Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudut Lain Kompasianival 2014

27 November 2014   22:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:40 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_338202" align="aligncenter" width="518" caption="Gerbang arena Kompasianival 2014 (dok. pribadi)"][/caption]

Bunyi tumbukan roda dan rel kereta api mengiringi perjalanan saya dari Jogja menuju Jakarta. Tujuan perjalanan kali ini adalah menghadiri Kompasianival 2014, acara yang diklaim menjadi ajang kopi darat netizen terbesar tahun ini.

Sepanjang perjalanan, mata tak bisa terpejam. Selain sesekali melongok social media, membolak-balik halaman demi halaman buku yang dibawa  saya lakoni demi mengisi waktu perjalanan. Namun segenap aktivitas 'mandiri' ini masih terasa ada yang kurang, hingga bosan pun menyerang.

Akhirnya, jurus klasik membunuh kebosanan di kereta pun saya lakukan; ngobrol dengan orang. Segera saya buka topik obrolan kepada sekelompok penumpang di dekat saya, yang ternyata keluarga asal Sleman yang mau kondangan di sekitar Tangerang. Mereka adalah keluarga petani. Dan baru pertama kali menaiki kereta api.

"Saya dengar sekarang naik kereta api katanya lebih nyaman, Mas. Jadi mendingan kami naik kereta api daripada naik bus.", seru sang Bapak.

"Iya Pak, sekarang sudahndakumpel-umpelan (berdesakan). Duduk sesuai nomor kursi masing-masing", jawabku sambil mengagumi kinerja mantan Dirut KAI yang menjadikeynote speakerdi Kompasianival 2014, Pak Jonan.

Obrolan berlanjut tentang kenyamanan Jogja yang kian terusik dengan menjamurnya bermacam hotel, penataan transportasi publik yang belum optimal, dan sederet tanda tanya tentang bagaimana nasib petani di era pemerintahan yang baru.

Keasikan kami mulai terhenti saat rasa kantuk sudah menyerang. Terlihat keluarga petani bahagia pun sudah menikmati sisa perjalanan dalam lelap.

Setelah tiba di stasiun, saya melangkah mantap menuju pintu keluar dan segera menghampiri taksi yang terparkir.

“Selamat malam, dari mana Mas?” sapa pak sopir.

“Jogja Pak”, sambil kulirik dashboard mobil yang tertulis nama “Parno” di atas id-card taksi.

“Ini mau ke mana Mas?", Pak Parno kembali bertanya.

"Ke tempat teman, Pak. Di daerah Karet", jawabku.

"Teman kerja atau teman sekolah Mas?", kayanya Pak sopir mulai kepo.

“Teman sepermainan Pak. Saya dulu kuliah di UGM. Teman saya ini dulu di UI. Kita ketemu di Bogor Pak.”

“Wah, anak saya juga diterima di UI, tapi ndak diambil Mas".

“Oh ya? Kenapa ndak diambil Pak? Sayang lho Pak", sekarang saya yang kepo.

“Iya Mas,ndakdiambil UI-nya. DiangambilSTAN.” seru pak sopir, mantap.

“Owalah... Iya ya Pak, kalau sekolah kedinasan gratis ya biayanya.”

“Kalau ngambil UI juga tetep gratis Mas sekolahnya, soalnya anak saya ikut beasiswa bidik misi."

"Wah, mantap sekali Pak. Yang penting dijaga terus Pak prestasinya, dan selama kuliah juga aktif ikut organisasi. InsyaAllah anak Bapak jadi pemimpin negeri ini nanti".

"Amien. Ini dalam rangka apa Mas ke Jakarta?", tanya Pak Parno.

"Mau ketemu Gubernur Jakarta yang baru Pak, mau ngucapin selamat. Hehe."

Tak lama kemudian kemudi taksi sudah berbelok di perempatan jalan, yang menandai telah sampainya perjalanan singkat ini.

*

Keesokan harinya, saya segera merapat ke TMII untuk menghadiri hajatan besar kompasianer. Sejujurnya, saya berharap banyak kompasianival 2014 ini bisa menjadi lompatan baru setelah acara yang sama tahun lalu menyimpan ketidaknyamanan kenangan.

Saya juga mendambakan Kompasianival tahun ini juga bisa menjadi ajang rekonsiliasi segenap golongan yang pernah berseberangan, entah karena politik, karena perbedaan opini, maupun kekeliruan dalam menerjemahkan bahasa yang tertulis di halaman-halaman kompasiana selama ini.

Maka setelah memasuki arena Kompasianival, segera saya langsung berputar-putar menilik bermacam booth komunitas yang disuguhkan di Kompasianival, sambil menyapa para kompasianer yang sudah lama tak bersua.

Berikutnya, dengan antusias, segera saya manfaatkan momentum untuk menambah pengetahuan dengan mengikuti berbagai acara nangkring yang digelar.

Riuh, penuh canda tawa, serta kilatan cahaya kamera dari kompasianer menyeruak di mana-mana.

[caption id="attachment_338203" align="aligncenter" width="512" caption="Mas Isjet, Mas Ganjar, dan Kang Pepih (dok. pribadi)"]

141707762692523853
141707762692523853
[/caption]

[caption id="attachment_338204" align="aligncenter" width="439" caption="Komunitas Hibah Buku (dok. pribadi)"]

14170778741499115979
14170778741499115979
[/caption]

[caption id="attachment_338205" align="aligncenter" width="481" caption="Sebuah karangan bunga di acara kopdar terbesar (dok. pribadi) "]

1417077917788484602
1417077917788484602
[/caption]

Seraya melangkah mengamati keasikan para kompasianer, saya mencari sudut berbeda di depan gedung Sasono Budoyo TMII. Di depan gedung inilah saya tak sengaja saya bertemu dengan Ibu Suparti, penjual kopi dan mie instan yang tiap hari berjualan di sekitar TMII.

“Tadi kayanya ada Pak Ahok ya Mas?"

"Iya Bu. Gimana Bu?"

“Ibu jadi ingat, dulu pernah ada acara pernikahan di gedung ini. Sopir-sopir mobil pada beli kopi. Baru duduk sebentar tiba-tiba mereka harus lari lagi ke dalam gedung. Ibu ga nyangka, ternyata tadi yang beli kopi ada sopirnya Pak Jokowi.”

“Berarti Ibu ketemu Pak sopirnya aja Bu? Bukan Pak Jokowinya?”

“Nah, itu dia Mas. Tiba-tiba sopirnya tadi datang lagi, tapi sama Pak Jokowi. Wah, ga nyangka Mas, ibu bisa salaman dengan Pak Jokowi.”

[caption id="attachment_338206" align="aligncenter" width="512" caption="Ibu Suparti (dok. pribadi)"]

14170779811751566313
14170779811751566313
[/caption]

Sambil menyesap kopi dan ngobrol ngalor-ngidul, diketahui Ibu Suparti saat ini sedang mengurus 3 batita kembar yang yatim piatu. Ketiga bocah itu adalah cucu Ibu Suparti. Kedua orang tuanya telah meninggal dan kini hanya Ibu Suparti dan keluarganya yang menggenapi keperluan susu, popok, dan segala kebutuhan hidup mereka. Tak jarang, Ibu Suparti berkejaran dengan petugas ketertiban selama berdagang.

“Kalau dikejar petugas ya ga bisa lari Mas. Ibu cuma minta pengertian karena belum ada kerjaan lain”, begitu kata Bu Suparti saat curhat tentang lika-liku hidupnya.

“Ibu boleh saya foto?”

“Wah… monggo Mas”

“Tuh kan, ibu tampak cantik”

“Ealah Mas… wis tuwek iki (sudah tua ini). Hahaa”

*

Saya memang bukan tamu undangan ataupun nominator penerima penghargaan. Bukan pula pembicara yang diberi fasilitas transportasi maupun akomodasi. Namun saya merasa mengikuti kompasianival adalah kesempatan langka karena bisa bersalaman dengan banyak orang di satu tempat, yang mungkin akan berlanjut kepada aktivitas produktif dan positif lainnya, sesuai tema besar Kompasianival 2014: ‘Aksi Untuk Indonesia’.

Di sisi lain, saya juga tak sabar menunggu penerjemahan tema besar kompasianival 2014 ini melalui aksi-aksi nyata para kompasianer yang bergerak bersama orang-orang seperti Pak Parno, Bu Suparti, nelayan, petani, pedagang, dan lainnya yang tersebar di seantero negeri.

Teruslah berbagi dan bersinergi, kompasianer!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun