Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Njemparing Rasa; Drama Kolosal ala Anak Muda

13 Oktober 2014   18:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:12 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_328845" align="aligncenter" width="640" caption="Sumantri bertarung melawan para raja dalam pertunjukan Njemparing Rasa (dok. pribadi)"][/caption]


Di sebuah kisah, Sumantri adalah anak dari Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar. Sifat nyawiji antara Sumantri dengan adiknya, Sukasrana, membuat adiknya tak rela ditinggal kakaknya yang pergi ke Negeri Mayapada, negeri yang dipimpin Prabu Citrawijaya yang tengah menggelar sayembara demi mencarikan jodoh anaknya, Putri Citrawati.

Begitulah potongan sinopsis drama kolosal berjudul Njemparing Rasa yang dihadirkan semalam di lapangan Grha Sabha Permana UGM, Yogyakarta. Kalimat yang tersusun dari sinopsis tersebut seolah bernuansa ala ketoprak Jawa, atau mirip pertunjukan wayang orang pada umumnya. Namun pada kenyataannya, dengan segala kreativitas dan ornamen kekinian, pertunjukan yang dibiayai dari anggaran dana keistimewaan DIY ini menghadirkan nuansa yang berbeda.

Unsur tarian Jawa, iringan musik gamelan dari para wiyaga, dan pemeran dengan kostum ala raja memang disuguhkan dengan apik. Namun tambahan motion graphic dari layar multimedia, dialog yang bercampur bahasa Indonesia, serta alur cerita yang sengaja ditarik mundur dari jaman modern membuat pertunjukan kolosal ini terasa lebih puas dinikmati anak muda.

[caption id="attachment_328859" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu motion graphic yang ditampilkan di layar multimedia (dok. pribadi)"]

1413176022897396082
1413176022897396082
[/caption]

Pertunjukan diawali dengan potret sosial masyarakat yang mengemis di antara belantara gedung menjulang. Sekelompok masyarakat ini mengeluhkan hilangnya pepohonan yang dulu merimbuni hutan mereka akibat masifnya pembangunan. Dialog yang renyah dengan kehidupan sekarang pun muncul. Dan tiba-tiba Sukasrana hadir di tengah kelompok masyarakat ini. Sukasrana kemudian menjadi narator, menceritakan bagaimana kehidupannya di masa silam bersama kakaknya, Sumantri.

[caption id="attachment_328848" align="aligncenter" width="640" caption="Sukasrana yang hadir di masa sekarang (dok. pribadi) "]

14131756281880963638
14131756281880963638
[/caption]

Seperti tertulis dalam sinopsis, Sumantri adalah kakak yang sangat dicintai adiknya, Sukasrana. Sumantri berpamitan kepada Resi Suwandagni untuk mengabdi di Negeri Mayapada. Atas kecintaan kepada kakaknya, Sukasrana nekad menyusul kakaknya meskipun kepergiannya tak diijinkan oleh ayahnya.

Di saat yang sama, Negeri Mayapada yang dipimpin Prabu Citrawijaya sedang mengadakan sayembara untuk mencarikan jodoh anak tunggalnya, Putri Citrowati. Berbagai raja dari beragam negeri berdatangan dengan tujuan yang sama, meminang Sang Putri. Kecantikan Putri Citrowati tak hanya membuat 1.000 raja berkumpul di Negeri Mayapada, kabar keelokan sang putri juga didengar oleh Arjuna Sasrabahu, titisan dewa wisnu.

Perdebatan pun terjadi. Arjuna yang telah mengetahui bahwa dialah yang bakal meminang Putri Citrowati mendesak agar proses pernikahan segera berlangsung. Sementara, Narada yang menjadi penasihat kayangan menentang langkah Arjuna karena dianggap membuka misteri kayangan kepada manusia. Akhirnya, Arjuna mengutus Sumantri sebagai salah satu peserta sayembara.

Sayembara berlangsung sengit. Para raja bertarung satu sama lain dengan kesaktian yang beranekarupa. Penonton kembali disuguhi penampilan menarik dalam adegan ini. Para raja yang bertarung dalam sayembara sesekali memodifikasi gerakan dengan tarian kontemporer, slow motion ala film The Matrix, dan dialog penuh canda.

[caption id="attachment_328849" align="aligncenter" width="640" caption="Pertarungan para raja dalam sayembara (dok. pribadi)"]

14131757061013309550
14131757061013309550
[/caption]

Pada akhirnya, sayembara dimenangkan oleh Sumantri yang memiliki kesaktian Prabu Arjuna Sasrabahu. Namun Putri Citrowati yang diperankan oleh Annisa Hertami (Diajeng Propinsi DIY 2014) merasa kecewa karena Sumantri bukanlah raja sesungguhnya, melainkan hanya utusan semata.

[caption id="attachment_328855" align="aligncenter" width="477" caption="Beberapa adegan Putri Citrowati dalam Njemparing Rasa (dok. pribadi)"]

14131758141871136139
14131758141871136139
[/caption]

Saat ketegangan drama kolosal tengah berlangsung, saya melipir ke sebelah panggung mencari sudut yang berbeda. “Piye Mas? Bagus-bagus fotonya?” celetuk seorang berkalung id card panitia di sebelahku. Setelah bersenda gurau sesaat, ternyata dia bukan sekedar panitia wira-wiri, melainkan Mas Anes, sang sutradara pertunjukan.

“Saya jadi kelingan pertunjukan kolosal Golong Gilig Trajumanggala Mas,” aku berseru.

“Wah iya Mas, setelah Golong Gilig Trajumanggala, belum ada lagi pertunjukan kolosal outdoor di Jogja. Makanya Njemparing Rasa dimunculkan, ngobati kangen,” jawab Mas Anes sambil sesekali mengatur panitia yang lain melalui perangkat handy talky di tangannya.

Seingat saya sewaktu menjadi bagian dari sebuah pertunjukan kolosal, proses sebuah pertunjukan kolosal tidaklah gampang. Menata ratusan artis dan aktor dalam satu panggung, mengatur segenap crew, maupun menyusun konsep yang kuat adalah sedikit hal dari banyaknya tantangan yang perlu dihadapi sebelum pertunjukan kolosal dipentaskan.

Argumen saya terjawab saat Mas Anes menuturkan tentang tantangan di balik proses Njemparing Rasa. Perumusan konsep dan penulisan naskah lakon Njempraring Rasa sebenarnya sudah dilakukan sejak 2013 oleh mbah-mbahnya seniman ketoprak maupun maestro seni tradisi Jogja seperti Puntung CM Pundjadi, Bondan Nusantara, hingga Susilo Nugroho dan tokoh-tokoh Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM. Namun dalam hal pementasan, akhirnya konsep tersebut dilimpahkan kepada Mas Anes dan kawan-kawan.

Tantangan terbesar sebelum Njemparing Rasa digelar adalah proses latihan yang relatif singkat. “Hanya 10 kali latihan, Mas. Padahal targetku 25 kali.”

Selain itu, permasalahan koordinasi juga menjadi tantangan tersendiri. Karena pertunjukan ini merupakan kolaborasi dari berbagai komunitas seni, baik teater, tari, seni tradisi, sastra dari berbagai kampus dan beragam kelompok dengan melibatkan hampir 300 orang personel.

[caption id="attachment_328857" align="aligncenter" width="640" caption="Aksi para penari dalam Njemparing Rasa (dok. pribadi)"]

1413175927236567
1413175927236567
[/caption]

[caption id="attachment_328858" align="aligncenter" width="640" caption="Para wiyaga Njemparing Rasa (dok. pribadi)"]

1413175965706234308
1413175965706234308
[/caption]

“Saya ingin belajar!” Hal inilah yang menjadi semangat dasar Mas Anes dalam mengawal drama kolosal yang dihadiri oleh tokoh Kraton Ngayogyakarta sekaligus Kepala Dinas Kebudayaan DIY, GBPH Yudaningrat.

Mas Anes juga menuturkan bahwa Njemparing Rasa penuh dengan benturan, baik dalam hal konsep, proses pribadi para pemain, hingga penyampaian pertunjukan secara keseluruhan.

Benturan yang disampaikan Mas Anes di atas memang sangat terasa dan seakan tak pernah henti selama Njemparing Rasa ditampilkan. Hingga menjelang akhir pertunjukan, mendadak saya merinding saat lagu Darah Juang dikumandangkan di atas panggung. Sebuah lagu wajib bagi para pejuang perubahan dari kampus-kampus karya seorang aktivis senior bernama John Tobing.

[caption id="attachment_328850" align="aligncenter" width="640" caption="Orasi dari berbagai kelompok setelah menyanyikan lagu Darah Juang (dok. pribadi)"]

14131757541088849891
14131757541088849891
[/caption]

Tepat kiranya pertunjukan yang dikerumuni banyak penonton ini dilabeli drama kolosal, bukan ketoprak murni. Proses dialog budaya antarkarakter yang ada di belakang layar, hingga riuhnya dialog budaya yang terjadi di Jogja bahkan di Indonesia menjadi warna-warni kritik dan gagasan yang menarik untuk ditampilkan lebih dari sekedar hiburan, melainkan juga sebagai wahana refleksi kebudayaan.

Semoga setelah Njemparing Rasa dipertontonkan Jogja kian subur menumbuhkan greget seni dan budaya nan luhur. Semoga, jiwa-jiwa kreativitas semakin semarak menancap pada generasi penyambung nasib nusantara. Dan semoga, semangat Njemparing Rasa terlaksana; membentuk masa depan yang lebih baik dengan cara njereng sejarah, merentang masa silam, melakukan introspeksi, retrospeksi, dan refleksi perubahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun