Satu setengah bulan menuju pernikahan. Paijo sang calon mempelai pria masih santai seperti biasanya. Cool, antara karena sudah paham dengan segala yang harus dipersiapkan, memang orangnya tenang, atau mungkin karena memang tidak tahu menahu soal situasi.
"Diamat-amati, Kamu seperti gak memikirkan acara pernihakanmu nanti Jo. Seperti tidak ada sedikitpun Kamu andil dalam rencana acara pernikahanmu. Seperti tidak ada beban sedikitpun yang tampil di raut wajahmu", kata Parno, pada sela makan siang di kantin kantor tempat mereka bekerja.
"Memangnya bagaimana seharusnya orang yang mau menikah. Harus bingung soal apa? Gedung? Undangan? Souvenir? Katering? Atau apa? Semuanya sudah ada yang mengurus. Lalu apa yang perlu aku urus lagi? Kadang justru aku bingung dengan pikiran orang-orang macam dirimu", Jawab Paijo.
"Ujian menjelang pernikahan itu berat lhoh Jo"
"Maksudmu No?"
"Semua orang tahu kedekatanmu dengan Lastri. Â Anak baru di kantor kita. Semua orang tahu kalau kau sering jalan berdua dengannya. Apa kau tidak kasihan dengan Minem, calon istrimu yang mengunggu jauh di luar kota sana", Kata Parno Menjelaskan.
Paijo sebentar menghentikan makannya. Keringat mulai keluar dari kening dan pipinya. Antara kepedasan mie ayam yang dimakannya atau juga karena grogi setelah sembunyi-sembunyinya ketahuan.
"Menjelang menikah ujiannya memang berat Jo. Kamu harus kuat menghadapi ujian ini untuk bisa lulus dan melanjutkan ke ujian-ujian pasca pernikahan nanti", Parno menambahkan sebelum Paijo sempat melakukan klarifikasi.
"Iya No, aku paham sepenuhnya. Dan aku tahu Lastri adalah ujian buatku. Dan seperti ujian yang lain, aku harus menjalaninya dengan senang hati. Dan karena itu, aku jalan sama Lastri. Aku menjalani ujianku", Jawab Paijo dengan santainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H