Sejak era reformasi 1998 Indonesia telah memegang demokrasi sebagai tumpuan untuk menjalankan pemerintahan. Krisis moneter yang berdampak buruk pada perekonomian Indonesia, membuat rakyat berkewajiban bergerak untuk menyuarakan aspirasinya. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung bagi rakyat justru membuat rakyatnya terjerumus dalam masa kelam sejarah bangsa ini. Demokrasi muncul dan menjadi resolusi masalah pada masa itu. Menurut Aristoteles, "Prinsip demokrasi adalah kebebasan, karena hanya melalui kebebasanlah setiap warga negara bisa saling berbagi kekuasaan di dalam negaranya". Namun kini demokrasi yang idealnya tidak lagi dirasakan oleh bangsa Indonesia. Krisis Demokrasi menjadi sebutan yang layak karena banyaknya permasalahan yang sengaja diciptakan oleh para penyelenggara pemerintahan.
Politik yang semakin luas dan dinamis menjaring segala lapisan pemerintahan membuat pembagian kekuasaan yang tidak efektif mulai dari eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan berbagai alasan kepentingan dari pribadi maupun kelompok untuk menguasai pemerintahan. Tindakan tercela yang semakin hari kian banyak terus menggerus nilai-nilai demokrasi hingga demokrasi itu dipertanyakan keberadaanya. Berbagai bentuk tindakan itu sudah bisa dilihat dengan mata kepala kita sendiri sebagai rakyat. Mulai dari Intimidasi yang membelenggu kebebasan berbicara, Politik uang yang dilakukan dengan terang-terangan untuk memenangkan PEMILU, Intervensi lembaga negara oleh penguasa untuk memuluskan jalan politik seseorang mengakibatkan kerusakan demokrasi sekaligus konstitusi.
Penyelenggaraan demokrasi seharusnya menjadi wadah kebebasan bagi seorang warga negara untuk berekspresi dan menyuarakan aspirasinya. Setiap warga negara yang memiliki HAM yang berarti memiliki kesamaan dimata hukum dan hak yang sama menjadi landasan jelas bahwasanya semua bisa dan boleh bersuara dan menuntut. Sejak era reformasi rakyat dituntut untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Tapi dalam satu dekade terakhir kebebasan itu seakan sirna. Berbagai bentuk intimidasi dilakukan pemerintah terhadap rakyatnya. Alasan yang digunakan untuk mengintimidasi juga tidaklah jelas seperti keterkaitan pada suku, ras, agama. Contohnya yang baru saja terjadi akhir-akhir ini, Bahlil Lahadalia yang menyebutkan kaya "Raja Jawa" Â pada pidatonya saat Rapimnas Partai Golkar. Hal ini menjadi perhatian masyarakat, banyak dari masyarakat yang mengkritik perkataan dan maksud dari Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Berbagai spekulasi banyak bermunculan, banyak yang menganggap hal tersebut berkaitan dengan presiden yang sedang berkuasa ataupun presiden terpilih. Selain itu ada juga yang beranggapan pernyataan itu adalah bentuk penjelasan dari politik dinasti yang terjadi di Indonesia. Sebutan ini seakan menjadi bentuk intimidatif atas satu kekuasaan yang sangat kuat dan menguasai segala aspek pemerintahan.Â
Ketika kekuasaan yang diberikan sudah lagi tidak dijalankan sesuai dengan fungsinya pemerintah atau penguasa patut dipertanyakan legitimasinya. Rakyat memberikan kepercayaan yang seharusnya digunakan dari rakyat untuk rakyat justru yang terjadi hanyalah dari rakyat untuk pejabat. Kursi empuk pemerintahan menjadi incaran para politisi serakah untuk mendapatkannya dengan menghalalkan sejuta cara dalam  kontestasi politik. Contohnya dalam Pemilu 2024, dinilai sebagai pemilu yang sangat tidak demokrasi. Tindak kecurangan yang direncanakan penguasa untuk memanipulasi atau membeli suara para pemilih melalui uang atau barang yang diberikan. Politik uang yang marak ini  dilakukan dalam berbagai bentuk. Mulai dari politisasi bansos yang dilakukan pemerintah. Bansos yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin rakyat untuk tetap hidup sejahtera justru ada maksud dan tujuan dibaliknya. Penguasa yang memanfaatkan kondisi sebagai waktu dan tempat untuk mencari suara dari mereka yang mayoritas membutuhkan. Selain itu jual beli suara yang terjadi pada pemilu. Suara rakyat yang katanya dalam demokrasi adalah suara tuhan tapi bisa digantikan dengan uang. Politik uang yang dilakukan secara perlahan dan modus yang beragam membuat hal ini juga dinormalisasi masyarakat. Mereka yang beranggapan bahwasanya tidak ada masalah dengan ini, namun sebenarnya dengan tindakan ini nilai dari demokrasi terus tergerus oleh pemerintah dan rakyat.
