Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

5 Km Sebelum Merapi

10 November 2010   18:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Mank, ikut apa ndak?" tanya temanku. "Ke mana Kang?" aku balik menanyainya.  "Camping di Kali Adem sama anak-anak",  jawab dia semangat. "Ayo kang, aku ikut!" aku tak kuasa menahan luncuran semangatnya.

Itulah sekilas percakapanku dengan salah seorang teman, saat akan mengunjungi Merapi pada pertengahan 2006. Meskipun rencana untuk extent perjalanan ke puncak Merapi gagal, tetapi kami cukup puas karena bisa menikmati hawa sejuk, alam segar, kebersamaan bersama teman-teman, dan puas melepas penat di dusun kecil bernama Kali Adem. [caption id="" align="alignright" width="315" caption=" Foto yang masih tersisa saat ke Kali Adem, 2006."][/caption] Kali Adem, dusun paling utara di Desa kepuharjo, Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, mungkin hanya beberapa orang saja yang telah mengenalnya sebelum merapi meletus 2010. Kali Adem hanya berjarak sekitar 5 km dari puncak Merapi, mayoritas penduduknya adalah peternak sapi perah. Hawa yang sejuk dan alam yang segar membuat kawasan Kali Adem dan sekitarnya sering digunakan untuk berlibur, semacam refreshing di area pegunungan dengan berbagai macam jenisnya. Kultur masyarakat jawa yang kental, membuat nyaman ketika kita mengunjungi dusun ini. Acap kali kita akan disuguhi senyum yang menyungging dari warga Kali Adem jika kita sekedar memberi hormat dengan sedikit menganggukkan kepala ketika bertemu mereka. Namun, erupsi merapi 2010 telah meninggalkan kepahitan di dusun sejuk ini. Jika letusan pertama pada 26 Oktober 2010 saja sudah membawa awan panas sampai di sana, maka entah seperti apa keadaan dusun setelah letusan-letusan beruntun selanjutnya. [caption id="" align="alignleft" width="432" caption="Foto salah satu rumah di Kali Adem pasca letusan 26 Oktober 2010"][/caption] "Rumah baru saja selesai dibangun, menghabiskan dana sekitar Rp 150 juta, eh.. mbablas semua terkena letusan merapi. Rasanya kepala ini mau ambruk mas kalau saya ingat rumah, sapi, keluarga, dan desa kami yg kena letusan merapi", kata Pak Pirmo, warga Kali Adem. "Kali Adem saiki kuwi koyo gumuk, wis ora keneng dinggoni. Njuk awae dewe meh manggon nangndi?"-"Kali Adem sekarang seperti bukit, sudah tak bisa ditempati. Lalu kita mau tinggal di mana?" ujar Pak Bendhol. Itulah sekelumit perbincangan suatu malam menjelang pagi di Balai Desa Sariharjo, Kabupaten Sleman bersama warga Kali Adem yang mengungsi. Dusun yang dihuni oleh 467 jiwa tersebut telah berpindah empat kali selama merapi meletus kali ini. Beberapa pengungsi menceritakan kekecewaannya yang merasa diperlakukan tidak adil saat mengungsi di Barak Pengungsian Kepuharjo, beberapa bantuan terhambat dan tidak terdistribusi sampai ke tangan mereka. "Padahal dusun kita itu yang paling parah terkena letusan 26 Oktober 2010 itu lho mas. Eh, ternyata meletus lagi dan malah bertambah luas yang menjadi korban. Ya beginilah rasanya jadi pengungsi", kata seorang ibu. "Nek wis koyo ngene, sugih mlarat podo kabeh, podo-podo ngrasakke priatin. Mugo-mugo si mbah gek ndang le nyambet damel"-"kalau sudah seperti ini keadaannya, kaya miskin sama semua, sama-sama merasakan keprihatinan. Semoga saja si mbah (merapi) cepat selesai pekerjaannya," ucap Mbah Sudirjo yang rumahnya juga hancur. Barak Kepuharjo adalah tempat pengungsian awal bagi mereka, namun setelah letusan 4 November 2010 mereka dipindahkan ke Umbulmartani. Dan ternyata keputusan pemerintah yang telah menambah jarak aman sampai dengan radius 20 km-pasca letusan beruntun 4-5 November 2010-membuat mereka harus berpindah ke Stadion Maguwoharjo, Sleman. Jumat (5 November 2010) siang mereka datang di Stadion Maguwoharjo dalam keadaan sangat lelah, panik, dan berbagai macam beban pikiran, berkumpul dengan puluhan ribu pengungsi dari tiga kecamatan; Cangkringan, Pakem, dan Ngemplak. Keadaan stadion yang cukup penuh, semrawut karena banyak orang yang berlalu lalang, dan beberapa fasilitas yang tidak cukup untuk puluhan ribu orang, akhirnya membuat mereka memutuskan untuk berpindah ke Balai Desa Sariharjo Jumat malam sekitar pukul 20.15. Dalam hitungan jam, mereka menata tempat tidur