Di sebuah desa, seorang calon lurah yang biasa dipanggil Pak Dus bertemu 3 orang ketua RT yang berpotensi mendukung dirinya. Dengan iming-iming, salah satu diantara mereka atau keluarganya akan dijadikan wakil lurah.
Tak ayal, para ketua RT itupun semangat luar biasa mendukung calon lurah yang juga pensiunan Kepala Dusun. Makanya dia dipanggil Pak Dus. Namanya aslinya sih bukan itu. Dia juga masih menjabat ketua RT 2.
Tidak hanya itu, calon lurah juga kumpulkan orang-orang yang wajahnya bisa dipoles mirip dengan kiai walaupun tidak punya pesantren dan ilmu agamanya pas-pasan. Kemudian dibelikan baju putih, surban dan kopyah putih agar punya usulan siapa wakil yang cocok untuk dirinya.
Tidak berselang lama, keluarlah keputusan dari mereka dengan tulisan (HMK) Hasil Musyawarah Kiai yang ditempel di tiap-tiap gardu RT. Hasilnya adalah, calon lurah harus Pak Dus dan wakilnya merupakan kiai beneran yang disegani di desa tersebut.
Para penduduk desa pendukung militan calon Pak Dus pun bersorak gembira. Mereka yang sudah sekian lama mencaci Pak Lurah yang sedang menjabat sebagai orang yang anti kiai semakin percaya diri. Semakin mencaci Pak Lurah tiada henti.
Ketika mendekati pendaftaran lurah, Pak Dus kembali menemui para ketua RT. Dia menanyakan siapa yang siap menjadi wakil RT dengan syarat menyumbang 500 juta untuk operasional selama persiapan pemilihan lurah.
Betapa kagetnya ketua RT dengan apa yang katakan Pak Dus. Padahal hal itu sebelumnya tidak disampaikan. Awalnya yang penting hanya memberi dukungan saja. Mereka pun kecewa. Terutama ketua RT 14 yang sudah menggadang-gadang anak gentengnya jadi wakil lurah.
Kemudian Pak Dus pun memberi alternatif. Kalau ketua RT tidak yang mau menyumbang, dia akan pilih anak angkatnya sendiri. Karena dialah yang mampu menyumbang 500 juta untuk operasional persiapan pemilihan lurah. Anaknya sendiri tidak bisa diandalkan, sehingga pilih anak angkat.
Sebagai obat kecewa, para ketua RT diberi uang yang sangat banyak hingga tidak cukup dimasukkan saku dan harus dimasukkan kardus. Ketua RT 8 dan RT 12 menerima dengan suka cita. Namun tidak halnya dengan ketua RT 14 yang juga mantan lurah.
Dia bersama staf RT-nya galau berat. Foto anaknya yang guanteng sudah terlanjur dicetak dan ditempelkan di berbagai tempat strategis. Salah satu staf RT-nya pun tidak kuat menahan diri hingga membuat tulisan besar di pinggir jalan. "Pak Dus Kardus."
Melihat itu Pak Dus pun tidak marah karena memang sesuai kenyataan. Dia juga tidak melaporkan staf RT yang menulis itu ke Polsek. Dia memahami kekecewaan Pak RT 14 bersama keluarga dan staf RT-nya. Apalagi ketua RT 14 itu masih berpotensi untuk mendukungnya.