Kekuasaan yang menjanjikan akan membuat orang atau kelompok yang berkepentingan melakukan segala bentuk yang akan mempengaruhi perubahan peraturan. Tindakan yang disebut dengan intervensi itu adalah perilaku melanggar etik dalam konstitusi. Penguasa yang enggan turun dari jabatannya berusaha untuk memasukkan orang-orangnya dalam rangkulannya. Hal ini sejalan dengan kasus yang terjadi pada putusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri menjadi Calon Wakil Presiden 2024-2029. Mahkamah Konstitusi yang saat itu diketuai oleh Anwar Usman yang secara tidak langsung adalah paman dari Gibran. Batas umur yang menjadi penghambat Gibran untuk mencalonkan diri sebagai Calon Wakil Presiden seakan menjadi mulus ketika pamannya sebagai Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi Menyetujui perubahan batas umur dan syarat pencalonan. Hubungan kekerabatan ini menjadi pertanyaan dan masalah , menjadikan putusan ini cacat konstitusi. Putusan yang disahkan secara tergesa-gesa dan tidak mengikuti alur membuat Anwar Usman sebagai hakim ketua melanggar kode etik dan dikenakan sanksi dengan diberhentikan sebagai Hakim Ketua Mahkamah Konstitusi. Pelanggaran ini termasuk dalam tindakan merusak konstitusi dan menggerus nilai-nilai demokrasi di Indonesia.Â
Selain Pemilu, dalam penyelenggaraan Pilkada 2024 juga disoroti. Banyak bentuk rekayasa yang dilakukan oleh para elit politik untuk mendapatkan kekuasaannya kembali. Pemberlakukan revisi UU terkait pilkada menjadi isu yang banyak dibicarakan sebelumnya. Karena aksi dan banyaknya demonstran yang menolak untuk revisi tersebut membuat rencana itu dibatalkan seketika. Pemerintah yang seringkali melakukan cek ombak untuk mengetahui opini publik itu berhasil memantik amarah publik akan rencana yang tergesa-gesa dan diputuskan dalam satu malam. Pada akhir masa jabatannya, kekuasaan eksekutif maupun legislatif hingga yudikatif melakukan tindakan yang diluar dari nilai-nilai dan amanah konstitusi.Â
Penyelenggaraan demokrasi yang sejatinya mengutamakan kepentingan rakyat, sudah salah diartikan oleh para penguasa. Kepentingan pribadi dan kelompok membuat seseorang menjadi bergerak dinamis dan tidak bisa ditebak dalam orientasi politiknya. Pemulihan demokrasi harus dimulai dengan pengembalian fungsi dari lembaga negara itu sendiri. Para pemimpin yang diberikan amanat oleh rakyat seharusnya mampu menjadi perantara yang membantu mensejahterakan dan mencerdaskan bangsa ini, bukan malah memanfaatkan ketidaktahuan publik dengan menormalisasi segala tindak tidak terpuji yang mencederai demokrasi. September yang tidak pernah ingin menjadi hitam, tapi kini bulan september diperingati sebagai bulan kelam mundurnya demokrasi di Indonesia. Selain itu sebagai rakyat kita harus selalu selektif dan memantau perkembangan dari pemerintahan. Jangan sampai mereka yang kita berikan wewenang justru menindas kita untuk kepentingan diri sendiri. Jadilah rakyat yang cerdas untuk mengawal Indonesia Emas 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H