Aku hanya seorang guru sekolah dasar. Tugasku berdiri di depan kelas, dan memacu keterampilan dan pengetahuan anak-anak. Aku hanya salah seorang guru di ujung timur republik ini. Jika ada guru, berarti ada murid. Jika ada guru dan murid, berarti ada sekolah. Itulah sistematika berpikir secara sederhana bagi orang-orang di negeri ini.
Kata-kata yang kugunakan sebagai prolog tak beraturan di atas sangat berkaitan dengan tulisanku di bawah ini.
Kawan, aku adalah guru, satu dari dua guru yang mengajar di SDN Tarak, Distrik Karas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Satu dari dua guru? Ya, karena di tempatku mengajar sebenarnya ada dua guru, namun yang satu sudah pensiun, jadi tersisa satu guru tetap saja. Aku datang ke sini sebagai guru bantu. Jika rombongan belajar jumlahnya ada 6 kelas, maka sesuai pembagian tak bersisa, aku mengajar 3 rombongan belajar. 1 orang guru mengajar 3 rombongan belajar; kelas 4, kelas 5, dan kelas 6. Bayangkan, jika tak ada guru bantu, berarti satu-satunya guru tetap tadi akan mengajar 6 rombongan belajar, semua pelajaran, setiap hari, bahkan berbulan-bulan.
Lalu berapa jumlah murid yang kuajar? Sesuai data laporan bulanan sekolah kepada Dinas Pendidikan, bulan November 2011 kemarin ada 55 murid laki-laki dan 45 murid perempuan, atau 100 murid yang terhitung aktif mengikuti kegiatan belajar mengajar di SD ini. 100 murid dan hanya diampu oleh 2 orang guru? Ya, memang itu kenyataannya.
Sekarang poin terakhir, sekolah. Yang identik di kepala kita ketika menyebut “sekolah” adalah bangunan lurus dengan cat berwarna terang, mempunyai tiang bendera, lapangan, ada meja dan kursi yang berderet, papan tulis, dan segala atribut pendidikan lainnya. Ibarat dalam kegiatan ekonomi, sekolah adalah tempat berlangsungnya suatu transaksi. Pertemuan antara guru dan murid akan berlangsung untuk menemukan titik ekuilibrium pengetahuan. Kedua pihak bukan mendapatkan surplus atau defisit berbentuk uang, melainkan mendapatkan peningkatan kepuasan atas bertambahnya pengetahuan, kecakapan, penalaran, dan segala macam unsur keterampilan.
Memang, medan juang yang kutempati identik dengan “sekolah” yang selama ini kubayangkan. Sekalipun hanya dua ruang kelas, untuk 100 murid, dengan 2 orang guru.
Jadi, melalui tulisan ini aku bermaksud untuk mencari solusi. Kira-kira dengan sekolah yang berpenghuni 100 murid, 2 guru, dan 2 ruang kelas ini bagaimana mengurusnya?
Selama 6 bulan aku berada di Pulau Tarak ini, aku memberikan materi untuk kelas 4, 5, dan 6 dalam 1 ruangan tak bersekat. Aku biasanya membagi papan tulis menjadi 3 bagian. Jadi saat aku selesai memberikan materi untuk kelas 4, aku bergeser sekitar 1 meter dari tempatku berdiri untuk menuntaskan pelajaran kelas 5. Kemudian saat kelas 4 dan 5 tadi mengerjakan tugasnya, aku berpindah di ujung papan tulis untuk mengejar standar kompetensi kelas 6. Begitu seterusnya, semua pelajaran, setiap hari.
Kira-kira, apakah ada solusi dari pemerintah?
Pernah kutanyakan hal ini pada beberapa aparat yang ada di Kampung Tarak. Jawaban mereka adalah menundukkan kepala sambil melenguh dan menurunkan suara. Usulan saat diadakan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan) yang mereka ajukan dari bertahun-tahun yang lalu belum pernah dijawab oleh instansi terkait. Padahal usulan dari tahun ke tahun isinya hanya “penambahan ruang kelas”.
Mungkin Dinas Pendidikan sedang punya hajat atau prioritas lain?
Saat aku sendiri menanyakannya, memang tahun ajaran ini akan fokus pada pengembangan non-fisik sekolah se-kabupaten Fakfak. Namun, berita dan kenyataan bahwa sekolah-sekolah di kampung lain akan dibangun perpustakaan, sangat membuatku—membuat kami— merasa tersayat parang tajam.
Sakit. Perih rasanya...
Di kampung kami bingung memasukkan murid karena ruang kelas hanya 2, di daerah lain dibangun perpustakaan?
