[caption id="attachment_314330" align="aligncenter" width="640" caption="Aktivitas pengrajin bambu di Desa Kebonsari, Borobudur, Magelang (dok. pribadi)"][/caption]
Beberapa waktu yang lalu, saat sedang mencari buku di Toko Buku Gramedia secara tak sengaja saya melihat ada dua buku berjudul Borobudur Surroundings dan Desa Wisata Borobudur. Keduanya berjejer di antara ribuan buku lainnya.
Yang membuat saya tertarik untuk memiliki buku tersebut salah satunya gara-gara dalam buku kedua tertulis 145 destinasi wisata tersembunyi di 20 desa wisata. Seakan terbius oleh kata-kata dan berbagai foto yang ada di dalamnya, akhirnya buku karangan Lilly T. Erwin, Abang Erwin, dan Gagas Ulung yang proses penyusunannya didukung oleh PT Taman Wisata Candi Borobudur tersebut menjadi salah satu referensi sebelum saya jalan-jalan di wilayah sekitar Borobudur.
[caption id="attachment_314339" align="aligncenter" width="640" caption="Dua buku referensi tentang desa-desa wisata di Borobudur"]
Untuk mengawali perjalanan, saya mencoba menelusuri desa-desa secara acak. Setelah berputar-putar ke beberapa wilayah di sekitar Candi Borobudur, saya pun seolah terdampar di Desa Kebonsari. Dalam buku desa wisata Borobudur, ternyata Kebonsari dikenal sebagai desa penghasil kerajinan bambu.
Desa Kebonsari adalah salah satu desa yang menjadi batas antara Kecamatan Borobudur dan Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Jarak Kebonsari hanya sekitar 6,1 km dari Candi Borobudur, bisa ditempuh selama kurang lebih 12 sampai 15 menit menggunakan kendaraan bermotor.
[caption id="attachment_314338" align="aligncenter" width="638" caption="Petunjuk arah menuju Kebonsari dari Candi Borobudur (google maps)"]
Saat saya mulai menelusup ke beberapa dusun di Desa Kebonsari, terlihat beberapa orang sepuh yang biasa dipanggil ‘simbah’ duduk berderet di teras rumah. Rupanya mereka sedang asik berbincang sambil menganyam bambu. Kendaraan pun segera menepi. Dan tanpa tunggu waktu saya segera menghampiri.
“Kulonuwun (permisi) Mbah, mau ganggu sedikit boleh ndak?”, aku mencoba mengawali obrolan.
“Monggo, Mas.”, seru seorang Mbah putri sambil merapikan prakaryanya.
Setelah melihat raut senyum tulus yang tersungging dari wajah para simbah, obrolan seru pun tak terbendung. Saya yang agak kepo tentang kerajinan bambu mulai bertanya.
“Sejak kapan di Kebonsari ini membuat kerajinan dari bambu seperti ini Mbah?”, tanyaku.
“Iki wis seko mbah-mbahe awaedewe mbiyen yo gawe ngene iki Mas”, yang kira-kira artinya “Ini sudah sejak kakek-nenek kita dulu ya sudah bikin kerajinan seperti ini Mas”, kali ini seorang Mbah Kakung (kakek) yang menyahut.
Terlihat beberapa barang-barang yang biasa digunakan di dapur seperti tampah dalam berbagai ukuran, sedang dikerjakan oleh simbah-simbah. Tangan yang terampil dan bergerak lincah dalam menganyam bambu seolah menunjukkan ‘profesionalitas’ para pengrajin bambu ini. Hasil karya yang telah selesai pun saya lihat sangat halus dan pengkoh (kokoh).
[caption id="attachment_314331" align="aligncenter" width="640" caption="Seorang Mbah Kakung sedang membuat kerangka tampah (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_314332" align="aligncenter" width="640" caption="Tangan terampil nan lincah para simbah dalam menganyam bambu (dok. pribadi)"]
“Ini nanti dijual berapa Mbah?”, tanyaku sambil menunjuk sebuah tampah.
“Ada yang Rp 7.000,-, ada juga yang Rp 15.000,-. Harganya tergantung ukuran Mas”, jawab Simbah.
“Biasanya jualnya ke mana Mbah?”
“Ke pasar Borobudur yang dekat terminal itu Mas. Kadang ya ada juga yang pesan ke sini".
Setelah asik berbincang dengan para simbah, perjalanan kemudian dilanjutkan. Ke mana? Ya ke dusun lainnya, masih di Desa Kebonsari.
Tak seberapa jauh kendaraan melaju, saya melihat bambu dengan ukuran kecil-kecil sedang dijemur di depan rumah. Karena penuh penasaran, saya pun segera merapat.
[caption id="attachment_314333" align="aligncenter" width="640" caption="Bambu kecil-kecil yang sedang dijemur di depan rumah (dok. pribadi)"]
Pak Banjar adalah nama pemilik rumah sekaligus pengrajin bambu yang saya hampiri kali ini. Saya dipersilahkan masuk di rumah Pak Banjar yang model bangunannya berbentuk limasan khas rumah orang jawa.
Pak Banjar merupakan seorang pengrajin yang memproduksi kerajinan pulpen bambu. Menurut beliau, penjemuran adalah proses yang pertama kali dilakukan dalam proses pembuatan pulpen bambu. Bambu tersebut biasanya disetor dari para pengepul. Satu ikatnya sekitar Rp 15.000,- sampai Rp 25.000,-, tergantung harga pasar.
Setelah dijemur, bambu-bambu yang telah kering tersebut kemudian disortir dan dipotong dengan ukuran tertentu. Proses berikutnya adalah direbus dan dibersihkan. Kemudian, bambu dikeringkan dan dibuat pola sesuai bentuk yang diinginkan.
Langkah berikutnya adalah bambu dibor dan distel. Selanjutnya, proses pembuatan kerajinan pulpen bambu akan diakhiri dengan pengisian pena, dihias, dan dikemas.
[caption id="attachment_314334" align="aligncenter" width="640" caption="Pulpen hias hasil produksi pengrajin Kebonsari (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_314336" align="aligncenter" width="640" caption="Pulpen hias yang selesai dibor dan dibuat pola (dok. pribadi)"]
[caption id="attachment_314335" align="aligncenter" width="640" caption="Pulpen hias yang telah dibungkus plastik (dok. pribadi)"]
Selain pulpen, pengrajin di Kebonsari juga terus berinovasi membuat berbagai produk kerajinan lainnya dengan bahan baku bambu. Produk yang sudah dipasarkan diantaranya adalah gelang, gantungan kunci, dan hiasan pintu.
[caption id="attachment_314337" align="aligncenter" width="640" caption="Kerajinan gelang dengan bahan baku utama bambu (dok. pribadi)"]
Pengrajin di Kebonsari juga sering menerima pesanan dari beberapa obyek wisata di Indonesia selain Candi Borobudur. Bahkan produk kerajinan yang mereka produksi juga sering diekspor ke Malaysia dan Brunei Darusalam.
Melihat proses yang dilalui para pengrajin, saya tertegun kagum. Di beberapa daerah bambu diperlakukan layaknya rumput, namun dengan ketelatenan dan penuh kreativitas di Kebonsari ternyata bambu mampu menghasilkan pundi-pundi uang.
Ini baru satu desa yang saya kunjungi dari 20 desa yang ada di sekitar Candi Borobudur. Ah, semakin tidak sabar untuk menjelajah ke desa-desa wisata lainnya.