Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendefinisikan Manusia Islam di Indonesia Versi Sang Buya

7 Juni 2015   12:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:18 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Islam tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang Indonesia, atau bahkan perjalanan sejak awal hadirnya manusia. Islam bersentuhan secara langsung dengan perkembangan dunia yang terjadi dalam berbagai bentuk, selama berabad-abad. Islam, Indonesia, dan manusia, tiga hal yang kerap diperbincangkan di berbagai tempat oleh para pakar, mahasiswa, bahkan masyarakat biasa di sekitar kita.

Namun tak jarang ketiga hal tersebut diasingkan dari pergumulan fakta budaya dan sosial. Seolah ada sekat yang memilah keterkaitan antara keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan. Ketiga hal tersebut seolah berdiri sendiri. Bicara islam ya islam, Indonesia ya negara, dan seterusnya.

Melihat berbagai macam pergolakan pemikiran bahkan perilaku yang terjadi dan berkembang, muncul kegelisahan apakah islam memang bisa menjadi pegangan dalam menjawab permasalahan yang terjadi di Indonesia bahkan dunia? Apakah Islam hadir sepenuhnya untuk dijadikan pedoman manusia?

Beruntungnya, kegelisahan di atas seakan terjawab saat Buya Syafii Maarif menuliskan berbagai refleksi dan pandangan perihal ketiga isu tersebut dalam buku berjudul “Islam, Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan”.

 

 

Berbeda dengan karya Cak Nur yang pernah membahas ketiga isu tersebut, melalui buku setebal 332 halaman tokoh muhammadiyah ini menyuguhkan tulisan yang relatif komprehensif. Melalui proses panjang dan perenungan mendalam, Buya Syafii Maarif memberikan pandangannya dengan menyebutkan bahwa Islam selalu masuk ke sebuah kawasan yang secara kultural tidak kosong dan hampa, tetapi sudah sarat dengan berbagai sistem nilai dan kepercayaan. Tentang catatan Buya ini, bisa kita cek kehadiran Islam di Nusantara yang telah jelas bahwa dulunya telah ada Buddha dan Hindu. Namun hingga sekarang, Indonesia masih bisa merawat keanekaragaman tersebut meskipun Islam telah mendominasi secara jumlah pemeluknya.

Buya Syafii kemudian menelaah beberapa pandangan founding fathers tentang keislaman dan keindonesiaan. Beliau mengulas keterkaitan pemikiran antara Soekarno dan Agus salim, dan bagaimana perdebatan di antara keduanya walaupun memiliki kesamaan dalam mencapai tujuan menjadikan Indonesia sebagai negeri yang merdeka. Bahkan perenungan Buya cukup menarik saat membahas Tan Malaka. Menurutnya Tan Malaka adalah contoh nyata orang yang merdeka, berani menanggalkan egoisme dirinya dan berpetualang untuk sesuatu yang besar: kemerdekaan bangsa.

Selain itu, Buya juga menukil beberapa pandangan tokoh senior lainnya yang pernah beliau temui selama bergaul. Tak jarang berbagai kutipan Rendra, Anhar Gonggong, Jakob Oetama, Sutan Takdir Alisjahbana hadir di buku ini.

Sebagai senior citizen, Buya Syafii memandang bahwa islam sejalan dengan gagasan demokrasi. Pada Bab II terlihat jelas saat Buya mengawali pandangannya melalui berbagai referensi yang dikutip dari para pemikir Mesir, Maroko, dan Kuwait tentang ‘dukungan’ terhadap penerimaan sistem demokrasi yang sesuai dengan garis Islam. Kemudian dimantapkan dengan penelusuran Buya yang menghasilkan temuan bahwa sejatinya Alquran saja sangat toleran, dengan tidak memaksa sewenang-wenang dalam mengajak seseorang dalam beragama.

Buku ini disajikan dengan sudut pandang khas Buya Syafii yang apa adanya tanpa mengurangi kualitas keilmuan dan wawasannya sebagai guru bangsa. Berbagai kritikannya pun mencuat tanpa tedheng aling-aling.

Pada Bab III contohnya, saat Buya Syafii menguliti tentang Islam di Indonesia. Sorotan cerdasnya mengemuka saat mengkaji tentang masalah kualitas para muslimin. Menurutnya Islam di Indonesia memang telah menjadi agama mayoritas, namun masih minus dalam hal kualitas. Koreksi dari Buya Syafii ini kemudian dijawabnya dengan perhatian terhadap pendidikan yang perlu ditingkatkan dan benar-benar menjadi proses penting dalam pembentukan karakter muslim-Indonesia yang lebih berkualitas.

Sebagai tokoh penting Muhammadiyah, Buya Syafii mengulas pandangannya dari sudut pandang ‘rumahnya’ tersebut. Menurutnya, aspek filosofis dari pendidikan Muhammadiyah belum secara utuh tertuang dalam berbagai rumusan maupun dokumen-dokumen yang pernah dihasilkan oleh Muhammadiyah. Buya menekankan bahwa Muhammadiyah perlu merumuskan filsafat pendidikan Islam yang mampu mengawinkan antara tuntunan otak dan tuntunan hati. Tidak seperti dunia barat yang terlalu sibuk dengan urusan otak dan teknik, sementara dunia timur sebagian masih saja tenggelam dalam spiritualisme dan ilmu tenung.

Menariknya, Buya Syafii juga mengetengahkan sudut pandang NU dalam buku ini. Pada halaman 244-250 Buya membeberkan bahwa sedang terjadi gelombang baru pemikiran yang menghempas tentang pendidikan yang sebelumnya dikenal sebagai gerakan Islam tradisi. Gelombang ini tak lain dari pengaruh Gus Dur.

Setelah membahas pandangan dua organisasi masyarakat muslim terbesar di Indonesia tersebut, Buya kemudian menawarkan konsep unity of knowledge (kesatuan ilmu pengetahuan). Dalam konsep ini, apa yang dikenal dengan pendidikan sekuler dan konsep pendidikan agama telah kehilangan relevansinya. Seluruh cabang ilmu pengetahuan dalam konsep ini bertujuan untuk membawa manusia mendekati Allah, sebagai sumber tertinggi dari segala-galanya.

Melalui konsep ini, embel-embel islam di belakang disiplin ilmu akan lebur. Tidak ada lagi ekonomi islam, kedokteran islam, dan seterusnya, karena semuanya sudah berada di bawah tenda besar “the unity of knowledge”.

Sebagai sosok sepuh, Buya juga mencatat beberapa poin penting tentang masa depan agama. Kondisi global saat buku ini ditulis menjadi suguhan menarik dan menunjukkan bahwa pembahasan mengenai Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang diangkat dalam buku ini kontekstual terhadap perkembangan yang terjadi di dunia.

Buya seakan menjawab kegelisahan ketiga hal penting dengan kritik kemudian memberikan solusinya dengan kemasan kalimat yang menarik, seperti “Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan tidak saja bisa berjalan bersama dan seiring, tetapi ketiganya dapat menyatu dan dan saling mengisi untuk membangun sebuah taman sari yang khas Indonesia”. 

Tak hanya untuk para akademisi, buku ini juga layak menjadi referensi para pengambil kebijakan di Indonesia sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Selain itu, apa yang telah disusun oleh Buya Syafii juga sangat tepat jika dibaca oleh kaum muda. Karena tak jarang dalam buku ini berkali-kali Buya Syafii memberi highlight kepada generasi muda. Sebagai contoh, pada halaman 327, sebelum mengakhiri karyanya Buya berpesan:

Mengapa saya punya harapan kepada anak-anak muda Indonesia? Alasannya sederhana saja karena saya masih melihat potensi anak-anak muda idealis dan berilmu yang dimiliki bangsa ini untuk suatu ketika bisa membawa kita mendekati tujuan kemerdekaan; terciptanya keadilan untuk semua, kemakmuran tanpa pilih kasih, dan persaudaraan tulus antara sesama anak bangsa, apapun sukunya, apapun agamanya. Bangsa ini kini sedang menanti kehadiran mereka, mereka yang punya kepekaan, mereka yang punya hati nurani. Semoga penantian itu tidak akan terlalu lama.

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun