Mohon tunggu...
Arif Muliyadi
Arif Muliyadi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Editor, Fotografer, Videografer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan dan Pelecehan Seksual Tindakan Hukum Pencegahannya

20 Desember 2022   01:55 Diperbarui: 20 Desember 2022   02:06 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan dan pelecehan seksual akhir-akhir ini sering terjadi di lingkungan kampus. Permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual ini telah menjamur dari zaman dahulu, entah siapa pencetusnya. Dari pihak kampus pun terlihat lamban dalam penanganan, serta menyembunyikan kasus kekerasan dan pelecehan seksual demi untuk nama baik lembaga.
Ruang akademik seharusnya menjadi tempat yang dipenuhi dengan nilai kemanusiaan dan keadaban. Tapi, sangat disayangkan sekali ruangan itu dijadikan pelanggaran dan perampasan marwah seseorang sebagai manusia. Lebih parahnya lagi, ternyata palaku-pelaku kasus tersebut ialah akademisi berpendidikan tinggi dengan jejeran gelar pendidikan yang panjang. Kenyataannya, gelar tersebut yang disandang ternyata tidak sebanding dengan nilai dan moral yang dijunjung, serta tanggung jawab yang ada saat ini.
Menurut data yang ada dari Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, kasus kekerasan dan pelecehan seksual sebanyak 35 kasus di lingkungan kampus. Jadi tidak heran apabila hal tersebut menjadikan kampus sebagai lingkungan pendidikan yang paling banyak memiliki kasus kekerasan dan pelcehan seksual. Ditambah lagi adanya beberapa survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada tahun 2020 lalu. Sebanyak 77 dosen mengakui bahwa di kampusnya telah terjadi kekerasan seksual dan sebanyak 63 kasus pelecehan seksual di kampus tidak pernah dilaporkan.
Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual diantaranya (1) faktor natural atau bilogis, (2) faktor sosial dan budaya, (3) faktor relasi kuasa yang sangat sering dijumpai di kampus, korban kekerasan dan pelecehan seksual tersebut merasa terpaksa, tidak berani berontak akan hal yang dilakukan para akademisi kampus karena si pelaku itu seseorang yang memiliki kedudukan dan memiliki kekuasaan di kampus, entah itu sebagai seorang dosen, staff ataupun pemimpin di kampus.
Ada beberapa cara memutuskan mata rantai kasus kekerasan dan pelecehan seksual, yaitu:
1. Berlakunya peraturan terbaru Mendikbudristek Nadiem Makarim nomor 30 Tahun 2021 soal pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi di 3 september 2021, menjadi pijakan kuat buat mengadvokasi para korban dan penyintas yang selama ini tidak berani bicara terhadap masalah pelecehan seksual dan upaya Pemerintah buat memutus mata rantai kekerasan dan pelecehan seksual melalui diundangkannya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dengan di implementasikannya UU TPKS dapat kita kawal buat mewujudkan lingkungan kampus yang safety, yaitu bebas Dari Persian kekerasan dan pelecehan seksual. Pembaruan aturan ini dapat dipandang dari tujuan pembentukan UU TPKS, adapun tujuan asal pembentukannya, yaitu: (1) Mencegah segala bentuk kekerasan dan pelecehan seksual; (2) Menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; (3) Melaksanakan penegakan hukum serta merehabilitasi pelaku; (4) Mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan dan pelecehan seksual; (5) mengklaim ketidak berulangan kekerasan dan  pelecehan seksual.
2. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan dan  Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) pada lingkungan kampus sangat dibutuhkan agar bisa mendorong setiap civitas academica buat menaikkan keamanan diri dan lingkungan kampus terlindung dari perilaku kekerasan dan pelecehan seksual serta bisa mengawasi dan mendorong pihak kampus buat bisa bersikap objektif dalam penanganan perkara kekerasan dan pelecehan seksual. Dengan dibentuknya Satgas PPKS di lingkungan kampus, bisa memberikan wadah pada korban untuk pengaduan dan membantu pada upaya pemulihan diri dari rasa trauma yang dialami korban.
Maka dengan adanya regulasi serta pembentukan Satgas PPKS, membentuk Kemendikbudristek selaku yang berwenang dan bertanggung jawab bisa memastikan setiap penyelenggara pendidikan dan peserta didiknya menjalankan fungsi Tridarma Perguruan Tinggi dengan baik serta benar. Selain itu, dapat lebih mudah mengetahui serta menangani kasus kekerasan dan pelecehan seksual di dalam lingkungan kampus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun