Tidak hanya satu dua orang yang menanyaiku, bahkan teman akrabku juga heran, “Apa kamu ga bosan mendampingi warga korban erupsi merapi? Apa belum selesai masa tanggap daruratnya? Terus kamu dapat bayaran berapa di sana? Bla bla bla...”. Dan saya sudah fasih ketika menjawabnya, “Kalau saya bosan, apalagi pengungsinya? Apa mereka juga ga bosan hidup di pengungsian? Pastinya juga bosan, makanya saya tetap di sana agar tidak membosankan. Saya memang tidak digaji dengan uang, tapi ada yang lebih berharga dari uang yang saya dapatkan." Kalau anda sudah membaca catatan sederhana saya sebelumnya (Sketsa merapi (1): Yang saya dapatkan selama menjadi relawan) mungkin setidaknya anda tahu kenapa saya masih bertahan bersama warga. Selain hal-hal yang saya dapatkan dalam catatan pertama tadi, saya juga sering mendapat hiburan dalam beberapa momen penting bersama sebagian warga. Salah satu contohnya adalah cerita seorang balita bernama Bima. Bocah ini memang semacam bintang di barak pengungsian. Tubuhnya gempal, mata besar, kepala agak kotak, dan yang spesial adalah alisnya yang melengkung ke atas (jangan bayangkan tokoh picolo dalam serial Dragon Ball ya). Di kelompok yang seumurannya Bima memang tergolong anak nakal. Pernah suatu pagi dia berkata “Pak, Paaak, mataku ora urip siji—Pak, mataku ga hidup satu”, saat dia sakit mata. Pernah juga waktu saya mau mengganti galon di barak malam-malam, dia masih menonton tv, padahal ibunya sudah terlelap. Lalu dia malah mengikutiku dan akhirnya minta naik Artco berputar-putar barak pengungsian tengah malam. Suatu hari si jagoan cilik ini menangis cukup kencang, ibunya sampai angkat tangkat menuruti apa maunya. Dipanggillah sang ayah. Ayahnya pun tak mampu membuatnya terdiam. “Paaaak-e...njaluk lediding, njaluk ledidiiiiing”. Ayahnya sampai putus asa, apakah itu lediding? Usut punya usut, lediding adalah minuman bermerek “jelly drink”. Ah Bima...Bima... Selain Bima, genk komplotannya adalah Fatah. Sama, dia juga balita, dan sama nakalnya. Dia lah aktor yang membuat Sheila, balita juga, menangis sekencang-kencangnya waktu kita trauma healing di barak SMK N 1 Cangkringan. Suatu hari hujan turun cukup deras. Dengan santainya, dia membuka baju dan celana, lalu berlari mengelilingi barak sambil bermain air hujan. Kata ibunya kebiasaannya dulu di rumah memang seperti itu kalau hujan. Pernah juga dia bermain bola, saat bola datang ditendangnya dengan kencang, bolanya ga kena, tapi dia terjatuh dengan bunyi cukup keras. Buuumm. Belum sempat saya membantunya, takut kalau menangis, eh dia malah langsung berdiri sambil ngacir tertawa terpingkal-pingkal. Haduuuh. Levi, seumuran dengan dua aktivis tadi. Tapi yang satu ini agak cengeng. Ketika melihat sesuatu yang baru, pasti dia mendekat lalu memintanya. Kalau tak boleh? Menangis. Yang paling khas dari Levi adalah suaranya yang tidak jelas. Mirip kasus lediding-nya Bima, tapi ini lebih parah. “Mahaipaukmi” apa artinya coba? Pembahasannya adalah sebagai berikut:
Mah-Aip-Auk-Mi, sepertinya kalimat tersebut terdiri dari empat kata. Mah = Mas, Aip = Arif, Auk = Njaluk, Mi = Mimi. “Mas Arif njaluk mimi”, atau dalam Bahasa Indonesia “Mas Arif, saya minta minum”.
Owalaaaah.... Kalau ketiga anak ini bersatu, jadilah mereka kaum elit se-barak yang mampu membuat apa saja seperti apa saja yang mereka mau. Tiga pasukan elit se-barak: fatah, Bima, dan Levi. Anak-anak Kaliadem dari kecil sudah terkucuri darah seni. Sense of art mereka sangat tinggi. Seperti halnya saat aku membawa jimbe—semacam alat perkusi—ke posko. Baru sebentar alat itu disinggahkan, dari jauh sudah terdengar lamat-lamat ketukannya disesuaikan dengan cengkok suara kendang. Setelah mendekat, yang memainkan adalah si Irfan, Gangsar, dan kawan-kawan. “Angge-angge orong-orong, ora melu nggawe melu momong. Woyo-woyo josss”. Jimbe bisa jadi pengiring lagu dangdut koplo khas Jawa Timur-an ternyata. Kelompok pemudanya juga welcome sekali dengan kami, istilah anak gaulnya adalah “gokil”. Kalau ada pihak yang menyatakan orang gunung itu ketinggalan jaman, itu salah besar. Mas Supri pernah membobol password komputer posko, Mas Gondrong bisa mengkoreografi tarian dan irama gending, Mas Anton, Mas Rudi, Agus, dan rekan-rekan mampu mengaransemen lagu kebangsaan berjudul “Tanah Air” ke tiga aliran; reggae, keroncong, dan dangdut koplo lengkap dengan goyangan “woyo-woyo josss”. Mantap! Warga Kaliadem sangat cepat mengingat arah mata angin. Dari empat tempat pengungsian yang selama ini disinggahi, mungkin yang pertama kali dihapal adalah arah. Uniknya, mereka cenderung memberikan spesifik letak suatu tempat atau wilayah dengan arah. Kalau ditanya, “di mana letak shelter yang akan dihuni?”