[caption id="attachment_179125" align="aligncenter" width="679" caption="Akhirnya masyarakat Tarak menikmati layanan Indosat"][/caption]
Lanjutan Kitorang Su Dapat Sinyal, Jendral! (4)
Menelepon Jendral!
25 Desember 2011
Sesuai kesepakatan masyarakat dan teknisi, inilah hari yang ditentukan untuk memulai proses pengerjaan BTS. Pagi-pagi pemuda sudah membunyikan bel tanda gotong royong, hampir semua masyarakat mulai beranjak dari rumahnya menuju lokasi BTS.
Tanpa dikomando semua membagi tugas. Sebagian orang tua meratakan tanah, mengangkut batu dan pasir, mencampur semen, mengukur pondasi, dan berbagai aktifitas gotong royong lainnya.
Mace-mace (ibu-ibu) tidak kalah ramai, semua menyemut di dapur rumah. Ada yang memasak nasi dan lauknya, merebus air, menyeduh teh atau kopi untuk kaum laki-laki yang sedang sibuk berjibaku di medan BTS.
Hari pertama kerja ini masyarakat luar biasa bersemangat. Dalam setengah hari penggalian pondasi telah selesai, dan siap untuk menjadi alas tower. Namun sesuai petunjuk masyarakat, perlu diadakan semacam acara adat agar proses pembangunan ini berjalan lebih lancar.
Sebelum acara adat ini berlangsung, aku sengaja menarik diri, pulang ke rumah dan berdiam di kamar.
Subkhi, Pengajar muda Fakfak yang kebetulan sedang berkunjung ke kampungku mencari-cari. “Woy, masyarakat sudah menunggu itu, cepat!”, katanya mengajakku. “Aku mau istirahat dulu, bilang sama masyarakat.”, kataku.
Di dalam kamar aku hanya menunduk.
Oh Tuhan.... inilah fase yang pernah kuimpikan. Semua masyarakat, besar kecil, tua muda, pria maupun wanita semua berkumpul dan bergotong royong. Rasa haru dan bahagia menyelimuti suasana kerja. Mimpi yang ditangguhkan selama bertahun-tahun tak akan lama lagi akan berwujud nyata. Inilah tahapan yang mereka lalui sebelum sebentar lagi merasakan fasilitas komunikasi.
Dunia akan terang di sini, tidak gelap lagi. Sebentar lagi handphone bukan hanya untuk memutar lagu, tetapi kembali ke fungsi utama untuk berkomunikasi. Semua orang akan tersenyum dan menikmati hasil kerja keras mereka sendiri.
[caption id="attachment_179126" align="aligncenter" width="346" caption="acara adat"]
*
Pekerjaan semakin hari semakin semangat. Bapak desa selalu memberikan mop (humor ala Papua) disaat masyarakat sudah agak capek. Bahkan dengan sengaja memutar musik keras-keras agar semua kembali bersemangat. Tim teknisi semakin menyatu dengan masyarakat Tarak. Setiap jeda kerja selalu berinteraksi baik sekedar bercerita maupun melakukan aktifitas lainnya. Seperti Kang Sandy, teknisi ini bukan hanya diajak memancing cumi-cumi di dermaga, tetapi dia juga sering dimintai tolong oleh warga untuk menyetting televisi dari rumah ke rumah oleh warga.
“Bapa guru, kitorang su kerja to? Kira-kira kapan sinyal ini menyala?”, tanya Bapa desa kepadaku.
“Saya belum dapat info itu pace, coba kitorang tanya dulu sama teknisi”, jawabku.
Tim teknisi menjelaskan masih ada beberapa material yang belum tiba di Fakfak. Pengiriman material terkendala cuaca Indonesia timur yang sedang memasuki musim angin barat. Material tambahan pun datang terlambat.
Fyuhhh...
Harus tetap sabar. Mungkin keringat dan usaha keras belum lengkap tanpa disertai doa.
“Sabar e pace... tong pu alat su datang, tara lama lagi pasti kitorang bisa dapat sinyal. Barang su ada mo...”, kataku menghibur bapak angkatku.
5 Januari 2011
Akhirnya seluruh komponen BTS telah tiba di kampung dengan datangnya pagar pembatas. Pengerjaan sudah hampir 75 persen terselesaikan. Semua masyarakat semakin penasaran dan kutebak sudah tidak tahan ingin merasakan sinyal.
Dua hari kita habiskan untuk memasang perangkat yang paling tinggi, tower. Di bagian bawah sebagian masyarakat ambil bagian untuk menutup area BTS ini dengan pagar pembatas. Seluruh komponen sudah terpasang. Sehingga 9 Januari 2012 siang tim teknisi sudah mulai mengecek jaringan.
“Belum ada pak guru, mungkin dari Jakarta belum sinkron.”, kata tim teknisi saat kutanya mengenai jaringan.
10 Januari 2012
Dua hari ini mengajar rasanya penuh semangat. Hari yang kuhabiskan dengan rangkaian eksperimen mengajar kreatif IPA dan matematika telah sukses membuat anak-anakku lebih semangat mengikuti proses kegiatan belajar mengajar.
Sore hari sepulang mengajar pelajaran tambahan, aku kembali menyambangi warga dan tim teknisi di arena tower. “Bagaimana, belum ketemu?”, tanyaku. “Sedikit lagi pak guru, semoga cepat terdeteksi.”, kata Kang Sandy, seorang teknisi yang ternyata alumni ITB.
