Mohon tunggu...
arifmulyanarizki
arifmulyanarizki Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andalas

tidak tau

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pasca Pilpres Apa Urgensi Dihapusnya Presidential Threshold?

5 Januari 2025   19:23 Diperbarui: 5 Januari 2025   19:33 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kamis, 2 Januari 2024 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menyebutkan bahwa Pasal Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur ambang patas pencalonan presiden inkonstitusional ( bertentangan secara bersyarat dengan UUD 1945 ). Sebelum jauh membahas putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, mari mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Presidensial Threshold dalam proses pemilihan umum presiden.

Presidential Threshold dapat dimaknai sederhana sebagai ambang batas pencalonan presiden atau persyaratan suara yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik sehingga bisa mencalonkan calon Presidennya. Presidential Threshold pertama kali dirumuskan dalam UU No.23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mensyaratkan partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki kursi 15 % di DPR atau perolehan suara 20 % pada pemilihan umum DPR. Dewasa ini ketentuan ambang batas syarat pencalonan presiden tersebut dipertegas dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lebih tepatnya dijelaskan dalam Pasal 222, yakni: 

“Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Yang beberapa hari kebelakang ketentuan ini telah dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusional. Pengujian Pasal 222 di mohon oleh empat mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna yang kemudian permohonan pengujian tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana Mahkamah Konstitusi Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 

Ada hal yang cukup mengelitik kengapa baru sekarang Mahkamah Konstitusi berani memutus pengujian pasal Presidential Threshold tersebut, Pasalnya sejak diadakannya pasal Presidential Threshold tersebut telah ada sebanyak 36 permohonan yang diajukan ke MK terkait pasal yang sama presidential threshold. Namun, semuanya tak pernah dikabulkan MK dengan berbagai dalih termasuk kedudukan hukum (legal standing) dan juga dikembalikan kepada pembentuk Undang-undang ( Open Legal Policy). Kendati demikian banyak pakar Hukum Tata Negara berpendapat bahwa penghapusan ambang pencalonan Presiden ini sebagai pintu baru demokrasi Indonesia yang lebih baik.

Menginat putusan penghapusan ambang patas pencalonan presiden yang baru diputus setelah masa pemilihan presiden 2024, setidaknya ini memberikan waktu bagi DPR untuk merevisi undang undang Pemilu dan memberikan waktu bagi penyelenggara Pemilu 2029 agar dianulir sebaik baiknya putusan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi terkait penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini diharapkan dapat menghapuskan terbatasnya calon presiden dan koalisi gemuk pada pencalonan presiden. Mengambil contoh Pemilu 2024 kemaren dimana cuma hanya ada 2 calon yang dimajukan dan salah satu dari calon presiden menggandeng koalisi yang sangat gemuk. Disamping itu dengan adanya ambang batas pencalonan presiden seringkali aturan tersebut hanya menguntungkan pertahana, dimana pertahana dapat menghimpun koalisi yang gemuk dan rawan mempergunakan alat negara sebagai sarana pemenangan pemilihan, hal hal seperti ini telah terjadi di Indonesia dimana sejak tahun 2004 - 2024 pertahana selalu memenangkan Pemilihan Presiden. Dengan demikian penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini dapat dimaknai sebagai hal segar dalam pemilihan Presiden di Indonesia. Setiap partai politik boleh mengajukan calon Presidennya masing masing dan setiap orang berhak mengajukan diri, maka jika penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini terus berlanjut tidak mustahil jika suatu saat akan ada Presiden Indonesai yang berasak dari luar Jawa.

Kendati demikian dengan dihapusnya ambang batas pencalonan Presiden bisa saja menyebabkan meledakkan jumlah calon Presiden pada masa Pemilihan Presiden tahun 2029, sehingga diperlukan regulasi yang sistematis dan ketat dalam hal pencalonan calon Presiden masa selanjutnya, dengan jangka waktu 5 tahun ke depan diharapkan pemerintah melaksanakan rekayasa konstitusi seperti yang di sampaikan Hakim Saldi Isra dalam sidang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut :

  • Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden;
  • Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh parti politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional;
  • Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih;
  • Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya;
  • Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU 7/2017 melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggara pemilu termasuk parpol yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
     

Sebagai angin segar dalam demokrasi Indonesia diharapkan putusan Mahkamah Konstitusi ini sebagai pintu pertama dalam menuju demokrasi Indonesia yang jauh lebih baik dan dewasa kedepannya.


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun