Wersuri, terletak di Kampung Tarak, Fakfak, Papua Barat. Pagi ini bapak angkatku terlihat sibuk berjalan mondar-mandir dari rumah ke tepi pantai.
“Bagaimana Pace?”, aku membuka suara.
“Kitong jalan sudah, cuaca bagus hari ini.”, Bapak angkatku melangkahkan kakinya menuju perahu.
Hari ini adalah hari yang dijanjikan oleh bapak angkatku untuk mengajakku memasuki daerah Nusa Lasi, sebuah area kosong tanpa penduduk yang katanya ada pulau-pulau kecil, kemudian dikelilingi manggi-manggi (bakau), di seberang pulau Tarak, Fakfak.
Perjalanan pun dimulai. Kami menggunakan pok-pok (ketinting) yang biasa dipakai bapak untuk memancing. Haluan perahu tertuju ke Tanjung Merpati, aku bisa menebak, Bapak pasti mau ber-“hasa-hasa” atau menelusuri tepian daratan di atas perahu.
Ketakjubanku dengan alam Papua yang benar-benar mempesona tak pernah habis. Setiap kali menyeberang di atas laut, aku terus berdecak kagum atas anugerah Tuhan di sini. Hutan yang rimbun, pantai yang berpasir putih, dan kekayaan laut yang melimpah menunjukkan betapa kayanya negeriku.
Setelah melintasi Tanjung Merpati, perjalanan dilanjutkan. Kami kembali menyambangi Batu Lubang, goa alami yang berada tepat di tepi Laut Seram dengan air birunya. Goa penuh misteri, bersejarah, dan stalaktit serta stalakmitnya yang sangat memukau.
[caption id="" align="aligncenter" width="650" caption="Batu Lubang tampak dari depan, goa misterius di Kampung Tarak, "][/caption]
[caption id="" align="aligncenter" width="645" caption="Bagian dalam Batu Lubang"][/caption] Bapak terus merajukku dengan menggerakkan perahu menyisir tebing. Gradasi warna laut dari hijau muda, hijau tua, kemudian biru laut memaksaku untuk tak henti menekan shutter kamera. Menatap tebing tegak yang menjulang kemudian langsung berhadapan dengan laut, membuatku membatin, “inilah negeri sepenggal surga”.
[caption id="attachment_179682" align="aligncenter" width="659" caption="Bapak membawa haluan ke tepi tebing"]
Pulau-pulau kecil sudah tampak, inilah daerah Nusa Lasi. Nusa Lasi menjadi bagian pulau-pulau kecil lainnya yang berkelompok, di sebelah selatannya ada gugusan pulau Nusa Karaf, kemudian pulau-pulau cantik di Nusa Teri.
Perahu kami terus melaju ke arah manggi-manggi (bakau), kemudian masuk ke sebuah celah.
[caption id="" align="aligncenter" width="604" caption="Pulau-pulau kecil di Nusa Lasi"][/caption]
Wow!
Di depanku sudah terpampang garis air laut yang mirip sungai karena di sebelah kanan dan kirinya di kelilingi bakau. Saat kita berada tepat di pintu celah ini, seekor burung rangoon tiba-tiba terbang cukup rendah dengan bunyi kepak sayap yang sangat berat.
Terkejut, namun aku juga menggelengkan kepala karena alam yang kusimak ini benar-benar menyuguhkan perasaan yang tak ternilai. Kenikmatanku ini tersadar saat bapak mengingatkanku untuk mengangkat kamera, mengejar gambar burung rangon.
“Pak guru, ini dia Wersuri, di tebing di atas itu ada cerita lagi. Kalau kitorang bilang ‘nenek, pukul tifa dulu, kau pu cucu mau dengar’ nanti akan terdengar suara dug..dug..dug... bunyi tifa betulan.”, kata bapak sambil menunjuk ke arah tebing putih di depanku.
Celah Wersuri ini mirip dengan daerah Fuduning yang pernah kutuliskan, di dalamnya memiliki celah-celah lagi yang menyerupai labirin. Namun, vegetasi terbanyak di sini bukan hanya bakau, melainkan pohon nipah juga menyeruak di setiap sudut labirin yang kita lintasi.
Uniknya, pohon nipah ini berjejer dengan jarak yang seolah sudah ditentukan, kemudian tepat di bawahnya dikelilingi tumbuhan-tumbuhan kecil yang juga sudah tersusun dengan rapi.
[caption id="attachment_179686" align="aligncenter" width="637" caption="Vegetasi alami yang tertata rapi"]
“Pace, apakah tumbuhan-tumbuhan ini memang sengaja di atur saat menanamnya?”, tanyaku.
“Tara da. Dari dulu begini sudah. Sejak kitorang pu orang tua. Alam di sini tak terjamah pak guru.”, kata Bapak sambil mengarahkan kemudi perahu.
Aku terus menelan ludah dan tak henti bersyukur menikmati lukisan alami ini. Wersuri, dengan anggun menyerupai taman rekreasi yang tersembunyi. Dan di sudut khatulistiwa ini, ternyata masih ada lokasi yang tak terjamah namun secara alami tersusun dengan rapi.
Perahu akhirnya berputar untuk kembali ke celah yang membawa ke arah “pintu keluar”. Bapak menggerakkan perahu dengan lincah, menerobos di bawah dahan dan daun nipah yang menggantung di atas air.
“Pace, saya su lapar ini, mama tadi bawa bekal to?”, tanyaku merengek.
“Kitong masuk celah di depan, kitong makan di atas perahu sudah.”, kata bapakku.
__________________________________
Medio Mei 2012
Foto-foto Kampung Tarak lainnya ada di sini.
Tulisan ini untuk meramaikan WPC Kampret.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H