Maghrib pun menjelang, akhirnya aku berpamitan karena harus segera menemani anak-anak berjamaah di masjid kemudian mengaji bersama mereka.
Sepulang dari masjid, aku duduk di kursi ruang tengah, menatap foto-foto kegiatan selama awal Januari. Namun rutinitas kali ini agak berbeda, konsentrasiku terpecah karena hampir setiap 5 menit sekali aku mengecek handphone, siapa tahu jaringan sudah terdeteksi dan sinyal sudah masuk. Berkali-kali aku mengecek, tapi tetap “no service”.
Tulisan itu tiba-tiba muncul di layar handphone-ku. Dadaku berdegup lebih kencang. Aku segera mengangkat handphone, masih belum percaya.
Aku mengecek pulsa...
Berhasil.
Tunggu dulu, ini permainan Kang Sandy atau memang betul-betul sinyal sudah menyala?
Aku langsung naik ke Kang Sandy yang masih mengurus beberapa instalasi tower.
“Kang... Kang Sandy, ini sudah ada Indosat!”, kataku sambil terengah-engah.
“Betul???”, dia malah balik bertanya.
“Ini!”, aku menunjukkan handphone.
“Sudah coba untuk menelpon atau cek pulsa?”, tanyanya lagi.
“Sudah!”, aku tak sabar.
“Alhamdulillah.... berarti sudah on pak guru. Hehe”, kata Kang Sandy.
Di bawah tower aku mencoba menghubungi orang-orang dekatku,
“Emaaaak.... ini Arif maaak!”,
“Jaaaang... ka..mu...sehat jang? Maap ya jang, kalau emak bikin kamu marah. Bagaimana kabarnya jang? Kenapa tidak pernah hubungi emak jang?”, emak menangis.
“Mak, ini arif nelpon dari pulau, bukan dari kota. Alhamdulillah kerja keras kita berhasil, sekarang emak bebas menghubungi arif, tidak perlu menunggu arif ke kota dulu”
“Ya Allah jang..... alhamdulillah.... emak bersyukur sekali”
Emak masih terisak....
Tak lama kemudian kuhubungi Erma, gadis imutku.
“Nduk... Apa kabar? Aku nelpon dari pulau ini. Indosat sudah on!”, aku masih bersuka cita.
“Maaas... alhamdulillah, akhirnya usaha kerasmu berhasil. Mas, aku lagi mengungsi di pusat kota. Di tempatku sedang ada masalah.”, suara manjanya kembali meruntuhkanku.
“Tapi kamu baik-baik saja to?”, tanyaku.
“Iya, baik-baik. Ini sama-sama dengan teman-teman pengajar muda Aceh juga”.
Selanjutnya, aku langsung menghubungi orang yang telah mengawali cerita ini, Dandim Fakfak. “Halo Pak Jendral! Sekarang saya sudah dapat sinyal!”, kataku sambil tersenyum.
“Siapa ini???”, sahut Pak Komandan tertinggi di Fakfak itu.
“Bapak, ini Arif, guru Indonesia Mengajar di Distrik Karas.”, waduh, ternyata beliau tak mengenal suaraku.
“Ooo... bagaimana Rif? Ini di mana posisimu?”, rupanya beliau sudah mengingatku.
“Saya di Kampung Tarak Pak, Distrik Karas. Sudah ada sinyal di sini.”, suaraku semakin riang.
“Ada sinyal di sana? Kamu pakai antena penguat ya?”, tanya beliau.
“Waduh pak, antena penguatnya langsung dari Indosat ini, alhamdulillah sudah ada tower di sini.”, aku terus bersemangat.
“Wah, mantap juga Rif. Nanti kalau ke kota singgah di kantor yah. Bapak masih ada pertemuan ini”, kata beliau mengakhiri pembicaraan.
Nomor selanjutnya yang harus kuhubungi adalah Om Srondol, aktor terpenting yang memperjuangkan keberadaan sinyal di kampungku. Namun sayang, hampir 20 kali kuhubungi tidak bisa masuk. Mungkin beliau sibuk, atau memang handphone sedang tidak aktif.
Rupanya hampir semua penghuni kampung mendengar kabar bahwa sinyal sudah hidup, jadi ketika aku kembali ke rumah warga mulai berkumpul.
Malam itu semua mengerubuti rumahku, tak lain ingin memastikan apakah sinyal sudah benar-benar on atau belum. Dan tak bisa mengelak mereka akan membeli kartu perdana Indosat.
Bapak tua dan Om Udin yang menjadi pengurus koperasi langsung melayani masyarakat yang membeli kartu.
Setelah kartu diregistrasi, kemudian satu persatu mulai mengirimkan kabar ke keluarga, saudara, teman, atau siapapun.
Malam itu seolah semua masyarakat sedang bersyukur merayakan sebuah kemenangan. Seluruh penghuni kampung menyalakan handphone, merekatkan ikatan, menjalin kebersamaan.
“Heh, tara bisa tidur lai. Kitorang pu kampung su terang. Dunia tara gelap lai. Indosat su menyala ini mau tidur bagaimana?”, seru Bapak Tua saat menghitung sisa kartu perdana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H