“Kalau masih hujan begini, mending besok pagi aja kita muncaknya. Sia-sia kita naik kalau hanya mau basah-basahan. Gak bisa ngeliat apa-apa juga kalau mendung dan berkabut seperti ini”, Shandi mencoba realistis atas kondisi alam yang terjadi.
“Ya, ditunggu sebentar lagi. Siapa tahu kan hujannya berhenti. Biasanya kan emang seperti itu kalau di sini, hujannya sering galau. Hujan tiba-tiba dan reda tiba-tiba. Sia-sia kalau jauh-jauh dan capek-capek naik gunung dan melewatkan sunset begitu aja. Kalau besok sore masih di sini gak masalah, masalahnya besok siang kita sudah harus balik kan?”, Deni mencoba memberikan argumennya.
Di dalam tenda kapasitas empat orang tersebut suara gemercik hujan semakin berisik. Pepohonan besar dan rindang khas hutan hujan tropis tidak mampu menahan derasnya hujan dari langit sehingga banyak yang lolos dan jatuh ke atap tenda. Hawa dingin yang semakin menusuk tulang tidak menghentikan perbincangan tentang apa yang akan dilakukan kemudian.
“Jadi tujuanmu naik gunung cuma pengen dapet sunset Den?”, Martha yang dari tadi cuma diam kini mulai angkat bicara.
“Enggak salah kan kalau aku jalan cepet-cepet dan bener-bener mempertimbangkan waktu hanya untuk dapet sunset ataupun sunrise? Enggak salah kan kalu aku benar-benar menikmati suatu gunung dari sunset dan sunrisenya?”
“Ya gak salah sih Den, tapi kan sayang juga kalau harus menyesal dan tidak bisa menikmati naik gunung kalau hanya gak dapet sunset atau sunrise”, Martha mencoba menjawab.
“Lalu tujuanmu mendaki gunung apa, Tha? Apa yang kamu kejar pada setiap pendakian?”
“Tujuannya ya mendaki itu sendiri. Aku gak pernah mengejar apa-apa di setiap pendakian. Aku gak pernah memaksa diri untuk mendapatkan sunset ataupun sunrise. Bahkan aku gak pernah mengharuskan diri ini sampai di puncak tertinggi. Mendaki gunung dengan segala pengalaman dan pembelajarannya itu tujuannya Den, puncak, sunset, dan sunrise hanyalah bonusnya”
“Klise kamu Tha, terlalu teks book cenderung sok bijaksana”, Deni mulai sedikit kesal.
Suatu perundingan awalnya, dan kini menjadi suatu perdebatan
“Sebenarnya tujuan mendaki gunung adalah pulang. Apa artinya pengalaman, pembelajaran, puncak, sunset, dan sunrise kalau pada akhirnya kita tidak bisa pulang. Sudahlah tidak usah berdebat soal tujuan mendaki gunung! Kalau lusa kita sudah sampai di rumah, berarti tercapai tujuan kita mendaki gunung”, kini Shandi yang mulai angkat bicara.
“Gak bisa gitu lah Shan, pulang itu kayak kita ke surga. Bukan tujuan, tetapi suatu keniscayaan. Kalau kita mengikuti semua prosedur yang ada, tanpa kita tuju pun kita semua akan ke sana kok. Kalau kita mengikuti perintah Tuhan, tanpa kita bertujuan ke surga, kita akan sampai di surgk kok. Kalau kita mengikuti semua prosedur keselamatan dalam mendaki gunung, tanpa kita bertujuan untuk pulang pun kita pasti akan sampai di rumah”, Martha mencoba memberikan argumennya.
“Bukan begitu lho Tha…,”
Belum sempat Shandi melanjutkan argumennya, di sela-sela suara gemercik hujan terdengar rebut-ribut di luar tenda. Ketiganya kemudian bergegas keluar tenda mengenakan jaket water proof yang sejak tadi tidak dilepaskan. Terlihat rombongan tim SAR yang membopong seorang pendaki dari arah puncak.
“Maaf Pak, Masnya yang dibopong tadi kenapa ya Pak?”
“Hipotermia, tadi dia di puncak gak membawa jas hujan, kehujanan, dan hipotermia”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H