[Catatan refleksi Hari Tani Nasional]
"Jika menanam ialah Melawan. Maka teruslah menanam benih-benih perjuangan dan Perlawanan. Agar dapat dituai hasilnya. Yakni kesejahteraan Sosial (rakyat) itu sendiri".
Sepanjang sejarah bangsa, konflik pertanahan memang selalu menyeruak di negeri agraris ini. Dari rekaman berbagai kasus sengketa tanah yang pernah ada, mulai dari zaman pemerintahan kolonial Hin- dia Belanda hingga rezim Orde Baru, mulai dari kasus Cilegon Banten (1888), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995), Kalibakar Malang Selatan (1997), Hingga Petani Galela 2016 selalu saja menempatkan petani dalam posisi berhadap-hadapan dengan penguasa.
Dalam posisi seperti ini, sudah barang tentu resistensi petani tak bisa dielakkan, indonesia, sebagai negara yang pernah menjadi koloni bangsa-bangsa Eropa dan Jepang, menjadi negara yang mengatur produksi, produktivitas, dan reproduksi petani-petani marginal.
Sebagai negara yang ingin menancapkan taringnya di kancah ekonomi internasional, pemerintah mengulurkan karpet merah kepada investor lokal maupun internasional. Bahkan, pemerintah tak segan mengorbankan ruang hidup para petani, seperti yang menimpa nasib rakyat yang terakumulasi dalam 10 Desa kecamatan Galela  dengan PT. Capitol Cassagro Indonesia (yang merupakan Badan Usaha Milik Negara) berkonflik dengan warga.Â
Ber[T]Ani karena Benar.
Konflik yang berada di atas lahan seluas berkisar 30 HA tersebut, telah berlangsung sejak mulai tahun 1991 hingga 2023. Lahan tersebut awalnya merupakan lahan masyarakat sejak  nenek moyang (belum adanya) perusahaan. Namun pada tahun 1991, PT. Global Agronusa Indonesia [PT. GAI] datang membeli lahan tersebut dengan harga yang cukup murah. Namun disaat bersamaan, para petani yang berkebun dilahan mereka, bersikeras untuk tidak mau memberikan tanah mereka yang dibelj pihak PT. Sehingga pada akhirnya PT melalui tangan pemerintah dan pihak aparatur melakukan tindakan kesewenang-wenangan dan representatif, tak hanya itu bahkan para petani Galela dikalah itu pun kerap diancam dan bahkan dipenjara ketika masih terus bersikeras untuk [tak mau menjual] lahannya kepada pihak perusahaan. Alhasil karena rasa takut, dan penjara, sehingga tanah-tanah yang telah digarap sejak nenek moyang tersebut dijual secara paksa namun dengan syarat yang diberikan perusahaan bahwa, akan menggantikan lahan cadangan yang telah digusurnya.
Dan pada akhirnya perusahaan pun melakukan penggusuran lahan-lahan petani dikalah itu. Disaat yang sama, ketika telah berhasil menggusur tanah rakyat. Perusahaan pun beroperasi bergerak dengan begitu pesat. Mereka merekrut masyarakat local hingga nasional untuk bekerja pada perusahaan tersebut.Â
Konflik HorizontalÂ
Tak memerlukan waktu yang cukup lama kemudian Ketika ditahun 2000-2001, Maluku Utara mengalami konflik horizontal yang terelakan, Â sehingga pada akhirnya perusahaan pun mengalami kemacetan produksi hingga tahun 2002.Â
Selanjutnya ditahun yg sama, perusahaan kembali beroperasi di lahan tersebut, namun bukan lagi atas nama PT GAI, Melainkan PT. WBLM  namun PT. WBLM  tak bertahan lama, dan diambil alih lagi oleh  pihak ketiga dengan nama PT. Capitol Cassagro (peralihan Status) dari perusahaan Pisang ke Tapioka.Â