Kritik terhadap Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten yang terlalu massif membangun hotel dan mall, atau membiarkan papan reklame menutupi saujana di perempatan adalah wujud bagaimana manusia Jogja sebagai pelaku sekaligus penopang perekonomian menjadi korban pengolaan ruang tempat tinggalnya. Selanjutnya, bagaimana mungkin wisatawan, pegiat seni, atau mahasiswa bisa lebih betah di Jogja, kalau masyarakat yang tinggal di Jogja saja jengah dengan daerahnya?
Sebagai Gubernur, Ngarsa Dalem juga dihadapkan pada tantangan tradisi ‘nengga dawuh’ (menunggu perintah) yang telah tertanam kuat di lingkaran birokrasi. Idiom asal bapak senang (ABS) juga tak kalah susah untuk dihilangkan. Old problems, new challenges, demikian yang terjadi ketika melongok di instansi-instansi daerah istimewa ini. Sultan ingin gumregah (semangat dan bangkit), tapi pegawainya masih belum selesai terbelenggu dengan tumpukan kertas administrasif, bahkan menganggap profesi pegawai adalah tempat ternyaman untuk menggantungkan hidup.
Maka tugas pertama yang perlu diselesaikan untuk membumikan Jogja Istimewa adalah bagaimana mengubah mindset para aparatur sipil. Pemerintah daerah perlu banyak dikawal pembenahannya agar senada dengan identitas yang istimewa. Berikutnya, proses adaptasi sistem pemerintahan dengan berbagai perkembangan digital mau tak mau harus cepat dikejar. Dan satu hal yang tak kalah penting, sumber daya manusia di instansi yang diberi tugas menggemakan keistimewaan Jogja perlu segera direvitalisasi. Perombakan besar pada tim public engagement yang mempublikasi kerja-kerja pemerintah daerah ini mutlak dilakukan.Â
Bila perlu, Sultan HB X turun gunung dan secepatnya mengoptimalkan peran lembaga yang sudah ada atau bahkan membentuk tim kecil semacam KSP (Kantor Staf Presiden) yang mengawal dan memonitor pelaksanaan keistimewaan Jogja. Tim ini secara langsung berada di bawah beliau, dan selalu berada di ring 1 kemanapun beraktivitas sebagai pemimpin pemerintahan.
Jogja memiliki modal manusia yang tak terhitung nilainya. Akademisi, seniman dan budayawan, pengusaha, bahkan tokoh nasional memiliki ikatan kuat hingga menghidupi daerah ini. Ketika menengok sejarah, telah ditorehkan dalam berbagai catatan bahwa Jogja adalah daerah dengan kekuatan komunal paling militan.
Maka usaha berikutnya untuk membumikan keistimewaan Jogja seyogyanya dilakukan secara kolosal. Dalam perumusan kebijakan, pelibatan berbagai entitas dan komunitas yang selama ini nyengkuyung Jogja perlu diperlebar. Merekalah yang bisa menetralkan kepentingan-kepentingan tertentu, dan memberi sudut pandang yang mewakili suara terkecil masyarakat Jogja.
Implementasi Jogja yang istimewa masih butuh perjuangan yang berliku. Roh dari berbagai filosofi yang sering dikutip sebagai landasan nilai keistimewaan perlu segera dibuktikan. Meskipun demikian, kepedulian kepada Jogja masih relatif kuat dari berbagai kalangan. Semoga setelah empat tahun UUK disahkan akan muncul beragam perwujudan nyata atas gumregah-nya Jogja Istimewa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H