[caption id="attachment_160301" align="alignnone" width="604" caption="Menyusuri Kota Madinah. dok pribadi"][/caption]
Ketika di Makkah, keramahan dan kesopanan terutama dalam berkendaraan adalah suatu yang langka. Maka jangan heran jika mobil yang baru beli pun yang tidak penyok. Tabrakan mobil bukanlah suatu yang luar biasa. Namun ketika masuk di Madinah, suasana damai dan sopan seakan menyelimuti. Pernah suatu ketika saya istirahat bersama teman-teman di depan rumah seorang penduduk Madinah, pemilik rumah itu kemudian menyuruh kami masuk, menyuguhkan kurma matang dan mempersilahkan kami mengambil kurma sepuasnya. Inilah beda antara Makkah yang Metropolis dan Madinah Agraris. Maka menurut penilitian Dr. Parto Wijoyo, Pakar Hukum Lingkungan UNAIR. Orang desa jauh lebih lebih cerdas daripada orang kota, walaupun pendidikannya serba mahal dan serba plus. Untuk membuktikannya dia meneliti peraih nilai tertinggi di seantero nusantara, ternyata kebanyakan peraihnya adalah anak desa yang notabenenya masih belum tercemari udaranya. Suatu saat dia bertanya kepada saya tentang teman-teman redaksi majalah pesantren yang kami kelola.
“Adakah tim ahli dari redaksi Anda yang berasal dari kota?” Sepontan saya menjawab.
“Ya. Memang tidak ada! Kru kami 99% berasal dari desa“ Maka jika kita belajar dari Nabi Muhammad saw, ketika kecil beliau dititipkan oleh keluarganya untuk hidup di pedesaan dan kemudian menginjak dewasa beliau hijrah ke Madinah. Sebuah tempat yang ramah lingkungan, banyak pepohonan dan penduduknya yang sopan. Bagaimana jika sudah terlanjur hidup di kota?,
Jawabannya tentu kita harus berusaha menanam tanaman di sekitar lingkungan. Untuk menghindarkan generasi kita dari kebodohan, suka tergesa-gesa dan sifat cepat marah. Paling tidak, kita harus mengimbangi hutan reklame dengan hutan pohon…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H