Masyarakat post-modern pasca reformasi mengalami lonjakan mental yang cukup drastis. Sebagai bagian masyarakat kelas menengah yang saat ini berada di posisi tersebut, saya tentu sah-sah saja memberikan kritik diri dan lingkungan kepada generasi saya yang bisa dikatakan salah arah memosisikan diri sebagai generasi harapan.
Tesis ini bukan berarti upaya saya membuka aib sendiri sebagai generasi modern. Generasi yang suka mencaci masa lalu, anti ketertinggalan—sehingga dengan melawan secara bersama bagi mereka yang melawan kemajuan yang digalangkan. Apakah kemajuan itu kita yang mengingkannya? Atau ada pihak lain yang menikmati kemajuan yang sedang kita wacanakan sebagai sebuah gaya hidup, sebagai prinsip yang tak lagi bisa dikompromikan.
Banyak contoh yang bisa kita lihat, generasi saya yang menggunakan media digital sebagai wadah berkumpul dan menyatakan kekeluargaan. Belum pernah ketemu, cukup dengan “Kopi Darat”, silaturahmi bisa dipersatukan. Positifnya, keberadaan media digital telah mengajarkan kita tentang kekeluargaan jarak jauh, kita sering merasa jauh dengan keluarga kita yang terdekat. Negatifnya, generasi yang memainkan peran gedget dan sejenisnya, telah menjadikan kita generasi yang peduli sosial jarah jauh, tetapi antipati dengan lingkungan sendiri. Misalnya saja, kepedulian yang kita tunjukan terhadap LGBT, Palestina, Turki, Jokowi dan Ahok. Cukup dengan memainkan media digital, kita bisa mengklaim dan nyatakan kepada banyak orang kita telah peduli.
Bahkan dalam Digital Culture and Relegion and Asia, Sam Han dan Kemaluden Muhamad Natsir menyebutkan generasi Milenal adalah generasi yang dilahirkan era 1980-1990-an/generasi Y. Generasi yang melek informasi segala hal yang dibutuhkannya lebih mudah diakses. Generasi ini lebih liberal dari generasi yang sebelumnya, generasi X yang lahir era 1965-1989 sama tingkah lakunya dengan generasi Baby Boomers (generasi yang lahir pasca perang dunia kedua), merupakan generasi yang stagnan memandang gaya hidup.
Generasi Y, memainkan peran dengan media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Path dan lain-lain. Generasi yang cepat tangkap dengan informasi yang pergerakannya massif jika digerakan secara positif. Masih segar dalam ingatan kita, upaya Polri menangkap Novel Baswedan di KPK , hanya dengan membuat Twitter, Abraham Samad, Demisioner Pimipinan KPK, massa rakyat berkumpul dari segala sudut mendatangi KPK.
Generasi Milinal, merupakan kelas menengah yang bisa dikumpulkan dengan cepat tanpa ada komando yang terstruktur—gerakan media sosial—bahkan banyak yang menyebutkan gerakan pagar. Kelas menengah yang terdidik bisa dikumpulkan dengan mudahnya, cukup dimainkan isu yang menjadi trending topic di media sosial. Maka, mereka akan memburu dan membicarakan secepat mungkin, tanpa ada kompromi dan dialog informasi yang cerdas. Jika informaasi ini digunakan secara baik, ia menghasilkan kelas menengah yang “cerdas” berinformasi, tetapi jika ada pihak-pihak yang memanfaatkan maka “kelas menengah mabuk” massif beredar di media sosial.
Generasi Y, generasi yang mabuk tanpa arah jika pulsa internet habis untuk mengomentari situasi. Generasi yang masih menyibukan diri dengan dengan mode terbaru, diskon akhir bulan, pagar gigi edition limited. Generasi status dan bagikan (baca: prilaku generasi Y), generasi yang hobinya mencaci-maki kalangan yang tak sepaham dengannya. Generasi yang tertinggal dengan era digital, generasi yang harus dijauhi karena mereka belum menyepakati moderenisasi. Sehingga, kebablasan pemahaman moderenisasi sebagai sebuah kemajuan atau ketertinggalan. Terkadang, generasi X dan Baby Boomers bukan tidak menyepakati kemajuan, tetapi mereka sedang tidak sepakat menyelesaikan ketertinggalan dengan menghilangkan secara paksa, maka kita bisa mengklaim diri sebagai generasi “modern” setelah melihat gedung-gedung yang indah menghapuskan perkampungan kumuh.
Merujuk Soejadmoko, pergantian kerbau dengan traktor untuk membajak sawah bukan lah persoalan peralihan tenaga manual ke teknologi, tetapi peralihan tersebut telah menghilangkan kebudayaan yang telah dibangun sejak lama. Generasi Y, niscaya mengabaikan persoalan ini sebagai masalah yang menginvasi kebudayan dari tubuh leluhur yang seharusnya dijaga. Belajar kepada Jepang, moderenisasi yang masuk kepada negaranya, tanah tetap Jepang tetapi tumbuhan bisa pelbagai negara, sehingga apa pun tanaman yang ditanam di tanah Jepang. Buahnya tetap tak menghilangkan kebudayaan asli Jepang.
Peralihan besar terjadi di Indonesia, generasi Y yang saat ini berkuasa memainkan era digital sebagai instrumen organisasi non-struktural dan prosuderal. Generasi Y berhasil menjadikan media sosial sebagai alat-alat “peruntuh” kelembagaan sosial dan politik yang telah dibangun begitu lama. Mabuknya, institusi-instusi agama, moral dan lain-lain menjadi bahan-bahan cacian mereka. Generasi yang menolak membicarakan banyak hal, tanpa membawa agama, moral dan lain-lain. Sebagai alasan kita harus “bebas”, agar tak ada yang menyatakan tendensi yang mendalam terhadap kajian yang sedang dibicarakan jika agama dan moral menjadi bahan pertimbangan.
Menjadi pertanyaannya, ideologi bebas tanpa mempertimbangkan itu, generasi Y sedang menjalankan ideologi siapa? Menguntungkan rakyat secara massif atau lagi-lagi kelompok yang bermain untuk ekonomi dalam “pergolakan generasi Y dengan X bahkan Baby Boomers”. Impaknya, rakyat bermusuhan sesama rakyat (baca: rakyat versus rakyat).
Menanggapi persoalan itu, pergolakan supir Taksi dengan pengemudi Go-Jek, merupakan pergolakan bisnis konvensional dengan bisnis aplikasi berbasis daring. Menyatakan pergolakan ini dengan menyerang Taksi sebagai musuh bersama—wacana itu tak tepat tanpa ada analisis niscaya lebih stigmatis. Yang jelas, segi politik kebudayaan pembagian ekonomi yang dulunya dikuasai oleh suatu oligarki kini dibagikan dengan berbasis online dengan segala individu masyarakat bisa mengakses dan memperjualkan usahanya diwadah yang sama. Menjadi pertannyaan, pengelolaan usaha yang menggunakan aplikasi berbasis daring ini tetap saja membuat monopoli sendiri yang mengguntungkan kapital tertentu?. Usaha ini jelas membentuk gaya ekonomi seperti Singapura, negara kecil yang membuat negara lain bergantung padanya hanya dengan mengandalkan pajak lalu lintas perdagangan internasional.