Maka dalam tingkatan ini menurt Al Ghazali adalah puasa orang-orang sholihin. Lanjut menurut beliau, seseorang tidak akan dikatakan masuk dalam kategori puasa orang sholihan ketika dia tidak melalui setidaknya 6 hal sebagai prasyarat, yakni, menahan pandangan dari segala ha yang tercela dan makruh, menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna dan sia-sia, berkata keji, mengeluarkan umpatan, berdusta dan mengharuskan diri untuk diam, dan bicara ketika diperlukan saja.Â
Memanfaatkan waktu untuk berdzikir kepada Allah, membaca Al Quran,menjaga pendengaran dari kata-kata yang buruk. Tidak berlebihan ketika berbuka puasa hingga perut terisi penuh makanan, dan selalu merasa khauf (cemas) dan raja (harap) karena tidak tahu apakah puasa yang tengah dilakukan diteriam tidak oleh Allah SWT.
Lalu pada tingkatan selanjutnya, puasa orang-orang yang lebih khusus. Mereka yang berpuasa secara lebih mendalam, karena menjaga hati dan pikiran mereka dari segala hal duniawi, dan hanya memfokuskan kepada Allah semata.Â
Melepaskan semua hasrat dan keinginan duniawi, dan hanya ada satu yang hidup dalam hati yakni Allah SWT, dan selalu senantiasa mencegah memikirkan dan menginginkan hal lain selain Allah. Menurut Al Ghazali puasa orang yang demikain adalah puasa para orang-orang sholihin seperti Nabi, Shiddiqqin dan Muqarrabin.
Tentu puasa orang pertama bila dibandingkan puasa orang kedua akan berbeda. Bila orang pertama hanya mungkin masuk dalam puasa golongan orang-orang awam, sedangkan yang kedua bisa masuk pada tingkatan yang lebih tinggi. Terlepas dari tingkatan iman seseorang, melihat bagaimana seseorang mempersiapkan Ramadhannya bisa sedikit membuka bagaimana gambaran perjalanan orang tersebut selama Ramadhan.
Orang yang benar-benar serius mempersiapkan Ramadhannya baik secara lahir seperti menjaga kebugaran tubuh, membersihkan diri, mempersiapkan pakain untuk ibadah, mengkonsumi makanan yang bergizi dan lain sebagainya. Kemudian untuk urusan batin, dia meluruskan kembali niatnya, menata hatinya, menghindari hal-hal yang dapat memicu penyakit hati, mulai menjada perilaku dan lisan.
Ketika sudah memasuki hari-hari berpuasa, semua persiapan yang dia lakukan akan benar-benar memengaruhi kualitas puasa yang dia laksanakan. Karena didorong oleh persiapan fisik yang matang, niat yang lurus, dan hati yang sudah disiapkan secara khusus. Semua dilakukan untuk membelenggu dan meminimalisir kejadian-kejadian yang berpotensi menimbulkan dosa dan menodai ibadah puasa yang tengah dilaksanakan.
Akan begitu berbeda, pada orang yang hanya biasa-biasa saja dalam persiapan Ramadhannya. Bahkan tanpa persiapan sekalipun, karena anggapnya puasa hanya sebatas menahan yang bersifat ragawi saja tapi memperhatikan kesiapan batin yang justru itu menjadi esensi penting berpuasa.
Setiap orang mempunyai cara masing-masing dalam menyambut bulan suci penuh berkah ini. Punya jalan sendiri untuk mendapatkan "Ramadhannya" secara pribadi. Semua yang bersifat khusus dan masing-masing ini akan sangat dipengaruhi seberapa siap seseorang menghadapi Ramadhan.
Ramadhan hanya satu satu tahun sekali. Tahun ini mungkin masih diberikan kesempatan untuk menikmatinya, tahun depan apakah masih? Belum tentu. Oleh karena itu penting untuk tetap berpikir bahwa saat ini adalah Ramadhan terakhir, dan karena ini adalah momen Ramadhan yang terakhir sudah sepantasnya dipersiapkan dengan baik dan disambut dengan suka cita. Marhaban Yaa Ramadhan. Â