Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jadilah Traveler Cerdas!

23 Mei 2014   20:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:11 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="622" caption="Penyesalan traveler norak (dok. pribadi) "][/caption]

Hari-hari ini saya merasa kadang-kadang saya ini gampang ‘gumun’, bahkan cenderung norak.

Pada 2013 kemarin, saya sering menengok Lombok, dalam sebulan kadang 3 sampai 5 hari berada di sana kemudian kembali ke Jawa lagi. Begitu seterusnya sekitar 6 bulan saat mengerjakan project pengembangan masyarakat dan pendidikan di salah satu komunitas di Lombok. Setiap ada kesempatan, saat urusan pekerjaan selesai, sebelum pulang ke Jawa saya sering memanfaatkan waktu untuk menjelajahi beberapa pantai di Lombok. Ngapain ke pantai? Untuk berfoto! Norak banget kan? Saat itu semacam ada rasa sumringah kalau saya sudah memotret pantai, terus saya unggah di internet. Norak! Mengapa norak? Lha kok cuma nuruti nafsu sepele hanya untuk memotret atau bergaya di depan pantai terus dipotret?

Murahan!

[caption id="attachment_308189" align="aligncenter" width="653" caption="Aksi norak saya di Tanjung Aan, Lombok Tengah (dok. pribadi)"][/caption] Sekarang saya menyesali ke-norak-an saya tersebut. Mengapa saat mampir di pantai-pantai Lombok saya tidak mengamati aktivitas masyarakat pesisir Lombok selatan yang mungkin punya karakter unik, atau mengapa saya tidak mengulik tentang kondisi sosial di sekitar pantai, atau mencari tahu tentang dampak hadirnya wisatawan terhadap perkembangan nilai-nilai sosial yang diajarkan orang tua-orang tua suku Sasak? Sayangnya, ternyata kelakuan norak yang saya lakukan masih terjadi pada sebagian besar wisatawan ataupun traveler di negeri ini.

Beberapa waktu yang lalu saat saya mengantar beberapa saudara ke obyek-obyek wisata di Jogja dan sekitarnya, sangat sering menjumpai adegan berfoto yang ehmmmm…. norak seperti saya. Artinya, masih ada orang yang datang ke obyek wisata dengan tujuan hanya untuk berfoto saja. Paling jauh tujuannya hanya ditambahi dengan mengunggah foto tersebut di internet sebagai wujud eksistensi diri, tanpa mau tahu apa, mengapa, bagaimana yang terjadi pada tempat eksotik yang kita kunjungi.

[caption id="attachment_308192" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu aksi wisatawan di Candi Borobudur (dok. pribadi)"]

1400824640653591347
1400824640653591347
[/caption] [caption id="attachment_308193" align="aligncenter" width="448" caption="Tak tanggung-tanggung, tongsis dikeluarkan untuk eksis di depan Candi Prambanan (dok. pribadi)"]
1400824739384909061
1400824739384909061
[/caption]

Bagi sampeyan teman-teman semua, pliiis... hindari sifat norak saya yang satu ini. Syukur kalau sampeyan semua mau share ke mana-mana, bahwa kalau cuma ngejar untuk berfoto di obyek wisata itu ya mending ke photobox aja. 12ribu rupiah, lebih murah.

Menurut saya akan lebih cerdas jika kita mendatangi suatu tempat dengan bekal kuat. Kemudian saat sampai di destinasi yang kita tuju, kita mau mengulas cerita, filosofi, makna, bahkan nilai-nilai di balik obyek wisata yang dikunjungi yang mungkin masih relevan di jaman mutakhir seperti ini.

Ojo gumunan, ojo kagetan, lan ojo dumeh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun