Mohon tunggu...
Nur Arifin
Nur Arifin Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Awardee Beasiswa Pusbindiklatren Bappenas Linkage MEP UGM - GSICS Kobe Univeristy. ASN di Badan Pusat Statistik.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Membangun Literasi Data Demi Mencerdaskan Bangsa

5 Desember 2018   15:00 Diperbarui: 5 Desember 2018   15:05 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahwa dalam membangun suatu bangsa diperlukan data sebagai dasar pijakan, adalah sebuah fakta yang sulit terbantahkan. Hal ini karena data dipercaya sebagai input yang diperlukan dalam proses pengambilan keputusan. 

Sehingga tingkat pemahaman terhadap data menjadi sangat penting, terlebih di era globalisasi seperti saat ini, dimana setiap hari data dan informasi datang membanjiri. Tingkat pemahaman terhadap data inilah yang kemudian akan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Sayangnya, Indonesia masih harus berjuang keras membangun masyarakat yang tidak hanya memiliki kesadaran tinggi tetapi juga pemahaman yang baik terhadap data.

Hasil penelitian PISA tahun 2015, organisasi di bawah OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), mengungkap bahwa tingkat literasi numerasi di Indonesia masih sangat rendah dengan skor keseluruhan hanya sebesar 386. Angka ini masih sangat jauh jika dibandingkan negara lain di Asia Tenggara semisal Thailand (skor 415), Malaysia (skor 446), Vietnam (skor 495) dan Singapura (skor 564). 

Menurut Kemendikbud, pengertian literasi numerasi adalah suatu pengetahuan atau kecakapan untuk, salah satunya, menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan dsb) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan. Hal ini dalam realitas sehari-hari, diejawantahkan dalam bentuk kesadaran dan pemahaman terhadap data-data yang dirilis melalui berbagai media.

Belum lama ini Indonesia tengah gaduh dengan data kemiskinan, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin Indonesia Maret 2018 adalah sebesar 25,92 juta orang (9,82 persen). Pemerintah, di satu sisi, mengklaim ini adalah sebuah pencapaian yang luar biasa karena persentase penduduk miskin bisa ditekan hingga menembus satu digit, di sisi lain, segelentir orang justru menyangsikan data tersebut. Dengan kecakapan literasi data, kegaduhan ini sebenarnya dapat sedikit diredakan. 

Mengingat data kemiskinan adalah suatu angka hasil serentetan mekanisme ilmiah, maka jika melongok lebih detail kedalamnya akan didapatkan hal lain yang lebih dari sekedar angka. 

Pemerintah akan sadar bahwa di satu sisi persentase penduduk miskin memang menurun, namun di sisi lain ketimpangan justru masih cukup tinggi  dengan gini ratio 2018 sebesar 0,389. Pemerintah juga akan merasa prihatin akan fakta bahwa hampir sepertiga penduduk Provinsi Papua terjerat kemiskinan (27,74 persen). 

Sementara itu, masyarakat dapat mempelajari bagaimana persentase kemiskinan dihitung, tingkat keparahan dan tingkat kedalaman kemiskinan. Bukan hanya terfokus dengan besaran angkanya saja, namun tingkat kesadaran dan rasa prihatin melihat fenomena bahwa untuk mencukupi standar hidup paling minimum saja, yang jika diuangkan setara Rp. 401.220 per-orang perbulan, masih ada 25,92 juta penduduk Indonesia tidak mampu memenuhinya.

Meningkatkan literasi data berarti memberi vaksin kepada masyakarat agar terhindar dari wabah Mutant Statistics dan Mega Misconception. Mutant statistics dijelaskan dalam buku "Tangguh Dengan Statistik" goresan Jousairi Hasbullah, yaitu tidak ada yang salah dengan data statistiknya, namun yang salah adalah interpretasi terhadap datanya. Hal ini terjadi bisa karena Mega Misconception. 

Suatu istilah yang disebut Hans Rosling dalam bukunya "Factfulness, Ten Reasons We're Wrong About The World -- And Why Things Are Better Than We Think". Pada 2017, Rosling menanyakan 12 pertanyaan kepada lebih dari 12.000 orang dari 14 negara, dimana salah satunya tentang tingkat kemiskinan global dalam 20 tahun terakhir, apakah menurun separuhnya, tetap sama, atau meningkat dua kali lipat. Hanya 7 persen yang menjawab benar, selebihnya masih tidak percaya bahwa tingkat kemiskinan global menurun menjadi separuhnya. 

Mega Misconception ini timbul bukan karena miskinnya tingkat pendidikan seseorang, namun karena faktor dramatic instinct individu dan overdramatic worldview. Rosling membuat perbandingan ekstrim jika pertanyaan tersebut diajukan kepada simpanse yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan, simpanse masih memiliki peluang benar sebesar 33 persen, jauh lebih besar dibandingkan manusia yang hanya 7 persen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun