Sultan juga mengamati masih minimnya tokoh yang memiliki perhatian terhadap tuntutan penerapan Pancasila sebagai ideologi praktis. Menurut Sultan, Pancasila perlu ditransformasikan ke bentuk dan model-model aplikatif dalam kehidupan. Pancasila tidak bisa hanya dijadikan ideologi yang berwajah mitis atau politis.Â
Mengenai kondisi pertarungan politik akhir-akhir ini, Sultan menganalogikan layaknya sebuah pagelaran wayang kulit di mana kita tidak mendengar sebuah 'suluk ki dalang' yang menyejukkan penuh harmoni, tetapi semua terjebak dalam 'greget saut' beradu benar dan menangnya sendiri disertai ujaran kebencian. "Dalam pentas politik, yang terdengar hanya debat penuh paradoksal, kontroversial, bahkan cenderung vulgar. Saling-silang pernyataan terjadi. Pendapat satu ditimpa yang lain, tetapi tidak menyentuh makna yang substansial. Semua terpenjara dalam adegan 'gara-gara' yang vulgar, melupakan bagaimana mengutamakan Pancasila sebagai basis rekonsiliasi demi kepentingan yang lebih besar bagi bangsa," seru Sri Sultan.Â
Di akhir orasinya, Raja Kasultanan Ngayogyakarta ini memberi wejangan meneduhkan, "Saya mengajak masyarakat untuk membangkitkan Gerak Pancasila dari Yogya untuk Indonesia, seperti halnya 'serangan kejut' 1 Maret 1949, bukan lagi dengan simbol janur kuning, tetapi pita merah putih yang membawa impresi jiwa Pancasila dan semangat kebangsaan itu masih hidup di hari rakyat guna merawat NKRI tetap lestari". Masyarakat pun bertepuk tangan riuh mendengarkan pungkasan orasi ini.Â
Acara peringatan Hari Lahir Pancasila kemudian dilanjutkan dengan berbuka puasa bersama. Puluhan ribu nasi bungkus yang disumbang dari berbagai lapisan masyarakat dibagikan. Sri Sultan beserta seluruh undangan yang hadir pun duduk bersama, berbuka dengan nasi bungkus seperti masyarakat lainnya.
Semoga Pancasila tetap terjaga di Bumi Mataram maupun Nusantara.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H