"Maaf, nomor yang anda tuju sedang sibuk", bunyi nada tunggu handphone Widodo terdengar di seberang sana. Akhirnya kuputuskan untuk menelpon partner in crime yang lain, Nurul. Tujuanku menelponnya malam ini adalah untuk mengobati rasa kangenku pada mereka, teman-teman relawan yang masih berjuang di Kampung Kaliadem, Cangkringan, dan mencari tahu kabar warga yang mereka dampingi. Setelah basa-basi selesai, aku mulai menanyakan kabar shelter sekretariat pengelolaan program kampung wisata Kaliadem, kata Nurul sekarang sudah lebih tertata, dicat hijau, dan sudah terjadwal operasionalnya setiap pukul 09.00-21.00. Nurul juga menambahkan bahwa baru saja ada donasi dari sebuah lembaga yang akan memberi support untuk beberapa program pemberdayaan ekonomi. Shelter yang hanya berukuran 6 x 12 meter untuk dua kepala keluarga sudah dikelilingi oleh kandang ayam, kolam lele, dan rak-rak sayuran. Aku juga menanyakan tentang hal yang aku urusi sewaktu di sana, seni budaya dan pendidikan. Dengan bersemangat Nurul mengatakan, " Wooo keren Kang, balai anak wis meh dadi -- Balai anak hampir jadi. Mas Gondrong, Mas Slamet, dan warga yang lain kerja bakti membersihkan rumah Mbah Pujo untuk digunakan sebagai balai anak." "Rumah Mbah Pujo yang dulu kebanjiran itu nduk?" aku bertanya penasaran. "Iyoo, sekarang sudah ditalud, atap depannya diperpanjang, terus sudah dibersihkan. Anak-anak juga ikut membantu. Teman-temanmu dari Komunitas Jendela, Mas Taofan, Mas Bagus, Mbak Tifa, dan kawan-kawan juga ikut-ikutan mencangkul, tapi akhirnya banyak yang tepar setelah mencangkul, haha". Foto kiriman Nurul: Warga, teman-teman, dan anak-anak bergotong royong membersihkan rumah Mbah Pujo Aku masih ingat, sewaktu masih di sana setiap hujan deras rumah Mbah Pujo keleban (kemasukan air) dan juga lumpur setinggi mata kaki. Di awal kepindahan mereka ke sini, rumah bambu Mbah Pujo merupakan rumah terparah di kawasan shelter merapi Gondang I. Sampai akhirnya Mbah Pujo pindah ke rumah bambu yang lain. Dan menurut info Nurul, warga sendiri yang memutuskan bahwa rumah bambu tersebut akan digunakan untuk balai anak. Alhamdulillah, cita-citaku akan segera tercapai. Rencananya di balai anak sederhana ini akan di-setting untuk taman baca, tempat bermain, sanggar anak, dan sebagai pusat kegiatan anak-anak di Kampung Kaliadem. Aku membayangkan nantinya sahabat-sahabat kecilku seperti Dika, Anto, Gangsar, Irfan, Dimas, dan aktifis sanggar anak lainnya akan memainkan alat musiknya di balai anak ini. Kemudian Alex, Tyas, Rita, Rina, Nita, dan kawan-kawannya akan menata dan membaca buku-buku bermanfaat melalui taman baca di sini. Menyenangkan! Foto kiriman Nurul: Rumah bambu Mbah Pujo (calon balai anak) yang telah dibersihkan dari lumpur. "Kang, wingi Mas Janto ngeluh. Masalah Si Bima kae lho-Kang,kemarin Mas janto mengeluh. Masalah Si Bima (anaknya yang baru berusia 4 tahun) itu lho", kata Nurul. "Lha mengeluh gimana tho nduk?" tanyaku lebih lanjut. "Katanya si Bima nangis terus, minta dibeliin sepeda, terus Pak Janto lagi ga punya uang. Tapi, setelah beberapa hari ternyata Bima sudah dibelikan sepeda, haha", Nurul menerangkan sambil cengengesan. "Apaaaa? Bima dibelikan sepeda? Anak sekecil itu?" Aku semakin penasaran. "Jangan salah Kang, sekarang teman sepermainan Bima, si Fatah sudah jago naik sepedanya. Masa dari jalan sebelah tandon air itu meluncur ke bawah sampai ke lapangan di seberang balai dusun itu, ealaaahhh". Ah, pikiranku semakin mendekat ke lapangan sekarang. Aku juga menyanyakan tentang jadwal pemberian pelajaran tambahan bagi anak-anak yang dulu aku tangani, ternyata sekarang ada anak-anak KKN UGM yang membantu urusan ini. Mereka juga menambahkan seni tari saat latihan berjalan di sanggar anak. "Nah itu Kang, anak-anak sekarang latihannya kurang greget. Klotekan sih tetap jalan, tapi kelihatan kurang terarah", Nurul mulai serius memikirkan sahabat-sahabt kecilku. "Ya sudah nanti aku sms/nelpon anak-anak, biar mereka tetap semangat. Masa sudah pernah tampil di hadapan Gubernur ga semangat", aku mencoba menawarkan solusi. Nurul, Widodo, Mas Haryo, dan kawan-kawan yang masih di sana juga masih sibuk membuat proposal donasi ke berbagai penjuru. "Printernya sudah diperbaiki Kang, coba tebak siapa yang memperbaiki? Pak Sambi!", kata Nurul. "Haaahhh?!! Pak Sambi Rul???", aku seakan tak percaya. "Iyooo, pagi-pagi dia ke jalan kaliurang untuk memperbaiki printer di benkel komputer," sahut Nurul. Ah, saya masih ingat Pak Sambi yang berjiwa rebel sepertiku, tegas, berjiwa komandan, tapi memberi kenang-kenangan jam tangan dan tasbih saat malam perpisahan dengan warga Kaliadem 18 hari silam. 18 hari, ternyata lebih dari dua minggu aku meninggalkan Kampung Kaliadem tercinta. Kegigihan teman-teman relawan yang berkolaborasi dengan warga Kaliadem dalam berjuang untuk hidup lebih layak setelah letusan merapi tetap terbayang. Mereka yang dulu termenung dan bersedih kehilangan harta, rumah, pekerjaan, bahkan kampungnya kini pelan-pelan mulai tersenyum. Sebesit senyuman masyarakat yang guyub, tetap kukenang sampai saat ini dan sampai kapanpun. Tak terasa satu setengah jam sudah aku menelpon Nurul, bukannya rinduku terobati tetapi malah semakin menjadi-jadi. 01.31. Tepi Kali Pemali, 20 April 2011. ____________ Komunitas Jendela http://bit.ly/ecg7Zs
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H