasan.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Membangun Tanpa Menggusur

27 April 2012   18:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:01 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Potret pembangunan di sejumlah kota besar di Indonesia, sejauh ini,belum menunjukan keberpihakan yang jelas pada nasib kehidupan rakyat kecil. Penggusuran perkampungan warga, misalnya, adalah potret pembangunan yang hingga kini masih digemari oleh para pengambil kebijakan. Tak terkecuali di kota megapolitan Jakarta. Padahal, pembangunan sesungguhnya ditujukan sebagai daya upaya untuk menghadirkan tatanan masyarakat yang adil, makmur, nyaman, dan bahagia. Hanya saja, tujuan mulia ini acapkali justru menjadi tameng para penguasa untuk menggusur warga. Kata pembangunan seakan menjadi mantra sakti, selain alasan pembenar untuk menggusur warga. Sudah tidak terhitung lagi jumlah warga Jakarta yang justru merasa terancam serta dirugikan oleh adanya proyek yang mengatasnamakan pembangunan. Sebut saja, kawasan yang sebelumnya daerah perkampungan kumuh, tidak sedikit telah bersalin rupa menjadi hamparan bangunan gedung pencakar langit. Akibatnya, warga harus tersingkir dan berpindah ke tempat lain. Demi pembangunan, apapun boleh dilakukan, meski harus menyingkirkan rakyat kecil. Pembangunan model semacam ini, sudah tentu, bukanlah pilihan yang paling tepat dan relevan. Kita harus mencari jalan keluar, agar pembangunan sedapat mungkin bisa berjalan sebagaimana tujuan utamanya. Pembangunan yang benar-benar mampu mendorong serta meningkatkan kualitas derajat hidup manusia, seperti, tersedianya rumah layak huni , fasilitas kesehatan yang memadai, adanya ruang dan fasilitas publik, disamping tersedianya Ruang Terbuka Hijau(RTH) yang mencukupi. Bagi kota Jakarta, menghadirkan pembangunan yang ramah sosial serta ramah lingkungan bukanlah sebuah kemustahilan alias sangat memungkinkan. Aneka potensi dan sumber daya melimpah, disamping memiliki sumber pendanaan yang mencukupi. Permasalahanya, hanya pada level political will dari pengambil kebijakan. Konsep membangun tanpa menggusur, sesungguhnya tidaklah sulit dilaksanakan. Sekadar contoh, daerah perkampungan kumuh dan padat yang selama ini dibayang-bayangi oleh momok penggusuran, sangat mungkin disulap menjadi daerah yang mentereng, necis, layak, dan mempunyai daya ungkit pemberdayaan ekonomi bagi warga. Nalarnya sederhana, sebuah kawasan perkampungan kumuh yangsemula berjubel rumah warga, bisa ditata menjadi apik dan berfungsi tiga aspek. Rumah-rumah warga, harus dibangun horizontal dengan model rumah susun 3 lantai, dengan demikian, menyisakan lahan seluas sekitar 70 persen. Dari luas lahan 70 persen inilah kemudian dibagi lagi menjadi dua; separo untuk ruang publik serta RTH yang bisa digunakan, misalnya, sebagai tempat bermain anak-anak, mendirikan tempat ibadah atau kegiatan positif lainya. Sebagian lagi dapat diperuntukan sebagai kawasan bisnis yang dimiliki oleh warga. Kawasan ini bisa menjadi ladang kegiatan ekonomi produktif yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan warga. Konsep semacam ini sangat realistis, dan tidak akan menimbulkan kerugian di salah satu pihak. Tidak akan ada lagi cerita warga tergusur atau kisah pemiskinan karena pembangunan. Hanya saja, konsep pembangunan semacam ini, tidak bisa lepas dari peran pemerintah. Tugas pemerintah adalah memfasilitasi dengan membentuk Perseroan Terbatas(PT) yang di bebani tanggung jawab untuk membangun program penataan kawasan permukiman kumuh tersebut. Itu sebabnya, modal awal sebesar 50 persen berasal dari pemerintah, dan sebagian lagi merupakan modal warga. Andaikan saja, modal warga tidak mencukupi, bisa saja mengundang investor untuk menanamkan modal dengan pembatasan maksimal 20 persen. Model semacam ini, sangat terang, menempatkan warga bukan subjek untuk digusur, melainkan ajeg sebagai pemilik. Warga masih tetap memiliki, dan bahkan mempunyai potensi meraup untung dari kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan bisnis atau usaha. Ini sangat terang, pembangunan tanpa menggusur, bahkan pembangunan yang memberdayakan. Konsep pembangunan semacam inilah yang harus dijalankan saat ini dan kedepan agar warga Jakarta tidak terusir dari tanah kelahiranya lantaran proyek pembangunan. Jika bisa dilaksanakan, tentu saja, bukan hanya akan mengangkat derajat perekonomian warga semata, tapi juga akan menjadikan kawasan perkampungan kumuh menjadi kawasan yang sehat, nyaman, aman, makmur, dan bahagia sebagaimana harapan warga Jakarta.(Arif Nurul Imam - Disarikan dari diskusi dengan Bakal Calon Gubernur Independen Faisal Basri) www.faisal-biem.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun