[caption id="attachment_309977" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Borobudur, karya masterpiece yang masih asik dipelajari (dok. pribadi)"][/caption] “Oleh-olehnya Mas. Murah aja Mas, lima puluh ribu Mas”, seru seorang pedagang asongan secara agresif kepadaku, saat baru turun dari Candi Borobudur. Barang yang dijajakan oleh pedagang di Candi Borobudur sangat bervariasi. Miniatur candi berbahan fiber menjadi salah satu komoditi yang dijual oleh pedagang. Akhirnya aku bersyukur karena gagal membeli produk yang ditawarkan pedagang tersebut. Mengapa? Karena setelah menelisik di desa-desa sekitar Candi Borobudur ternyata miniatur candi seharga Rp 7.500,- sampai dengan Rp 20.000,- langsung dari pengrajinnya. [caption id="attachment_309956" align="aligncenter" width="480" caption="Salah satu proses membuat kerajinan miniatur Candi Borobudur (dok. pribadi)"]
[/caption] Namun ada yang menarik saat mengamati miniatur Candi Borobudur yang ditawarkan para pedagang. Setelah saya amati lebih teliti, jika dilihat dari atas, penampakan Candi Borobudur yang nyata maupun yang miniatur, hampir sama persis (ya iyalah, namanya juga miniatur). Saya coba cek melalui google maps di link
ini, dan hasilnya seperti gambar berikut ini: [caption id="attachment_309958" align="aligncenter" width="640" caption="Kerajinan miniatur Candi Borobudur dan Candi Borobudur dilihat dari atas"]
[/caption] Ada pola konsentris saat melihat Borobudur dari atas. Ya, ini yang biasa disebut dengan bagan
mandala. Ah, apa itu mandala? Jadi tambah
kepo, dan semakin kelihatan saya kurang memahami apa-mengapa-bagaimana di balik candi yang sering jadi
icon Indonesia ini. Setelah
browsang-browsing dan mencari literatur tentang
arsitektur Borobudur, saya mendapatkan beberapa referensi terkait bagan mandala, di antaranya: Menurut
A.Wayman (1981) pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola
Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta. Dari referensi lainnya, saya dapati bahwa bentuk mandala yang mendasari arsitektur Borobudur adalah Mandala Dharmadhatu dan Wajradhatu. Teras Borobudur disusun sesuai dengan kaidah matematis Mandala Wajradhatu. Mandala Borobudur bisa digambarkan dalam sebuah
diagram seperti gambar di bawah ini: [caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="
Diagram Mandala (geometryarchitecture.wordpress.com)"]
Diagram Mandala (geometryarchitecture.wordpress.com)
[/caption] Konsep awal desain Candi Borobudur tersebut dapat dikaitkan dengan Euclidean Geometry. (Duh, apalagi Euclidean geometry? Klik
di sini). Bentuk-bentuk utama pada bangunan Candi Borobudur ternyata hanya terdiri dari dua bentuk utama pada Euclidean Geometry, yaitu bentuk lingkaran dan persegi. [caption id="attachment_309962" align="aligncenter" width="651" caption="Candi Borobudur dan Euclidean Geometry (geometryarchitecture.wordpress.com)"]
[/caption]
Weeessss!!! Baru seperti ini saja menurut saya Borobudur sudah WOW! Kok bisa ya, dari geometri yang sangat sederhana dijadikan desain sampai dengan menjadi bangunan yang segede, semegah, dan seindah Candi Borobudur secara presisi? Padahal abad ke-8 belum ada komputer. Terus Wangsa
Syailendra juga mungkin belum mengenal kamera. Dan yang jelas belum ada tongsis :D Tapi, siapalah saya kok bicara tentang arsitektur, padahal tak punya latar belakang keilmuannya? Setelah berkali-kali mengulik tentang Borobudur, saya mendapati sebuah penelitian Ibu Dwita Hadi Rahmi, seorang dosen Teknik arsitektur UGM yang mengangkat tentang Pusaka Saujana Borobudur dalam disertasinya. Beliau mengungkapkan bahwa dalam eksistensinya, wujud dan nilai keunggulan pusaka saujana Borobudur dilandasi oleh “mandala Borobudur”, yaitu hubungan antara kekuatan pusat dan pinggiran dari sebuah sistem kehidupan, serta hubungan kekuatan dari awal sampai akhir pada sebuah proses kehidupan. Konsep mandala Borobudur ini dimaknai sebagai kekuatan yang memberi arah dan makna kehidupan seluruh alam dan masyarakat Borobudur dalam kesatuan ruang dan waktu, yang mengandung keseimbangan, keselarasan, keteraturan, dan kemenerusan kehidupan untuk menuju kesempurnaan hidup (dikutip sesuai aslinya dari disertasi Ibu Dwita Hadi Rahmi). [caption id="attachment_309967" align="aligncenter" width="455" caption="Konsep Pusaka Saujana Borobudur (disertasi Dwita Hadi Rahmi) "]