Rasa sakit yang kami rasakan ternyata belum bertemu ujungnya. Selesai masa penerimaan CPNS daerah, dikirimlah tenaga-tenaga baru untuk mengabdi di kampung-kampung. Hebatnya, kampung-kampung sebelah mendapat jatah 1 sampai 2 guru tambahan, sekalipun di sana sudah ada 3 orang guru. Lalu sekolah kami?
.......................................................................................................................................
Rasanya tak cukup menampung air mata dan rasa sakit dari perlakuan ketidakadilan yang kami rasakan. Inikah takdir Tuhan yang melahirkan kami di atas pulau mungil di bumi Papua? Jika iya, bukannya Tuhan akan mengubah suatu kaum jika kaumnya sendiri mau berubah? Jika kami mau berubah, apakah akan kuat untuk menerjang gelombang tantangan dunia yang semakin hari menghimpit pendidikan sebagai landasan perekonomian?
Kawan, tak baik aku mengeluh, apalagi atas nama warga yang sudah nyata-nyata “di-anak-pungut-kan”. Tabu rasanya membuka penyakit yang sedang kami derita. Lebih baik katong (kita) baku bagi (saling membagi) tugas untuk mencari solusinya, melakukan sekecil apapun tindakan yang berbuah senyuman untuk bangsa.
Kami terlahir dengan sejumput darah pejuang. Kami juga terbiasa hidup di atas gugusan pulau yang terkenal dengan ganasnya gelombang. Kami sedang dan akan terus berusaha menerjang gelombang ketidakadilan, sama seperti nenek moyang yang berperang merebut kemerdekaan. Kami ingin melunasi janji kemerdekaan yang bercerita tentang pendidikan. Kami sedang berubah secara bertahap memperbaiki setiap sisi kapal kehidupan untuk menyeberang menuju pulau kesejahteraan.
Belum ada tambahan guru, tak ada keterangan penambahan ruang kelas untuk muridku, tapi kami masih punya harapan untuk mencari buku. Buku adalah benda yang mungkin akan membuka cakrawala anak-anak Papua yang ditelantarkan oleh keputusan kebijakan. Aku yakin kemampuan anak-anak yang hidup di atas bumi kepulauan ini bisa diandalkan. Biarlah mereka duduk berhimpitan di atas sekolah dengan dua ruangan istimewanya. Biarlah mereka saling menyesuaikan gaya belajar dengan 1 guru tetap dan 1 guru bantu di sekolahnya. Tetapi kami yakin kami bisa menyeberang dan menjamah impian untuk kehidupan yang lebih baik melalui torehan kata yang akan dieja melalui buku yang akan ada.
*
Tak ada angin tak ada hujan, tetapi rintihan yang selama ini disembunyikan seolah mengetuk pintu batin semua kawan. Cerita yang mengintip tentang dunia pendidikan yang kuhadapi di Fakfak membuka tirai lubuk hati dan menggerakkan anggota badan untuk berderap kencang. Sambutan hangat dari jaringan para blogger yang biasa duduk memantau perkembangan dunia di depan monitor berwujud tanggapan positif dan berlanjut menjadi kenyataan.
Pelan tapi bijaksana, tangan-tangan saudaraku dari para blogger yang lihai menari di atas keyboard komputer atau keypad handphone mengayun menjadi ikatan kuat di setiap pundak blogger lainnya di berbagai wilayah nusantara, bahkan yang berada di mancanegara.
Tanggapan luar biasa ini kuibaratkan seperti semilir angin yang meniup layar perahu impian kami untuk segera melaju. Ya, kali ini kami sudah tak perlu menimba air mata yang sudah kering dari kelenjarnya, tetapi harus tersenyum haru atas jaringan kekeluargaan antara blogger nusantara dan masyarakat Papua.
Jadi, sebentar kita orang(nanti kita) di SDN Tarak, Fakfak, bisa bilang:
“Ada 2 guru, ada 2 ruang kelas, ada 100 murid, ada ribuan potensi alam, ada sejuta BUKU, ada sekolah”.
Itu sudah.
_____________________________
5 Desember 2011. Sambil mengawasi anggota kelas 4, 5, dan 6 mengerjakan ulangan akhir semester ganjil di ruang selatan SDN Tarak, Distrik Karas, Fakfak, Papua Barat.
Untuk informasi tentang kegiatan luar biasa dari para blogger bisa klik di sini. Reportase teman-teman Kompasianer dan Mbak Melanie Soebono yang ikut support ada di sini.
Untuk informasi tentang pengiriman buku ke Fakfak bisa hubungi @penyalafakfak
Foto-foto kegiatan belajar, bermain, dan berpetualang anak-anak Tarak silahkan klik di sini.
Dan ini dia video tentang keceriaan bersama anak-anak Papua, klik di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H