Mohon tunggu...
Arif Minardi
Arif Minardi Mohon Tunggu... Insinyur - Aktivis Serikat Pekerja, Ketua Umum FSP LEM SPSI, Sekjen KSPSI, Anggota LKS Tripartit Nasional

Berdoa dan Berjuang Bersama Kaum Buruh

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pascabencana: Percepat Rehabilitasi dan Urgensi Padat Karya

11 Mei 2024   16:21 Diperbarui: 11 Mei 2024   16:24 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Strategi dan perencanaan penanganan bencana jangan sekedar mengedepankan kerangka waktu dan biaya yang akan diserap, tetapi juga harus merinci potensi lapangan kerja. Sistem informasi daring itu selain sangat berguna dalam proses identifikasi para korban bencana juga bisa digunakan untuk mengambil keputusan terkait langkah-langkah rehabilitasi pasca bencana.

Dalam teori sosial-ekonomi, padat karya didefinisikan sebagai konsep labor intensive sebagai lawan dari capital intensive (padat modal). Dalam konteks tersebut, unsur produksi tenaga kerja (labor) dan mesin (capital) secara teoritis dapat saling bersubstitusi. Sejarah dunia telah menunjukkan pentingnya menggalakkan program padat karya untuk membenahi atau membangun infrastruktur daerah yang terkena bencana alam.

Program tersebut hendaknya dilakukan secara massal disertai dengan panduan teknis perencanaan yang akurat. Jika program padat karya di masa yang lalu lebih berorientasi pada proses dan bagaimana caranya menghabiskan anggaran secepatnya, maka pada program padat karya penanganan bencana harus ditekankan kepada aspek luaran atau output dan efek sosial positif yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan mekanisme perencanaan dan pengawasan serta dukungan data yang akurat tentang ketepatan atau kelayakan jenis kegiatan. Serta identifikasi siapa saja yang pantas diikutsertakan dalam program.

Program padat karya penanganan bencana hendaknya melibatkan interaksi antara tiga aktor utama yakni rumah-tangga, pihak fasilitator serta pengambil kebijakan proyek pada berbagai tingkatan. Sehingga terwujud pendekatan pemberdayaan yang lebih komprehensif. Dalam tataran psikososial, program padat karya penanganan bencana harus dirancang sedemikian rupa sehingga terwujudnya kelentingan kehidupan atau livelihood resilience.

Dengan program padat karya yang teratur dan berkesinambungan maka dampak sosial negatif akibat bencana alam bisa direduksi. Begitupun, kecenderungan para korban bencana alam untuk bermigrasi ke tempat lain bisa dicegah. Hal itu sesuai dengan tesis Lipton tentang pentingnya kebijakan negara untuk mengarahkan kegiatan investasinya menuju padat karya (labour intensive) pada saat terjadi krisis atau bencana.

Program padat karya pasca bencana alam sebaiknya juga terkait dengan rekrutmen Taruna Siaga Bencana (Tagana) dengan jumlah yang memadai. Merupakan gugus tugas berbasis masyarakat yang berorientasi untuk menangani penanggulangan bencana. Perekrutan personel Tagana dilakukan oleh Balai Diklat Kementerian Sosial dan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan operasional Tagana dibebankan kepada anggaran APBN dan APBD. Perekrutan berdasarkan usulan yang disampaikan oleh kabupaten/kota atau provinsi mesti dirancang tepat sasaran dan multi guna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun