“Hanya ke Bandung lah aku kembali kepada cintaku yang sesungguhnya”, demikian ungkapan Bung Karno ketika menyebut Bandung.
Berbicara tentang Bandung bukan hanya bercerita bagaimana Tanah Sunda ini menjadi bagian sejarah bangsa. Menurut Pidi Baiq, “Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi”. Bandung tak mudah hilang dari ruang dalam dada bagi orang-orang yang peka, terutama saat berkaitan dengan asmara.
Bandung dikemas dengan manis saat menjadi latar kisah hidup Dilan dan Milea, dua remaja yang menjadi pusat cerita yang dirangkai Pidi Baiq. Setelah menuliskan dua buku tentang Dilan dari perasaan Milea, kali ini Pidi Baiq mengisahkan Milea dari sudut pandang Dilan.
Dalam buku berjudul “Milea, Suara dari Dilan”, Dilan yang menjadi pusat cerita juga didaulat sebagai narator yang memulai ceritanya dengan memperkenalkan tokoh-tokoh di sekelilingnya. Selain tokoh, dalam buku ini Pidi Baiq mencoba memutar kembali ingatan dengan me-recall tentang kejadian-kejadian yang dialami antara Dilan dan Milea di buku sebelumnya.
Buku ini menjadi kesempatan Dilan yang beberapa kali memberi klarifikasi, seperti pada halaman 48 saat menceritakan tentang geng motor. Menurut Dilan, geng motornya biasa saja. Dilan mengungkapkan bahwa tidak benar sepenuh hidupnya digunakan untuk geng motornya, seperti yang diceritakan Milea. Dilan juga memberikan penjelasan detail mengenai penangkapannya oleh Polisi, apa saja yang ditanyakan padanya, hingga ayahnya datang saat Dilan ditahan sementara.
Potret Dilan sebagai cowok humoris, penyayang, setia, dan memiliki seribu satu cara untuk mencairkan suasana adalah kekuatan yang masih ditonjolkan dalam buku ini. Perangai Dilan yang dikesankan dengan anak muda bad boy tapi cerdas seakan menjadi impian bagi para gadis. Apalagi kata-katanya yang segar apa adanya, mampu menempatkan Dilan pada pucuk daftar most loveable remaja lelaki. “Jangan datang ke perempuan untuk membuat dia mau, tetapi datanglah ke perempuan untuk membuat dia senang”, demikian kata-kata Dilan yang bisa diaplikasikan kepada cowok-cowok pemburu asmara.
Pidi Baiq memainkan beberapa kemerdekaan dalam bercerita, seperti biasanya. Novel ini pun kembali dikemas dengan diksi yang tidak terlalu dramatisir. Kondisi keluarga yang hangat, dengan teman-teman yang perhatian, adalah wujud bagaimana Pidi Baiq membawa pesan-pesan kepada pembacanya agar menjaga hubungan dengan orang-orang di dekatnya. Percakapan yang mengalir santai namun cerdas membuat novel ini terasa sekali Pidi Baiq-nya.
Romantika masa muda Dilan yang dialami pada era 1990-an akan membuka banyak kenangan bagi sebagian orang, apalagi bagi mereka yang pernah merasakan Bandung di masa-masa itu. Perasaan kesepian yang dialami Dilan saat diputus oleh Milea contohnya, yang semakin syahdu dibahasakan dalam buku ini. “Dan, kota itu adalah kota Bandung, tempat di mana malam itu, di kamarku, aku benar-benar seperti sedang menyembunyikan masalah pada diriku sendiri. Atau bukan? Atau sebenarnya seperti sedang berusaha mencari kunci kebijaksanaan yang bisa memungkinkan aku untuk akhirnya bisa meraih kembali pikiranku yang tenang, dan mengabaikan semua perasaan? Atau apa? Aku gak tahu, bahkan aku tidak bisa merinci perasaanku.", ungkap Dilan di halaman 191.
Gejolak emosi masa muda anak 90-an dilukiskan dengan apik dari sisi Dilan. Meninggalnya Akew menjadi salah satu deru tersendiri di buku ini. Akew yang meninggal karena menjadi salah sasaran perkelahian berpengaruh besar pada renggangnya hubungan Dilan dan Milea. Pidi Baiq juga pandai membunyikan peran. Menjelang akhir, Dilan bertemu dan mendapat wejangan dari Remi (seorang waria) di warung kopi kang ewok. Remi bertutur dengan bijaksana mengenai kondisi psikologi perempuan dan laki-laki.
Dalam buku ini, Pidi Baiq menyeret pembaca ke bagian masa depan. Dilan secara tak sengaja bertemu dengan pasangan Milea saat magang, hingga reuni yang kembali mempertemukan Dilan dengan teman-temannya di kala SMA adalah bumbu-bumbu cerita yang elok ketika penasaran dengan kehidupan Dilan selepas menanggalkan seragam putih abu-abunya.
Akhirnya, novel terbitan Pastel Books yang sudah ditunggu oleh para pembaca setia Surayah (nama hits Pidi Baiq di twitter) ini layak menjadi oase bagi Anda yang merindukan masa-masa muda 90-an, atau Anda yang pernah bersentuhan dengan kota kembang.