[caption id="attachment_342934" align="aligncenter" width="538" caption="Ahok dan Kang Emil di Kompasianival 2014 (dok. pribadi)"][/caption]
Saat kompasianival 2014 di TMII beberapa waktu yang lalu, saya cukup terkesima saat memperhatikan paparan Kang Emil yang sangat kreatif dalam membangun Bandung. Tak kalah inspiratif, Ahok yang hadir satu sesi dengan Kang Emil di Kompasianival 2014 juga sangat berapi-api dalam mengutarakan terobosan-terobosannya.
Dari dua pemimpin inspiratif ini, saya mendapatkan refleksi tersendiri. Kang Emil adalah salah satu contoh produk daerah yang kini berkarya untuk daerahnya. Berbeda dengan Kang Emil, Ahok yang merupakan aset Belitung Timur, kini harus meninggalkan daerahnya karena sedang bertugas mengurus DKI Jakarta.
Untuk perkara yang saya sebutkan terakhir, Ahok tak sendirian, ada Sudirman Said, Khofifah Indar Parawansa, puluhan pejabat pemerintah atau direktur perusahaan, dan mungkin ratusan manajer di berbagai organisasi serta berbagai nama yang tak bisa disebutkan, lahir dari daerah namun sekarang berkarya di kota besar. Tak jarang dari mereka dilahirkan dan dibesarkan di desa-desa kecil, kemudian perjalanan karir menggiring mereka ke puncak-puncak jabatan di gedung-gedung tinggi di belantara ibukota.
Untuk menelusuri proses‘supply’orang sukses yang hidup di kota besar yang sebenarnya berasal dari desa-desa seperti mereka ini, dalam pikiran saya tergambar ilustrasi yang kira-kira begini;
Anak-anak desa yang berprestasi saat SD, melanjutkan sekolah di SMP favorit, sesudah lulus SMP dengan nilai memuaskan selanjutnya mereka bersekolah di SMA terbaik (di pusat kabupaten biasanya). Lulusan SMA terbaik tersebut kemudian melanjutkan pendidikannya di kampus-kampus top yang biasanya terletak di ibukota propinsi atau kota besar. Setelah selesai bersekolah dan menyandang gelar sarjana, berikutnya mereka bekerja di kantor-kantor bonafid yang juga berada di kota besar/ibukota negara.
Perpindahan putera-puteri terbaik dari desa ke kota besar ini awalnya hanya sebagai pendatang dengan alasan pekerjaan. Namun setelah melewati berbagai masa, sebutan “pendatang” berubah menjadi “tuan rumah” di kota besar karena sudah menetap dan tinggal bersama keluarganya.
Seiring bergulirnya waktu, menetapnya mereka di kota besar bukan sekedar badannya saja, namun pengetahuan, keahlian, dan modal juga telah berpindah dari desa tempat mereka dilahirkan ke kota besar yang telah didiami hingga sekarang.
Kisah sukses mereka kemudian dilihat oleh tetangga dan lingkungan sekitar di desa yang memicu pergerakan orang untuk ikut mengadu nasib, dan mencoba peruntungan hidup ke kota besar.Jadilah Jakarta/kota besar seperti sekarang; menjadi koloni hunian, berkumpulnya pengetahuan, keahlian, serta modal.
Desa-desa kecil yang ditinggalkan hanya menjadi pelengkap akta lahir. Kreatifitas mengalami hambatan. Perubahan menjadi lamban. Hanya setahun sekali putera-puteri terbaik yang dilahirkan desa-desa kecil ini menilik rumah yang kemudian dilabeli ‘kampung halaman’. Dan sebagian besar yang kembali hanya 'fisik' sesaat saja. Pengetahuan, keahlian, dan modal tetap terkumpul di Jakarta/kota besar dalam jangka panjang.
Setiap tahun, bahkan melalui berbagai lipatan jaman, terus terjadi dan berulang-ulang hal-hal demikian. Lalu sampai kapan kejadian ini akan kita saksikan?
Secara nasional, perpindahan orang-orang desa ke kota mengalami tren yang meningkat dari waktu ke waktu. Dalam prediksi BPS, diperkirakan pada 2015 akan ada sekitar53,3 persen penduduk Indonesia yang hidup di kota.Angka ini diproyeksikan akan meningkat sebesar 10,1 persen pada 2030 menjadi 63,4 persen (sementara McKinsey memprediksikan 71 persen penduduk Indonesia akan hidup di area perkotaan).
Lalu apa jadinya jika desa semakin tidak terurus dan semua wilayah sudah berganti menjadi area perkotaan?
[caption id="attachment_342936" align="aligncenter" width="568" caption="Persentase Penduduk Daerah Perkotaan di Indonesia, 2010-2035 (www.bps.go.id)"]
Mungkin semua pihak sepakat jika perhatian kebijakan kepada desa ditingkatkan. Namun siapa yang setuju jika para tokoh asal desa yang sudah terlanjur hidup di kota besar dipulangkan kembali ke desa asalnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya jadi teringat kisah Deng Xiaoping saat merevolusi Tiongkok beberapa dekade silam. Salah satu strategi yang diambil oleh Deng Xiaoping kala itu adalah dengan membuka peluangoverseas investor untuk menanamkan modalnya di Tiongkok.Overseas investor ini tak berarti hanya orang asing melaluiforeign direct investment(FDI), tetapi orang-orang Tiongkok yang terlanjur menetap di luar negeri juga diharapkan pulang, kalau tidak berkenan untuk kembali secara fisik, maka modalnya saja yang pulang melalui investasi di berbagai sektor yang menggerakkan perekonomian Tiongkok kala itu.
Memang butuh kolaborasi semua pihak untuk mengurus desa, termasuk mengembalikan beberapa tokoh besar nasional ke daerah asalnya. Belajar dari revolusi ala Deng Xiaoping tersebut, Indonesia sebenarnya bisa memodifikasi langkah untuk memakmurkan desa-desa. Kalau memang para 'aset daerah' yang kini hidup di kota besar tak bisa pulang secara fisik, maka ajaklah untuk pulang melalui modal mereka, dan yang lebih penting adalah memulangkan pengetahuan untuk daerahnya. Bagaimana caranya?
Saya bermimpi ada wadah yang bisa menjembatani ‘aset daerah’ yang kini menghias kota besar dengan daerah asalnya. Wadah ini kemudian menggelar event atau semacam kopdar (kopi darat) yang mempertemukan tokoh nasional dengan generasi muda asal daerahnya. Ide ini pernah akan saya lakukan dengan beberapa teman. Namun sayang, karena minimnya sumber daya dan berbagai kendala, dengan segala pertimbangan acara yang sudah diwacanakan akhirnya urung terlaksana.
Sebuah impian kemudian tercetus untuk menggantikan acara ini, yaitu memfasilitasinya melalui kecanggihan teknologi. Dengan menggunakan videoconference, kegiatan ini bisa menekan anggaran dan waktu karena tokoh yang diundang tak perlu meninggalkan tempat tinggalnya di kota besar untuk pulang kampung yang biasanya memakan waktu berhari-hari. Aktivitas ini juga mampu menguatkan ikatan emosional antara para tokoh dengan generasi penerus karena secara live bisa berdiskusi dan berinteraksi.
Pilihan kedua adalah dengan merekam dan mengumpulkan berbagai inspirasi dari tokoh-tokoh tersebut yang secara spesifik berbicara tentang pengembangan daerah asalnya di sebuah kanal online. Kumpulan rekaman ini diharapkan akan menggugah para putera daerah untuk berkreasi dalam membangun desa-desanya, tanpa harus berpindah ke ibukota. Sebagai dampak lanjutan, aktivitas ini juga mungkin mampu memicu daerah-daerah lainnya untuk bersama-sama memajukan daerah sesuai dengan karakteristik yang dimiliki tiap wilayah.
Kedua impian tersebut secara nyata bisa menekan anggaran untuk penyelenggaraanya. Namun jaringan internet yang powerfull yang mempercepat lalu lintas data, video streaming tanpa buffering, serta koneksi multidevice dengan kecepatan tinggimenjadi prasyarat untuk melakukannya.
Ada berbagai cara untuk menyejahterakan desa, salah satunya adalah menghubungkan (connecting) komunikasi dan memulai interaksi putera-puteri terbaik desa yang kini memakmurkan ibukota dengan generasi muda yang ada di daerahnya. Semoga dukungan teknologi mampu memfasilitasi impian ini.
Referensi:
Persentase Penduduk Daerah Perkotaan menurut Provinsi, 2010-2035
The archipelago economy: Unleashing Indonesia's potential
Jaringan Baru Indosat Super 4G-LTE
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H