Seiring dengan bertambahnya tahun, pergeseran halus terjadi dalam persepsi kita tentang waktu. Akibatnya, bentangan masa muda yang tak terbatas, yang tadinya membentang tanpa akhir di hadapan kita, secara bertahap menyusut, mengungkapkan sifat keberadaan kita yang terbatas. Kesadaran ini, meskipun mungkin meresahkan pada awalnya, juga dapat menjadi katalisator untuk kontemplasi yang lebih dalam.
Sebagai contoh, kita mulai memeriksa permadani kehidupan kita, menelusuri benang merah dari pilihan yang dibuat, jalan yang diambil dan tidak diambil, dan jejak yang tak terhapuskan yang ditinggalkan oleh perjalanan waktu. Lebih jauh lagi, introspeksi ini, yang sering kali diwarnai dengan kepuasan dan penyesalan, memungkinkan kita untuk berdamai dengan masa lalu dan merangkul masa kini dengan kejernihan yang baru.
Pengejaran cita-cita masa muda yang tanpa henti, yang sering kali ditandai dengan validasi eksternal dan perolehan materi, mulai berkurang. Sebaliknya, kita mendapati diri kita tertarik pada nilai-nilai yang lebih intrinsik, mencari makna dan tujuan di luar hal-hal yang dangkal. Hasilnya, hubungan semakin dalam, prioritas bergeser, dan pengejaran pertumbuhan pribadi menjadi pusat perhatian.
Transisi ini bukan sekadar pasrah terhadap penuaan, melainkan kebangkitan terhadap kekayaan kehidupan batin. Selain itu, kebijaksanaan yang diperoleh dari pengalaman menjadi kompas penuntun, menuntun kita menuju kehidupan yang lebih otentik dan memuaskan.
Tahap kehidupan ini, yang sering dicap secara tidak adil sebagai kemunduran, sebenarnya merupakan kesempatan untuk transformasi yang mendalam. Secara khusus, pelepasan ilusi masa muda memungkinkan pemahaman yang lebih jujur dan penuh kasih terhadap diri kita sendiri dan dunia di sekitar kita.
Oleh karena itu, kita mengembangkan apresiasi yang lebih besar terhadap kegembiraan yang sederhana, keindahan ketidaksempurnaan, dan keterkaitan semua hal. Selain itu, perspektif yang baru ditemukan ini, yang lahir dari penerimaan akan kefanaan kita sendiri, memberdayakan kita untuk hidup lebih bermakna pada saat ini, menikmati betapa berharganya setiap hari yang berlalu. Kesimpulannya, perjalanan penuaan bukanlah sebuah penurunan menuju pelupaan, tetapi sebuah pendakian menuju pemahaman yang lebih dalam tentang apa yang benar-benar penting.
Penuaan melahirkan kesadaran mendalam akan makna dan tujuan hidup sejati, jalan yang ditempuh dari waktu ke waktu, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun adalah Langkah demi Langkah menuju sebuah tempat peristirahatan terakhir, kubur. Walau kadang terhenti Langkah kita oleh karena urusan kantor, berhenti lagi karena urusan keluarga, berhenti lagi karena urusan politik, tetapi setelah berakhirnya urusan tersebut, maka Langkah dan ayunan kaki terus kembali berjalan menuju tempat itu, walau kadang berhenti lagi oleh karena urusan lainnya.
Kita sedang berjalan ke tempat itu, walau kadang kegiatan hidup kita ada saja yang menghalangi Langkah, satu kata yang harus kita sepatkan pada diri yang terus melangkah adalah sebuah kesadaran yang lahir dengan penuh dedikasi untuk terus mengabdi kepada sang khalid sampai tiba masa kita berada di depan tempat ini. Kesadaran kadang datang terlambat kawan, sadari itu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H