Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asiknya Belajar Tentang Arsitektur Borobudur

7 Juni 2014   00:14 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:57 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_309977" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Borobudur, karya masterpiece yang masih asik dipelajari (dok. pribadi)"][/caption] “Oleh-olehnya Mas. Murah aja Mas, lima puluh ribu Mas”, seru seorang pedagang asongan secara agresif kepadaku, saat baru turun dari Candi Borobudur. Barang yang dijajakan oleh pedagang di Candi Borobudur sangat bervariasi. Miniatur candi berbahan fiber menjadi salah satu komoditi yang dijual oleh pedagang. Akhirnya aku bersyukur karena gagal membeli produk yang  ditawarkan pedagang tersebut. Mengapa? Karena setelah menelisik di desa-desa sekitar Candi Borobudur ternyata miniatur candi seharga Rp 7.500,- sampai dengan Rp 20.000,- langsung dari pengrajinnya. [caption id="attachment_309956" align="aligncenter" width="480" caption="Salah satu proses membuat kerajinan miniatur Candi Borobudur (dok. pribadi)"]

14020422961697967586
14020422961697967586
[/caption] Namun ada yang menarik saat mengamati miniatur Candi Borobudur yang ditawarkan para pedagang. Setelah saya amati lebih teliti, jika dilihat dari atas, penampakan Candi Borobudur yang nyata maupun yang miniatur, hampir sama persis (ya iyalah, namanya juga miniatur). Saya coba cek melalui google maps di link ini, dan hasilnya seperti gambar berikut ini: [caption id="attachment_309958" align="aligncenter" width="640" caption="Kerajinan miniatur Candi Borobudur dan Candi Borobudur dilihat dari atas"]
14020425312002258718
14020425312002258718
[/caption] Ada pola konsentris saat melihat Borobudur dari atas. Ya, ini yang biasa disebut dengan bagan mandala. Ah, apa itu mandala? Jadi tambah kepo, dan semakin kelihatan saya kurang memahami apa-mengapa-bagaimana di balik candi yang sering jadi icon Indonesia ini. Setelah browsang-browsing dan mencari literatur tentang arsitektur Borobudur, saya mendapatkan beberapa referensi terkait bagan mandala, di antaranya: Menurut A.Wayman (1981) pada hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta. Dari referensi lainnya, saya dapati bahwa bentuk mandala yang mendasari arsitektur Borobudur adalah Mandala Dharmadhatu dan Wajradhatu. Teras Borobudur disusun sesuai dengan kaidah matematis Mandala Wajradhatu. Mandala Borobudur bisa digambarkan dalam sebuah diagram seperti gambar di bawah ini: [caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Diagram Mandala (geometryarchitecture.wordpress.com)"]
Diagram Mandala (geometryarchitecture.wordpress.com)
Diagram Mandala (geometryarchitecture.wordpress.com)
[/caption] Konsep awal desain Candi Borobudur tersebut dapat dikaitkan dengan Euclidean Geometry. (Duh, apalagi Euclidean geometry? Klik di sini). Bentuk-bentuk utama pada bangunan Candi Borobudur ternyata hanya terdiri dari dua bentuk utama pada Euclidean Geometry, yaitu bentuk lingkaran dan persegi. [caption id="attachment_309962" align="aligncenter" width="651" caption="Candi Borobudur dan Euclidean Geometry (geometryarchitecture.wordpress.com)"]
14020444551871977753
14020444551871977753
[/caption] Weeessss!!! Baru seperti ini saja menurut saya Borobudur sudah WOW! Kok bisa ya, dari geometri yang sangat sederhana dijadikan desain sampai dengan menjadi bangunan yang segede, semegah, dan seindah Candi Borobudur secara presisi? Padahal abad ke-8 belum ada komputer. Terus Wangsa Syailendra juga mungkin belum mengenal kamera. Dan yang jelas belum ada tongsis :D Tapi, siapalah saya kok bicara tentang arsitektur, padahal tak punya latar belakang keilmuannya? Setelah berkali-kali mengulik tentang Borobudur, saya mendapati sebuah penelitian Ibu Dwita Hadi Rahmi, seorang dosen Teknik arsitektur UGM yang mengangkat tentang Pusaka Saujana Borobudur dalam disertasinya. Beliau mengungkapkan bahwa dalam eksistensinya, wujud dan nilai keunggulan pusaka saujana Borobudur dilandasi oleh “mandala Borobudur”, yaitu hubungan antara kekuatan pusat dan pinggiran dari sebuah sistem kehidupan, serta hubungan kekuatan dari awal sampai akhir pada sebuah proses kehidupan. Konsep mandala Borobudur ini dimaknai sebagai kekuatan yang memberi arah dan makna kehidupan seluruh alam dan masyarakat Borobudur dalam kesatuan ruang dan waktu, yang mengandung keseimbangan, keselarasan, keteraturan, dan kemenerusan kehidupan untuk menuju kesempurnaan hidup (dikutip sesuai aslinya dari disertasi Ibu Dwita Hadi Rahmi). [caption id="attachment_309967" align="aligncenter" width="455" caption="Konsep Pusaka Saujana Borobudur (disertasi Dwita Hadi Rahmi) "]
