Selama mengabdi di Papua, Bapak angkatku adalah “Bapak Desa”, panggilan untuk kepala kampung dari warga. Bapak, adalah sosok pemimpin terakreditasi kesederhanaannya yang pernah kutemui. Bapak sudah berkali-kali diajukan oleh masyarakat untuk memimpin kampung ini, tetapi baru saat pemilihan kepala kampung tahun 2010 bapak baru bersedia dijadikan calon kepala kampung, dan langsung terpilih.
Beliau pelaut ulung, sedari kecil sudah terbiasa bahkan sampai bosan naik dayung. Seperti yang pernah kuceritakan, aneka cara memancing beliau kuasai mulai dari mengunakan mata kail, jaring, bulu ayam, bahkan menggunakan daun kelapa dan batu.
Laut dan seisinya adalah dunia bapak. Maka, ketika kutanya “Bapak di sini ada ikan apa saja?”, beliau sambil tersenyum menjawab, “Dari ikan teri sampai ikan paus ada di sini pak guru”.
Sekalipun sudah menjadi kepala kampung, bapak tak bisa lepas dari laut. Apalagi hidup di daerah kepulauan seperti Distrik Karas ini, suka atau tidak suka, senang maupun sedih, harus dijalani di atas laut.
Bapak, sudah satu tahun terpilih, namun masih menggunakan pok-pok (semacam perahu ketinting) untuk menjalankan operasionalnya selama menjabat kepala kampung. Tak bisa tidak, katong tara bisa berenang berjam-jam untuk ke kampung sebelah, ke pusat kecamatan, apalagi melawan ganasnya ombak Laut Seram saat pergi ke pusat kota.
Suatu sore, aku duduk di rumah panggung bapak tua (pak dhe) untuk melihat ombak yang berduyun-duyun ke pantai. Sambil menikmati kopi buatan ibu angkatku aku juga berencana menunggu senja sore di rumah papan ini. Tiba-tiba dua orang yang paling kusayangi di kampung ini muncul, ibu dan bapak angkatku melangkah menuju pantai, katanya mau menilik kebun di hutan di seberang sana.
Sambil meluncurkan senyum khasnya, Pace bilang “Pak guru mau ikut?”. “Waduh, nanti mengganggu kemesraan pace dan mace, haha”, kataku sambil melepas kedua orang tua angkatku.
[caption id="attachment_144757" align="aligncenter" width="300" caption="Bapak dan Ibu angkatku di atas pok-pok cinta"][/caption]
Saat pok-pok bapak meluncur di atas permukaan air laut, batin ini berdiskusi, “Iya, mungkin kau sering melihat mobil-mobil mewah pejabat, tapi kau lihat dengan mata kepala sendiri, bapakmu di sini masih mengendarai pok-pok berkekuatan 5,5 PK itu. Kau tidak mampu belikan dia mesin besar kah? Tidak kasihan sama orang yang berjasa banyak selama masa penugasanmu di Papua? Masih tega melihat beliau datang dan pergi untuk bayar pajak ke kota dengan menumpang perahu orang?”.
Batinku seolah mencakar seluruh nadi yang memancarkan darah.
Sakit.
Sakit sekali.
Bapak, sosok bijak yang penuh kesederhanaan. Bapak, sering sekali menjadi tempat keluh kesah masyarakat kepulauan ini untuk urusan beras, penyelesaian masalah, ataupun program-program pemerintah. Bapak, masih saja memegang sebilah kayu untuk memutar haluan di atas pok-poknya.
Aku kembali bertarung dengan suara kecil di batinku.
“Sabar bapak, kalau anakmu ini ada kesempatan, bapak akan saya perjuangkan mati-matian. Kalau memang sudah hak bapak, jangankan mesin 40 PK, kapal selam saja mungkin akan ada di depan pulau ini, untuk bapak. Mungkin bapak sedang diuji agar lebih bijak. Agar menjaga pulau ini daratan maupun lautan dengan penuh cinta, seperti raut cinta yang terpancar saat bapak dan ibu melaju di atas pok-pok kita tercinta”.
____________________
Oktober 2011. Di atas rumah panggung bapak tua, sambil melepas bapak dan ibu di atas pok-pok tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H