Sebagai warga negara Indonesia yang terkadang harus meyaksikan acara anak-anak di televisi, sejujurnya saya merasa iri kepada Malaysia karena mampu menciptakan kartun 3 dimensi. Kartun 3 dimensi yang tidak hanya hadir dengan kekuatan grafis, tetapi juga dengan jalan cerita dan nilai pendidikan yang tinggi. Cerita khas kehidupan anak yang penuh imajinasi, cerita-cerita yang sebenarnya memuat kearifan lokal-kearifan lokal masyarakat Indonesia. Cerita yang bagi manusia dewasa dapat membawa kembali ke dunia kanak-kanak mereka.
Suatu serial yang memuat nilai-nilai yang sangat di junjung di masa yang lalu namun sudah mulai memudar di masa kini. Serial yang mungkin dibuat memang untuk membawa manusia dewasa kembali ke masa kanak-kanaknya atau mungkin memang serial yang dibuat dengan tujuan menunjukkan bagaimana seharusnya anak-anak dididik dan diarahkan. Yang jelas, serial Upin-Ipin mengingatkanku pada kehidupanku 10-15 tahun yang lalu.
Dalam serial tersebut, terdapat Tuk Dalang yang mengajarkan banyak hal bukan hanya kepada Upin Ipin, tetapi juga kepada teman-teman Upin Ipin. Selain mengajarkan banyak hal, Tuk Dalang juga sering menceritakan dongeng-dongeng yang saratakan nilai kebaikan. Dongeng-dongeng yang sebenarnya saya sudah familiar karena jalan ceritanya sama dengan apa yang dulu pernah saya dengar dan atau saya baca.
Jika Upin dan Ipin memiliki Tuk Dalang yang senantiasa mendongeng dan mengajarkan nilai kebaikan, maka saya dan teman-teman juga memiliki seorang kakek yang memiliki peran mirip-mirip dengan Tuk Dalang. Mbah Darto, kakek yang mengambil peran Tuk Dalang dengan baik. Kakek yang rumahnya tidak pernah sepi dari keberadaan anak-anak.
Jauh sebelum serial mahabarata dan Ramayana seterkenal sekarang, saya dan teman-teman sudah dikenalkan pada Pandawa, Kurawa, Rama, Shinta, dan Rahwana oleh Mbah Darto. Bagaimana kejujuran Puntadewa, kekuatan Werkudara, dan bahkan kelucuan serta kesederhanaan Punokawan juga menjadi topik-topik yang diceritakan. Bukan hanya melulu wayang, cerita tentang kancil, kerbau, buaya, kura-kura, petani, dan lain sebagainya juga menjadi bahan-bahan cerita yang tidak bosan-bosannya kami dengarkan. Nilai-nilai untuk tidak sombong, untuk senantiasa mengasah kecerdasan, dan larangan untuk tidak serakah, dan nilai-nilai kebaikan yang lain selalu terselip dalam dongeng-dongeng yang kami dengarkan. Perang kemerdekaan tak luput juga menjadi bahan ceritanya. Perang gerilya, melawan penjajah hanya menggunakan bambu runcing, dan pengalaman hidup berpindah-pindah sewaktu jaman kemerdekaan menjadi cerita yang tidak kalah menarik dan bernilainya.
Radio yang menemani Mbah Darto setiap harinya menjadi “bahan bakar” dongeng-dongen yang disampaikan sehingga tidak ada cerita-cerita yang membosankan. Acara wayang, berita, dan lagu-lagu daerah menjadi saluran yang paling sering terdengar dari radio Mbah Darto. Itu juga mungkin yang membuat cerita-ceritanya semakin kaya.
Kearifan-kearifan lokal juga diajarkannya secara langsung. Yang masih teringat sampai sekarang, kami dikenalkan pada makanan-makanan sumber karbohidrat selain beras, jagung, dan singkong. Kami diperkenalkan pada umbi-umbian yang banyak ditanam di sekitar halaman rumahnya. Glemboh, uwi, dan suweg tidak hanya ditunjukkan bentuk dan sosok tanamannya, tetapi juga diajarkan cara menanam, panen, dan memasaknya.
Dan sayangnya apa yang saya alami di masa yang lalu tidak juga dirasakan oleh kebanyakan anak-anak jaman sekarang. Mereka tidak memiliki Mbah Darto dan Tuk Dalang yang memberikan cerita-cerita penuh nilai. Mereka mungkin juga tidak memiliki sosok-sosok yang mengajarkan tentang nilai-nilai kearifan lokal. Dan kalau saat ini saya merasa iri, anak-anak jaman sekaranglah yang seharusnya lebih merasa iri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H