14020455001877050145
14020455001877050145
[/caption] Belum selesai! Karena itu baru dilihat dari atas. Kalau dilihat dari depan (berbagai arah), Candi Borobudur yang puncaknya terdiri dari 72 stupa dan 1 stupa utama menyerupai stupa gigantik yang mirip gunung.   Mengapa gunung? Karena simbol gunung memiliki makna religius penting bagi umat Buddha di Jawa. Dan perlu diingat, Candi Borobudur didirikan para raja dari Wangsa Syailendra, yang berarti "Penguasa Gunung". Bahkan ada yang menyebutkan dalam sebuah prasasti, Candi Borobudur disebut sebagai Sumeru Buddha Sempurna. Gunung Sumeru adalah gunung mitologi yang menjadi pusat semesta, tempat raja dewa bertakhta (yang ini sumbernya dari sini). Secara arsitektur, Candi Borobudur mempunyai tiga tahapan yang berbeda, dan sengaja dibuat seperti itu karena memiliki makna. Berikut penjelasan singkatnya yang disarikan dari http://borobudurpark.co.id/temple/aboutBorobudur: Tahapan pertama, yang terbawah, biasa disebut Kamadhatu. Berbagai referensi menyebutkan bahwa di tahap Kamadhatu diartikan sebagai kondisi masyarakat umum yang penuh fenomena dengan "nafsu duniawi yang rendah". Di zona Kamadhatu ini ada 160 relief yang tertutup, biasa disebut relief Karmawibhangga. Terdapat perdebatan yang menduga penutupan relief karmawibhangga gegara berisi cerita ‘molimo’ yang menerangkan hukum sebab akibat dan dianggap saru. Sedangkan kelompok lainnya menganggap penutupan relief tersebut dilakukan untuk memperkokoh pondasi Candi Borobudur. Namun jika anda tetap 'mau tahu banget' dan ingin melihat relief Karmawibhangga yang telah tertutup tersebut, silahkan singgah di Museum Karmawibhangga, menjelang pintu keluar Candi Borobudur. [caption id="attachment_309973" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu relief Karmawibhangga di Museum Karmawibhangga"]
14020484251719056058
14020484251719056058
[/caption] Tahap kedua adalah Rupadhatu, bidang transisi, di mana manusia melepaskan hal-hal keduniawian. Empat undakan di zona Rupadhatu bak galeri yang berisi empat lorong dengan 1.300 gambar relief (Gandhawyuha, Lalitawistara, Jataka and Awadana) serta 328 patung. Jika dibentangkan, panjang relief seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. [caption id="" align="alignnone" width="640" caption="Beberapa relief di zona Rupadhatu (dok. pribadi)"]
Beberapa relief di zona Rupadhatu (dok. pribadi)
Beberapa relief di zona Rupadhatu (dok. pribadi)
[/caption] Yang ketiga adalah tahap tertinggi, Arupadhatu (maknanya tak berwujud, tidak berupa). Arupadhatu terdiri dari tiga teras melingkar yang mengarah ke pusat atau kubah stupa yang merepresentasikan naiknya kemuliaan seseorang dari atas dunia ini. Mengapa di tahap ini tak ada relief dan tanpa hiasan? Ada yang menyebutkan bahwa hal tersebut menunjukkan kemurnian bentuk adalah yang terpenting. [caption id="attachment_309974" align="aligncenter" width="448" caption="Zona arupadhatu (dok. pribadi)"]
1402048585727248160
1402048585727248160
[/caption] Kok lumayan panjang ya tulisan ini? Padahal masih belum semua tentang Candi Borobudur dibahas. Makanya, menurut saya  akan lebih asik saat berkunjung ke Borobudur atau ke tempat-tempat bersejarah lainnya  kita mau lebih repot belajar tentang segala sesuatu di belakangnya. Nanti bonusnya ya berfoto-foto gitu. Apalagi sekelas Borobudur, yang seolah sudah menjadi daya tarik bagi orang-orang luar negeri untuk mempelajari, masa kita yang orang pribumi malah kurang mengetahui barang-barang yang diwariskan leluhur kita? ____________

Klik tulisan lainnya:

Borobudur, perpustakaan bangsa yang belum selesai dibaca

Menikmati Borobudur di Malam Hari

Trip ala Ndeso ke Borobudur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun