[caption id="attachment_352771" align="aligncenter" width="565" caption="Taman Pasupati Bandung (dok. pribadi)"][/caption]
Minggu siang (22/05/2015) kemarin, saya menyempatkan diri untuk menilik beberapa tempat di Bandung. Sejak dipimpin oleh Kang Emil (panggilan Ridwan Kamil), Kota Kembang telah banyak mencuri perhatian. Salah satunya adalah tentang kebijakannya membuat taman-taman tematik di beberapa sudut kota.
Saya pun ikut penasaran dengan taman-taman tematik tersebut. Maka dengan mantap kaki saya melangkah menuju Taman Film. Videotron berukuran 4x8 meter menghias di ujung taman film, dengan rumput sintetis ala terasering sawah yang disediakan di depannya untuk menonton saat film ditayangkan. Meskipun saat Minggu siang saya datang tak ada film yang disuguhkan, terlihat banyak pengunjung yang bersantai di taman ini.
[caption id="attachment_352772" align="aligncenter" width="640" caption="Taman film di minggu siang (dok. pribadi)"]
Pandangan saya kemudian beralih ke Taman Skateboard, persis di sebelah Taman Film. Di Taman Skateboard, tampak anak-anak muda Bandung dengan khusyuk berlatih berseluncur di atas papan roda bergantian.
Ada satu lagi taman yang berdekatan dengan taman skateboard, yaitu Taman Jomblo. Taman ini diisi oleh sekitar 60 kubus di atas tanah seluas 30 x 25 meter. Selain untuk duduk atau nongkrong kawula muda, taman ini juga diharapkan bisa dijadikan sebagai artwork (memajang hasil kreativitas).
[caption id="attachment_352773" align="aligncenter" width="522" caption="Aktivitas anak muda Bandung di Taman Skateboard (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_352774" align="aligncenter" width="553" caption="Taman Jomblo (dok. pribadi)"]
Berbeda dengan Taman Film yang dibangun atas dana CSR perusahaan swasta, Taman Skateboard dan Taman Jomblo didanai dari APBD Bandung sebesar Rp 400 juta.
Tiga taman tematik tersebut semuanya berada di bawah jalan layang Pasupati, Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung. Seluruh taman dapat dinikmati dan dikunjungi oleh siapa pun dengan gratis.
Seperti kota lainnya, Bandung telah banyak berubah. Jika dulu Bandung adalah rumah bagi para meneer Belanda, sekarang Bandung lebih identik dengan kehidupan dan budaya urbannya.
Fenomena menarik saya jumpai di area taman yang sering menjadi bahan presentasi Kang Emil di berbagai forum tersebut. Sepanjang mata memandang, anak-anak usia SMP ramai sekali mengisi setiap sisi taman. Mereka bergerombol, bercerita santai sambil sesekali memainkan gadget di genggaman. Dari penampilan pakaian yang dikenakan, mode urban telah jelas muncul di pandangan.
Ketika saya mulai mendekat ke salah satu kelompok kecil, terdengarlah istilah yang sedang hits akhir-akhir ini terlontar dengan liar, mulai dari “hp yang bisa buat selfie”, “sakitnya tuh di sini”, hingga “cabe-cabean”.
Saat lima meter saya bergeser untuk mencari sudut pengambilan gambar taman, tak sengaja saya menjumpai seorang anak perempuan yang dengan santai mengisap rokok di antara teman-temannya.
Tak jauh dari si bocah SMP ini, terlihat juga dengan gamblang empat anak perempuan yang sedang bergerombol. Dan dua di antara mereka sedang menyiapkan rokok sebelum disulut api dari koreknya.
[caption id="attachment_352775" align="aligncenter" width="576" caption="Anak perempuan seumuran SMP dan rokoknya (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_352776" align="aligncenter" width="593" caption="Berkumpul dan bercerita di Taman Jomblo (dok. pribadi)"]
Melihat fenomena ini, saya merasa Bandung sedang berada di titian pilihan kebudayaan. Anak muda yang memilih bermain skateboard daripada bermain angklung, atau anak perempuan yang sibuk bermain gadget di pinggir taman daripada membantu orang tuanya di dapur, adalah wujud dari kebudayaan.
Saat saya bertanya kepada seorang teman yang hidup di Bandung, dia mengiyakan bahwa fenomena yang saya lihat memang hampir setiap Minggu siang terlihat demikian.
Lalu mengapa terjadi pergeseran seperti ini? Mungkin perubahan tata ruang telah menggeser masyarakat menjadi kaum urban yang hidup di pinggiran. Lahan yang terbatas dan telah dijejali dengan pusat perbelanjaan, kafe, dan hotel memaksa mereka hidup di lingkup sempit di belakang gang. Kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang butuh berinteraksi, mengeluarkan keluhan dan pendapat, tecermin saat mereka bertemu dengan manusia lainnya.
Ini bukan tentang salah dan benar. Karena apa yang saya lihat hanyalah sebuah fenomena semata. Jika paradigma seorang perempuan (apalagi anak-anak) merokok tidaklah bagus, mungkin itu sebuah pilihan. Pun ketika perempuan (dan atau anak-anak) merokok adalah hal yang wajar, itu juga sebuah pilihan.
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan semua daerah di Indonesia, tidak mau tidak akan mengalami perubahan. Keterkaitan antara perubahan ruang terhadap perubahan perilaku manusia tak bisa diabaikan. Dan tiap individu memiliki konsekuensi dari pilihan yang telah ditentukan dia sendiri.
______________
Tulisan ini adalah salah satu setoran kepada group Kampret. Tulisan lainnya bisa dilihat di sini. Like fanpage Kampret juga ya :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H