. Jawabnya, “Kae lho, kidul-kulon prapatan Plagrok—Itu lho, selatan-barat perempatan Plagrok”. Nah, sama kejadiannya saat aku bertanya kepada Pak Dalimin, “Pak, shelter Bapak teng sebelah pundi?—Pak, shelter Bapak yang sebelah mana?”. Jawabnya dengan singkat, “loretandalan”. Opo iki???? Ternyata itu tiga kata yang diucapkan dengan supercepat. Lor itu utara, etan itu timur, dalan itu jalan. Maksudnya adalah sebelah utara-timur jalan, dan tidak jarang kami harus dijelaskan tentang letak suatu tempat secara spesifik melalui gabungan dua arah seperti tadi. Kesibukan kami sebagai relawan seakan terbayar dengan senyuman-senyuman selama berbagai momen-momen menggelitik seperti tadi. Maka tak heran kalau relawan-relawan anggota skuad kami seperti Widodo, hampir setiap akhir pekan bolak-balik Malang-Jogja untuk bertemu kami dan warga. Tidur juga beralaskan seadanya, Alhamdulillah masih ada alas. Kebiasaan aneh Widodo adalah menghapal aksen warga, dan relawan, secara berlebihan. Contohnya dalam pengucapan "Yo ora popo" yang bermakna "Ya tidak apa-apa", pengucapan Widodo-style adalah dengan menekan suku kata "po" bagian pertama terlalu tinggi, akhirnya kalau ditulis menjadi "Yo ora pooooopo". Kalau Nurul, dia seperti Si Mbok/Ibu dari anak-anak. Segala keperluan dipenuhi, sampai-sampai kami selalu ketagihan dengan sambal buatannya. Dia memang bendahara dadakan, saldonya terus berkurang. Tapi lihat, segala uang yang keluar dari tas pinggangnya digunakan untuk membeli gas dapur umum, membeli sayuran dan bumbu untuk ibu-ibu, membeli perlengkapan keterampilan, dan segala kebutuhan darurat warga. Semoga Mas Ino sadar, bahwa kekasihnya itu memang penjinak hati yang tepat bagi masyarakat. Dan Mas Ino juga bisa bersabar, karena sekalipun kaki dan tangannya penuh bekas luka setelah kecelakaan, Nurul masih saja minta mendampingi warga. Aku ikhlas jika kalian kelak menjadi rumah tangga yang bahagia. Saya juga baru menyadari dengan gaya Lini, janji dietnya adalah basa-basi. Katanya sih diet, tetapi kalau ada gorengan pura-pura bilang, "Aduh...ini kasihan sekali sudah dibeli ga dimakan". Atau, "Oh ya, ternyata masih ada roti yang kubawa dari kos, sayang kalau ga dimakan", padahal dia baru selesai makan nasi. Yasudahlah. Tetapi, Lini memang heroik sekali. Sekali kecelakaan saat membeli minyak tanah, sekali terkena demam berdarah, masih saja keluar dari zona kenyamanannya. Setidaknya dia berubah dari anak rumahan yang supermanja menjadi wanita bijak yang tegar menghadapi keluh kesah masyarakat. Yang tercecer memang si Ja'far. Anggota skuad kita yang satu ini memang sedang mengejar target menyelesaikan skripsinya. Dulu saya pernah bertanya di sela-sela tugasnya mengatur acara untuk warga, "Gimana kabar skripsimu dab?". Jawabnya singkat, padat, dan membingungkan, "Yo piye yo? Aku malah lupa kalau aku lagi ngerjain skripsi". Setelah suasana cukup kondusif, Ja'far akhirnya menempa diri demi hal yang paling menghebohkan bagi mahasiswa tingkat akhir, skripsi. Selain mereka, masih ada Dharma Sentanu, generasi barunya I Gusti Ngurah Rai ini sering kami repotkan dengan sirkulasi pulsa, maklum saja karena dia juragannya. Logat khas Balinya yang kental membuat kami merasa lebih senang karena unsur warna-warni ini semakin membuat ikatan kami semakin kuat. Skuad volunteer Saya merasa benar-benar nyaman berada di tengah mereka. Dan yang paling saya heran, di usia muda mereka berani menggadai skripsi, menunda petualangan, mengesampingkan ego kesenangan masa muda, demi sebuah misi kemanusiaan. Ketika kami berkumpul bersama warga, seolah kami tak merasa ada kasus koruptor lembaga keuangan negara di lor-etan-dalan Jakarta, tak peduli kisruh ormas yang beringas, tak peduli dengan pemimpin-pemimpin memprihatinkan yang berujar prihatin. Kami cuma paham, bahwa uang titipan rakyat lebih dibutuhkan di sini daripada dikorupsi, impian kami sederhana, apa jadinya kalau segala ormas bersatu saling membantu warga. Dan kami juga prihatin, janji penanganan bencana dari petinggi-petinggi ternyata memprihatinkan. Untuk teman-teman relawan yang baik, setidaknya kalianlah penyejuk kegersangan di balik saling lempar isu negeri ini. Setidaknya bangsa ini (masih) beruntung masih ada jejak kaki dan sambungan tangan kalian. Kita bukan siapa-siapa. Tapi usaha kita lebih bermakna dibanding kesenangan hedonis yang sementara. Untuk anak-anak muda cemerlang, kalau boleh saya menghibur tentang penundaan gelar sarjana kalian, saya ingat kata-kata cendekiawan muda bangsa yang berasal dari kampus kita "Your high GPA gets you a job interview, but it's your leadership & organizational experience that get you the job & the bright future". Jadi, kalau ada waktu kita belikan lediding untuk Bima terus berkumpul di shelter loretandalan lagi yuk?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H