masing-masing dengan tikar dan barang-barang seadanya di gedung serba guna Balai desa. Keesokan harinya tampak beberapa orang bermuka pucat karena kelelahan yang teramat sangat, dan juga kelesuan yang tak bisa disembunyikan atas ketidakpastian keadaan. Namun kejadian itu hanya sehari saja. Setelah menyesuaikan keadaan balai desa dan berinteraksi dengan keluarga dan tetangga, seolah-olah beban telah terbagi. Rasa penat yang melekat perlahan terkikis dengan senyuman-senyuman anak-anak kecil yang mengelilingi mereka. Warga Kali Adem cepat tanggap dengan keadaan bencana seperti ini. Hal tersebut terlihat sesaat setelah rembugan atau berkoordinasi dengan beberapa pihak, mereka memutuskan untuk memasak sendiri dengan membuat dapur umum di tempat parkir mobil. "Masalahnya sayang kalau ada orang yang memberi nasi bungkus mas. Sudah susah-susah masak, mengirimkan kemari, tapi ternyata di sini sisa banyak. Lebih baik masak sendiri saja mas. Warga juga lebih senang karena ada aktifitas, terutama ibu-ibu. Jadi ndak stress selama mengungsi", kata salah seorang warga. Tugas kami sebagai relawan lah yang "mengkondisikan" donatur agar lebih melirik urusan dapur daripada nasi bungkus. [caption id="" align="alignright" width="314" caption="Dapur kita sedang mengepul :)"][/caption] Sementara dapur telah mengepul, beberapa kebutuhan seperti selimut, perlengkapan mandi, perlengkapan wanita, obat-obatan, makanan ringan, perlengkapan bayi mulai berdatangan. Suasananya seperti di Barak Kepuharjo dulu, kembali ke awal lagi prosesnya. Setiap pagi, tanpa komando warga telah bangun kemudian sholat subuh di mushola balai desa. Setelah itu semacam "operasi semut" berlangsung, warga membersihkan sampah di sekitar area balai desa. Makan tiga kali sehari dengan menu masakan dari dapur umum, lalu mereka mengambil makanan sesuai keinginan, dan membersihkan peralatan mereka sendiri. Benar-benar mandiri. Setiap kali melintas selalu memberikan senyuman seraya berkata "Monggo mas..." membuat saya merasa nyaman untuk lebih dekat dengan mereka. Sampai saya kaget saat salah seorang Bapak bertanya, "Mas itu dulu pernah ke Kali Adem ya? Atau pernah jadi relawan di atas? Kok rasa-rasanya saya tidak asing dengan mas". Segera saya jawab, "Iya Pak, pernah semua. Mungkin Bapak melihat saya waktu di Kepuharjo Pak". "Saya itu sering keluyuran malam waktu di Barak Kepuharjo mas, ndak pernah tidur, atau jangan-jangan mas juga iya? Yang sering di depan barak itu lho mas kalau malam ndak tidur juga", si Bapak mulai antusias. "Nggih, Iya Pak. Saya memang begadang terus di sana. Biasanya kalau tidur ya di depan tenda di depan barak sekitar jam 3-an paling tidak" saya juga merasa mengenali wajahnya. "Owalah... Ternyata mas itu tho. Kok ya setia banget menemani kita pindah pengungsian sampai empat kali gini?" si Bapak mulai tersenyum girang. "Hehe... Ya bagaimana lagi Pak, kayanya udah cocok sama warga Kali Adem nih Pak, hehe". jawabku sekenanya, seolah bertemu teman lama. Semakin hari keakraban dengan anak-anak pun semakin dekat. Tak jarang, mereka merangkul kami yang sedang menulis, memotret, atau melakukan aktifitas lainnya. Beberapa donatur yang memberikan paket mainan untuk anak-anak sangat bermanfaat mengisi hari-hari mereka di pengungsian. Terkadang mereka bermain congklak, ular tangga, dan sebagainya. Pemerintah desa setempat juga sempat mengadakan istighastah dan doa bersama dengan disertai tausiyah keagamaan. Tujuannya agar warga diberi kesabaran dan kekuatan menghadapi cobaan ini. [caption id="" align="aligncenter" width="306" caption="Bermain congklak"][/caption] Selanjutnya, atas inisiatif untuk mengisi waktu dengan kegiatan yang positif, kami mencoba menghibur mereka dengan nonton film bareng. Ndilalah malam itu cuaca terang. Bintang-bintang terlihat jelas karena langit tak bertabir hujan. "Laskar Pelangi" pun dimainkan. [caption id="" align="alignright" width="386" caption="Nonton bareng."][/caption]

"Melawan keterbatasan. Walau sedikit kemungkinan. Tak akan menyerah untuk hadapi. Hingga sedih tak mau datang lagi"

Soundtrack film yang dinyanyikan Ipang menggema di tengah-tengah warga. Jogja. 11-11-2010. 17 hari menemani pengungsi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun