Strategi dan perencanaan penanganan bencana jangan sekedar mengedepankan kerangka waktu dan biaya yang akan diserap, tetapi juga harus merinci potensi lapangan kerja. Sistem informasi daring itu selain sangat berguna dalam proses identifikasi para korban bencana juga bisa digunakan untuk mengambil keputusan terkait langkah-langkah rehabilitasi pasca bencana.
Dalam teori sosial-ekonomi, padat karya didefinisikan sebagai konsep labor intensive sebagai lawan dari capital intensive (padat modal). Dalam konteks tersebut, unsur produksi tenaga kerja (labor) dan mesin (capital) secara teoritis dapat saling bersubstitusi. Sejarah dunia telah menunjukkan pentingnya menggalakkan program padat karya untuk membenahi atau membangun infrastruktur daerah yang terkena bencana alam.
Program tersebut hendaknya dilakukan secara massal disertai dengan panduan teknis perencanaan yang akurat. Jika program padat karya di masa yang lalu lebih berorientasi pada proses dan bagaimana caranya menghabiskan anggaran secepatnya, maka pada program padat karya penanganan bencana harus ditekankan kepada aspek luaran atau output dan efek sosial positif yang berkelanjutan. Untuk itu diperlukan mekanisme perencanaan dan pengawasan serta dukungan data yang akurat tentang ketepatan atau kelayakan jenis kegiatan. Serta identifikasi siapa saja yang pantas diikutsertakan dalam program.
Program padat karya penanganan bencana hendaknya melibatkan interaksi antara tiga aktor utama yakni rumah-tangga, pihak fasilitator serta pengambil kebijakan proyek pada berbagai tingkatan. Sehingga terwujud pendekatan pemberdayaan yang lebih komprehensif. Dalam tataran psikososial, program padat karya penanganan bencana harus dirancang sedemikian rupa sehingga terwujudnya kelentingan kehidupan atau livelihood resilience.
Dengan program padat karya yang teratur dan berkesinambungan maka dampak sosial negatif akibat bencana alam bisa direduksi. Begitupun, kecenderungan para korban bencana alam untuk bermigrasi ke tempat lain bisa dicegah. Hal itu sesuai dengan tesis Lipton tentang pentingnya kebijakan negara untuk mengarahkan kegiatan investasinya menuju padat karya (labour intensive) pada saat terjadi krisis atau bencana.
Program padat karya pasca bencana alam sebaiknya juga terkait dengan rekrutmen Taruna Siaga Bencana (Tagana) dengan jumlah yang memadai. Merupakan gugus tugas berbasis masyarakat yang berorientasi untuk menangani penanggulangan bencana. Perekrutan personel Tagana dilakukan oleh Balai Diklat Kementerian Sosial dan berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. Segala biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan operasional Tagana dibebankan kepada anggaran APBN dan APBD. Perekrutan berdasarkan usulan yang disampaikan oleh kabupaten/kota atau provinsi mesti dirancang tepat sasaran dan multi guna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H