[/caption] Belum selesai! Karena itu baru dilihat dari atas. Kalau dilihat dari depan (berbagai arah), Candi Borobudur yang puncaknya terdiri dari 72 stupa dan 1 stupa utama menyerupai stupa gigantik yang mirip gunung. Mengapa gunung? Karena simbol gunung memiliki makna religius penting bagi umat Buddha di Jawa. Dan perlu diingat, Candi Borobudur didirikan para raja dari Wangsa Syailendra, yang berarti "Penguasa Gunung". Bahkan ada yang menyebutkan dalam sebuah prasasti, Candi Borobudur disebut sebagai Sumeru Buddha Sempurna. Gunung Sumeru adalah gunung mitologi yang menjadi pusat semesta, tempat raja dewa bertakhta (yang ini sumbernya dari
sini). Secara arsitektur, Candi Borobudur mempunyai tiga tahapan yang berbeda, dan sengaja dibuat seperti itu karena memiliki makna. Berikut penjelasan singkatnya yang disarikan dari
http://borobudurpark.co.id/temple/aboutBorobudur: Tahapan pertama, yang terbawah, biasa disebut
Kamadhatu. Berbagai referensi menyebutkan bahwa di tahap Kamadhatu diartikan sebagai kondisi masyarakat umum yang penuh fenomena dengan "nafsu duniawi yang rendah". Di zona Kamadhatu ini ada 160 relief yang tertutup, biasa disebut relief Karmawibhangga. Terdapat perdebatan yang menduga penutupan relief karmawibhangga gegara berisi cerita ‘molimo’ yang menerangkan hukum sebab akibat dan dianggap
saru. Sedangkan kelompok lainnya menganggap penutupan relief tersebut dilakukan untuk memperkokoh pondasi Candi Borobudur. Namun jika anda tetap
'mau tahu banget' dan ingin melihat relief Karmawibhangga yang telah tertutup tersebut, silahkan singgah di Museum Karmawibhangga, menjelang pintu keluar Candi Borobudur. [caption id="attachment_309973" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu relief Karmawibhangga di Museum Karmawibhangga"]
[/caption] Tahap kedua adalah
Rupadhatu, bidang transisi, di mana manusia melepaskan hal-hal keduniawian. Empat undakan di zona Rupadhatu bak galeri yang berisi
empat lorong dengan 1.300 gambar relief (Gandhawyuha, Lalitawistara, Jataka and Awadana) serta 328 patung. Jika dibentangkan, panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. [caption id="" align="alignnone" width="640" caption="Beberapa relief di zona Rupadhatu (dok. pribadi)"]
Beberapa relief di zona Rupadhatu (dok. pribadi)
[/caption] Yang ketiga adalah tahap tertinggi,
Arupadhatu (maknanya tak berwujud, tidak berupa). Arupadhatu terdiri dari tiga teras melingkar yang mengarah ke pusat atau kubah stupa yang merepresentasikan naiknya kemuliaan seseorang dari atas dunia ini. Mengapa di tahap ini tak ada relief dan tanpa hiasan? Ada yang menyebutkan bahwa hal tersebut menunjukkan kemurnian bentuk adalah yang terpenting. [caption id="attachment_309974" align="aligncenter" width="448" caption="Zona
arupadhatu (dok. pribadi)"]
[/caption] Kok lumayan panjang ya tulisan ini? Padahal masih belum semua tentang Candi Borobudur dibahas. Makanya, menurut saya akan lebih asik saat berkunjung ke Borobudur atau ke tempat-tempat bersejarah lainnya kita mau lebih repot belajar tentang segala sesuatu di belakangnya. Nanti bonusnya ya berfoto-foto gitu. Apalagi sekelas Borobudur, yang seolah sudah menjadi daya tarik bagi orang-orang luar negeri untuk mempelajari, masa kita yang orang pribumi malah kurang mengetahui barang-barang yang diwariskan leluhur kita? ____________
Klik tulisan lainnya:
Borobudur, perpustakaan bangsa yang belum selesai dibaca
Menikmati Borobudur di Malam Hari
Trip ala Ndeso ke Borobudur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Humaniora Selengkapnya