Pagi hari setelah hujan, dimana orang-orang terburu-buru karena banyak yang telat keluar rumah, termasuk ratusan anak SMP dan SMA yang mengendarai motor menuju sekolahnya. Namun betapa kaget mereka ketika ada razia tiba-tiba disebuah sudut jalan dimana mereka sulit menghindar.
Beberapa berinisiatif menghidar dengan memutar balik, namun tak ada guna karena beberapa polisi sigap menghadang mereka, beberapa menunjukkan muka marah, menyerah, sebagian takut karena terancam terlambat ke sekolah, namun beberapa tampak sudah biasa bahwa ini resiko yang harus mereka tanggung sebagai pengemudi tanpa surat ijin mengemudi. Akhirnya mereka harus antri menerima surat tilang dan sebagian lagi menyelesaikannya di pengadilan dadakan dan berakhir dengan merelakan 10 hari uang jajannya untuk membayar denda.
Pengemudi yang berusia SMA dan sebagian SMP ini memang semacam buah simalakama. Bagaimana tidak, dalam kondisi transportasi masal yang buruk ini hampir tak ditemukan pilihan moda transportasi yang aman, nyaman dan tepat waktu untuk mengantarnya ke sekolah. Banyak jalan yang tak dilalui moda transportasi masal yang tepat waktu dan nyaman. Salah satunya di Jalan Samas yang membentang antara Bantul dan Samas. Di sepanjang Jalan ini terdapat beberapa sekolah SMA dan SMK, namun Bis umum yang melayani trayek ini dapat di hitung dengan jari dari satu tangan. Itupun kondisinya mengenaskan dan waktu tunggunya luar biasa lama.
Dalam kondisi semacam ini pilihan yang bisa diambil adalah naik sepeda, diantar orang tua, atau naik motor sendiri. Beberapa anak yang jarak tempuhnya dekat memilih untuk naik sepeda, walapun dalam era “gaul” ini sepeda menjadi pilihan kedua ketiga atau terakhir yang dipilih. Disamping dianggap lama waktu tempuhnya juga dianggap kurang gaul, hanya beberapa anak saja yang tetap menggunakannya karena tak ada pilihan lain. Beberapa orang tua sadar dengan resiko anak ketika dibiarkan mengendarai motor sendiri, lalu mengantarkan anaknya setiap pagi, namun bagi orang tua yang harus juga mengejar jam absen kantor pilihan ini menjadi pilihan kedua, ketiga dan bahkan terakhir. Mengingat banyak orangtua di Bantul bekerja di Jogja yang arahnya ke utara sedangkan mayoritas sekolah di Jalan Samas justru berangkat ke arah selatan.
Pilihan ketiga justru yang paling banyak di pilih anak-anak SMA dan SMK, membawa motor sendiri ke sekolah. Disamping lebih gaul, bisa sambil memboncengkan pacar atau gebetan pilihan ini diangap praktis bagi banyak orang tua. Karena tak harus mengantar, anak-anak cepat mencapai sekolah, dan kelihatan tidak seperti anak orang susah.
Fenomena ini dapat dilihat tiap pagi dimana jalan Samas Bantul dipenuhi dengan anak-anak SMA dan SMK yang mengendari motor sendiri ke sekolah. Beberapa juga masih berseragan SMP yang jelas belum usianya memiliki Surat Ijin Mengemudi.
Di satu sisi, motor bagi mereka ini menjadi sebuah kebutuhan mengingat kondisi transportasi yang buruk, namun di sisi lain ini secara aturan dan keselamatan pilihan ini mengandung bahaya bagi anak-anak itu sendiri. Lalu bagaimana kemudian?
Sayangnya memang penggunaan motor ke sekolah bagi anak SMA ini sudah menjadi semacam budaya. Ada semacam keharusan anak ketika Masuk SMA untuk bisa mengendarai motor, bahkan beberapa orangtua membelikan motor baru untuk anaknya yang masuk SMA. Karenanya model prilaku ini tak akan dengan serta merta berubah dengan dihadirkannya moda transportasi pilihan, misalnya bis umum yang memadai, tanpa disertai kesulitan menggunakan motor bagi anak SMA.
Maka pemerintah daerah memang harus mulai bepikir jauh kedepan untuk mengubah pola pikir masyarakat terkait dengan pilihan transportasi ini. Tentu saja sat langkah yang harus dilakukan adalah menyediakan tranportasi masal bagi anak-anak SMA ini sebagai pilihan utama bagi ereka menuju ke sekolah. Disamping penerapan aturan yang lebih ketat terhadap pengendara motor usia anak.
*Samas-Yogyakarta 4 Oktober 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H