Mohon tunggu...
Arif L Hakim
Arif L Hakim Mohon Tunggu... Konsultan - digital media dan manusia

digital media dan manusia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menelusuri Budaya Toleransi di Komplek Prambanan

2 Agustus 2014   01:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:39 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_317458" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Prambanan (Loro Jonggrang) menjadi bagian dari keempat candi di komplek Prambanan (dok. pri)"][/caption]

“Seko Suroboyo ki macet paling duowo ki yo pas seko Prambanan tekan Jogja. Ruaaameee tenan. (dari Surabaya macet paling panjang ya pas dari Prambanan sampai Jogja. Ramai sekali,” begitu kata saudaraku saat kutanya tentang perjalanan liburan lebaran beberapa hari yang lalu.

Mengapa jalan di area Prambanan macet sekali? Dugaannya adalah selain karena ramai kendaraan para pemudik, masyarakat juga sedang melakukan tradisi selama lebaran dengan mengunjungi sanak saudaranya. Dan yang sering jadi alasan macet selama musim liburan lebaran seperti sekarang adalah ramainya warga yang berwisata ke Candi Prambanan.

Candi Prambanan memang sering menjadi icon Yogyakarta bahkan Indonesia. Setiap tahunnya, candi yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia (world heritage) oleh UNESCO tersebut dikunjungi oleh berbagai wisatawan dari berbagai daerah dan bermacam belahan dunia.

Akan tetapi, konsentrasi pengunjung sayangnya masih di Candi Prambanan (atau sering disebut juga Candi Loro Jonggrang) saja. Padahal, di sekitar Candi Prambanan (masih satu kompleks) terdapat beberapa candi yang tak kalah menarik untuk dikunjungi dan dipelajari. Sebagai pengunjung yang super-kepo, saya tak segan mengajukan aneka pertanyaan dan mencari info dari PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko, BUMN yang mengelola wisata di komplek Candi Prambanan. Hasilnya? Sederet informasi mengalir deras dan saya lebih semangat menelusuri sisi-sisi lain komplek Prambanan yang relatif luas.

Di komplek Prambanan, ada empat candi yang menyimpan tradisi toleransi sejak jaman dulu; Candi Prambanan yang berlatar belakang hindu berdampingan mesra dengan Candi Lumbung, Bubrah, dan Sewu yang berlatar belakang Buddha.

[caption id="" align="aligncenter" width="625" caption="Sumber: http://borobudurpark.co.id/temple/otherPrambanan"][/caption]

Saya menduga, proses pembangunan candi-candi di komplek Prambanan diliputi dengan toleransi yang begitu tinggi. Harmonisasi antar umat beragama mungkin menjadi kekuatan dalam masyarakat saat itu, sehingga Candi Prambanan yang menjadi candi Hindu terbesar di Indonesia pun dibangun anggun meskipun di sekitarnya terdapat tiga candi Buddha.

Secara administratif, tiga candi di sekitar Candi Prambanan tersebut terletak di Dusun Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.

Candi Lumbung menjadi candi yang terdekat, dengan jarak sekitar 500 meter dari Candi Prambanan. Candi yang diduga menjadi pusat peribadatan keagamaan ini diberi nama Candi Lumbung oleh masyarakat karena bentuknya yang mirip tempat untuk menyimpan padi. Candi Buddha yang dibangun sekitar 850 M ini masih dalam tahap pemugaran saat saya kunjungi. Komplek Candi Lumbung terdiri dari sebuah candi induk dan dikelilingi 16 candi kecil. Perhatian saya tertuju pada candi induk, karena di sekeliling dinding luarnya terpahat gambar pria dan wanita yang hampir sama dengan ukuran manusia sebenarnya, hal yang jarang dijumpai di candi-candi lain.

[caption id="attachment_317459" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Lumbung tampak dari selatan (dok.pri)"]

1406889324658113863
1406889324658113863
[/caption] [caption id="attachment_317465" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Lumbung dari berbagai sisi (dok. pribadi)"]
1406890195416247155
1406890195416247155
[/caption]

Tak jauh dari Candi Lumbung, langkah saya terhenti saat melihat sebuah papan keterangan bertuliskan “Candi Bubrah”. Seperti namanya, candi ini benar-benar bubrah (dalam bahasa jawa bubrah berarti rusak). Kondisinya yang bubrah awalnya membuat saya tak begitu yakin ada sebuah candi di area tersebut. Malah jika tidak ada papan keterangan Candi Bubrah, aktivitas pemugaran tampak seperti sekelompok orang yang sedang membangun pondasi rumah.

Sedikit sekali informasi yang didapatkan tentang Candi Bubrah. Pada papan informasi di depan candi tertulis bahwa candi ini tersusun dari batu andesit yang seluruhnya berukuran 12 m x 12 m. Saat ditemukan Candi Bubrah menyisakan reruntuhan setinggi 2 meter, dan beberapa arca Buddha yang tidak utuh lagi. Beberapa temuan tersebut mengindikasikan bahwa Candi Bubrah adalah candi buddhis yang pernah berdiri dengan damai di sebelah candi hindu terindah di Asia Tenggara; Prambanan.

[caption id="attachment_317460" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Bubrah yang benar-benar bubrah (dok. pri)"]

14068893891713947974
14068893891713947974
[/caption]

Terakhir, mata saya dibuat takjub saat melintas di reruntuhan Candi Sewu. Candi buddhis yang jaraknya sekitar 800 meter dari Candi Prambanan ini diperkirakan lebih dulu dibangun pada 792 Saka (abad ke-8). Cerita sejarah di balik pembangunan Candi Sewu membuat saya kembali berdecak kagum. Rakai Panangkaran diduga yang pertama kali membangun Candi Sewu, kemudian diperluas oleh Rakai Pikatan, seorang pangeran dari Dinasti Sanjaya (Hindu) yang menikahi putri dari Dinasti Syailendra yang berlatar belakang Buddha.

[caption id="" align="aligncenter" width="625" caption="Candi Sewu tampak dari atas (http://borobudurpark.co.id/)"][/caption]

Laksana Borobudur yang ditata horizontal (memanjang) di atas hamparan tanah, Candi Sewu terdiri dari ratusan candi yang berjejer. Ada sekitar 249 candi di Candi Sewu yang terdiri dari 1 candi induk, 8 candi apit, dan 240 candi perwara. Dilihat dari kemegahannya, sepertinya candi yang dijaga oleh arca dwarapala ini digunakan sebagai tempat upacara besar dan ritual. Sampai sekarang setiap tahunnya Candi Sewu sering menjadi tempat perayaan Waisak umat Buddha.

[caption id="attachment_317461" align="aligncenter" width="640" caption="Candi Sewu dengan view Merapi di belakangnya (dok. pri)"]

14068894711782933486
14068894711782933486
[/caption] [caption id="attachment_317462" align="aligncenter" width="640" caption="Sebuah patung Buddha di Candi Sewu (dok. pri)"]
14068896191951256420
14068896191951256420
[/caption] [caption id="attachment_317466" align="aligncenter" width="640" caption="Arca Dwarapala "]
1406890514777546593
1406890514777546593
[/caption]

Saat menelusuri relung-relung Candi Sewu saya semakin heran, mengapa wisatawan masih saja terpusat dan menumpuk di Candi Prambanan, padahal tak jauh di sebelahnya ada tiga komplek candi yang sangat menarik untuk ditilik.

Lebih heran lagi saat saya berkunjung hanya melihat beberapa wisatawan mancanegara yang terlihat asik menikmati suasana candi, sambil sesekali berdiskusi tentang kekayaan warisan budaya Indonesia yang tak dijumpai di negaranya.

Meskipun penelusuran saya kali ini terasa belum puas karena keterbatasan waktu, saya masih merasa beruntung karena dengan membayar tiket masuk Candi Prambanan sebesar Rp 30.000,- saya disuguhi beragam cerita sejarah, dan banyak belajar tentang budaya toleransi yang ternyata telah dilakukan leluhur di komplek candi-candi di Prambanan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun