[caption caption="Pak Hanafi saat ditemui di kiosnya di Pasar Bringharjo, Yogyakarta"][/caption]Waktu yang tersedia kian mendesak. Setelah masuk dan keluar di dua toko sepatu, barang yang saya inginkan tetap belum ditemukan. Dengan cepat pilihan pun diputuskan untuk menuju Pasar Bringharjo, sebuah pasar legendaris di jantung Kota Yogyakarta.
Langkah saya berjingkat menuju los pasar di lantai satu. Di lantai dasar inilah dijual batik, aneka pakaian, hingga urusan alas kaki. Dari jauh saya melihat beberapa kios yang menjajakan sandal dan sepatu, namun sayang saat saya mendekat ternyata hanya menyediakan alas kaki untuk perempuan.
Pandangan saya pun segera beralih ke los-los pasar lainnya. Di sebuah kios saya melihat sandal-sandal plastik digantung. Mungkin di kios tersebut ada sepatu yang saya cari. Saya pun mendekat. Â
Benar saja. Sepatu dengan bahan dasar plastik saya temui di sini. Setelah tawar-menawar harga, sepatu yang saya butuhkan berhasil saya beli setengah harga dari toko sepatu yang saya datangi sebelumnya.
[caption caption="Koleksi sepatu yang dijual Pak Hanafi"]
Dengan raut wajah yang ramah, pedagang sepatu mulai menanyaiku tentang tempat tinggal, keluarga, dan pertanyaan-pertanyaan personal lainnya.
Saat giliran saya bertanya balik kepadanya, beliau pun mulai bercerita. Nama pedagang sepatu ini adalah Pak Hanafi. Tahun ini usianya genap 47 tahun. Saya pun mulai mengajukan beberapa pertanyaan tambahan kepadanya, dan langsung diberi jawaban-jawaban yang membuat saya semakin tertarik untuk berbincang lebih jauh.
Pak Hanafi dulunya kuliah di Teknik Geodesi UGM hingga selesai dan menyandang gelar sarjana. Bahkan beliau sempat melanjutkan ke tingkat magister. Namun karena ketiadaan biaya, kuliah S2-nya urung dirampungkan.Â
Pak Hanafi kemudian memutuskan untuk bekerja. Pekerjaan yang beliau pilih membuatnya harus berkeliling dari Sumatera, Kalimantan, hingga menginjakkan kaki di Maluku. Seketika ketertarikan saya bertambah mencermati kisah petualangannya di berbagai wilayah di Nusantara.
Setelah beberapa tahun bekerja, Pak Hanafi memutuskan untuk memulai berwirausaha. Keramik adalah dunia yang digeluti saat itu. Keuntungan yang diraih dari usaha kerasnya mampu membuat keluarganya kecukupan dalam memenuhi kebutuhan hidup, bahkan sampai urusan sekunder.Â
Namun sayang, usaha yang dirintis dengan penuh perjuangan harus terhenti karena beliau tertipu oleh seorang rekan. Beberapa aset usaha dan modal berupa sejumlah uang dibawa lari dan tak ada kabar dari rekannya hingga kini. Pak Hanafi collaps, keluarganya pun shock. Â Kondisi ekonomi keluarganya terguncang hingga harus menumpang tempat tinggal di tempat saudaranya.Â