Penanganan terhadap pemogokan yang dilakukan oleh serikat pekerja memerlukan keuletan untuk mencegah faktor-faktor yang membuat perundingan tidak efektif. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa forum perundingan tidak diikuti oleh para perunding yang efektif. Akibatnya proses perundingan secara dini sudah mengalami kebuntuan. Atau hasil perundingan yang diperoleh tidak memuaskan karena dalam status win-lose atau lose-lose. Pihak Serikat Pekerja dan wakil perusahaan selama ini sering kali minimalis dalam hal materi perundingan. Begitu pula teknik bernegosiasi juga sering kurang memadai. Padahal dalam situasi penting seperti itu kuncinya terletak kepada kepiawaian bernegosiasi.
Ada baiknya kita merujuk premis dari pakar manajemen, yakni Leight L. Thompson dalam bukunya The Mind and Heart of the Negotiator, bahwa alasan yang menyebabkan seseorang menjadi perunding yang buruk bukanlah terletak pada faktor motivasi dan kemampuan intelektual dari si perunding. Menurutnya, akar masalahnya terjadi pada tiga hal yang mendasar yaitu : faulty feedback, satisfaction, dan self reinforcing incompetence. Dalam berbagai kasus sengketa ketenagakerjaan, tidak jarang para perunding justru melakukan faulty feedback atau umpan balik yang salah.
Problem yang sering dihadapi para perunding sehingga menyebabkan tidak efektif dalam melakukan perundingan karena kurangnya umpan balik yang tepat waktu dan akurat. Tidak adanya umpan balik tersebut menyebabkan bias persoalan. Sehingga para perunding gagal mendapatkan manfaat yang optimal.
Selain ketidakakuratan umpan balik, perundingan ketenagakerjaan juga sering diwarnai oleh satisficing atau terpaksa menerima hasil perundingan yang bernilai rendah. Dalam proses perundingan, para perunding harus memahami dengan baik keterbatasan yang dia miliki. Jangan sampai pihak pengurus Serikat Pekerja kekurangan materi perundingan. Oleh sebab itu pihak Kementerian Tenaga Kerja sebaiknya meminta perusahaan untuk memberikan bahan-bahan yang terkait dengan kondisi perusahaan yang terkini. Hal itu untuk mencegah fenomena self reinforcing incompetence. Karena fenomena tersebut menyebabkan ketidakefektifan dalam melakukan perundingan.
Sebelum perundingan dimulai atau memasuki substansi pembahasan isi perundingan secara detail, masing-masing pihak sebaiknya melakukan klarifikasi atau menjelaskan mengenai tuntutan yang mereka inginkan. Sedikit banyaknya tuntutan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak serta baik tidaknya kerjasama yang ada di antara mereka selama proses tersebut, akan menentukan terbangun atau tidaknya suasana yang kondusif bagi proses selanjutnya.
Perunding yang berpengalaman biasanya memfokuskan pembicaraan pada masalah-masalah yang relatif sederhana atau tidak kontroversial, sehingga dengan mudah dapat dituntaskan. Dengan cara ini diharapkan terbangun suasana kerjasama diantara para perunding. Setelah tuntutan awal diungkapkan, masing-masing pihak sebaiknya menentukan hal-hal yang mereka inginkan dan hal-hal yang dapat mereka berikan sebagai konsesi. Pada tahap ini masing-masing pihak perlu melakukan perundingan dalam wilayah ZOPA (zone of possible agreement) yang tersedia. Disini masing-masing pihak mempunyai batas toleransi atau reservation price untuk dapat mencapai kesepakatan atau untuk meninggalkan proses perundingan atau terjadi jalan buntu.
Dalam proses perundingan titik sasaran yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak tentunya tidak bersinggungan atau overlap. Hal ini berarti bahwa nilai atau jumlah tuntutan yang diajukan oleh para perunding dari pihak serikat pekerja lebih banyak daripada yang dapat dipenuhi oleh pihak perusahaan. Begitupun sebaliknya. Idealnya, nilai toleransi minimum yang dapat diterima untuk menerima kesepakatan (reservation price) dari masing-masing perunding akan bersinggungan (overlap). Hal ini berarti nilai atau jumlah tuntutan yang dapat dipenuhi oleh para perunding dari pihak perusahaan adalah lebih besar dari nilai toleransi minimum yang dapat diterima oleh pihak perunding dari serikat pekerja, dan begitu juga sebaliknya. Untuk mencari titik singgung perundingan bisa diarahkan dengan membahas standardisasi dan benchmarking. Bisa juga menyangkut tentang tinjauan produktivitas dan job establishment system.
Sayangnya, kebanyakan proses pemogokan yang pernah terjadi di negeri ini tidak melalui perundingan yang diwarnai dengan proses negosiasi hingga proses bedah manajemen perusahaan, seperti kondisi neraca perusahaan serta kondisi cash flow dan masalah korporasi lainnya. Yang terjadi justru jalan pintas dan tindakan pemaksaan atau represif. Sehingga menyebabkan sengketa ketenagakerjaan yang berlarut-larut.
*) Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronika dan Mesin (FSP LEM SPSI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H