Dahulu di abad-abad yang silam
Negeri ini pendulunya begitu ras serasi dalam kedamaian
Alamnya indah,gunung dan sungainya rukun berdampingan,
pemimpinnya jujur dan ikhlas memperjuangkan kemerdekaan
Ciri utama yang tampak adalah kesederhanaan
Hubungan kemanusiaanya adalah kesantunan
Dan kesetiakawanan
Semuanya ini fondasinya adalah
Keimanan
Tapi,
Kini negeri ini berubah jadi negeri copet, maling dan rampok,
Bandit, makelar, pemeras, pencoleng, dan penipu
Negeri penyogok dan koruptor,
Negeri yang banyak omong,
Penuh fitnah kotor
Begitu banyak pembohong
Tanpa malu mengaku berdemokrasi
Padahal dibenak mereka mutlak dominasi uang dan materi
Tukang dusta, jago intrik dan ingkar janji
Kini
Mobil, tanah, deposito, dinasti, relasi dan kepangkatan,
Politik ideologi dan kekuasaan disembah sebagai Tuhan
Ketika dominasi materi menggantikan tuhan
Kini
Negeri kita
penuh dengan wong edan, gendeng, dan sinting
Negeri padat, jelma, gelo, garelo, kurang ilo, manusia gila
kronis, motologis, secara klinis nyaris sempurna, infausta
Jika penjahat-penjahat ini
Dibawa didepan meja pengadilan
Apa betul mereka akan mendapat sebenar-benar hukuman
Atau sandiwara tipu-tipuan terus-terus diulang dimainkan
Divonis juga tapi diringan-ringankan
Bahkan berpuluh-puluh dibebaskan
Lantas yang berhasil mengelak dari pengadilan
Lari keluar negeri dibiarkan
Dan semuanya itu tergantung pada besar kecilnya uang sogokan
Di Republik Rakyat Cina,
Koruptor
Dipotong kepala
Di kerajaan arab saudi,
Koruptor
Dipotong tangan
Di Indonesia,
Koruptor
Dipotong masa tahanan
Kemudian berhanyutanlah nilai-nilai luhur luar biasa tingginya
Nilai Keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa, pengorbanan,
Tanggung jawab, ketertiban, pengendalian diri,
Remuk berkeping-keping
Akhlak bangsa remuk berkeping-keping
Dari barat sampai ke timur
Berjajar dusta-dusta itulah kini Indonesia
Sogok Menyogok menjadi satu,
Itulah tanah air kita Indonesia
Kami muak dan bosan
Muak dan bosan
Kami
Sudah lama
Kehilangan kepercayaan
Puisi yang berjudul “Kami Muak dan Bosan” karya Taufik Ismail ini mungkin gambaran dari ungkapan perasaan rakyat Indonesia mengenai keadaan ibu pertiwi saat ini, kegelisahan, kemuakan dan hilangnya kepercayaan rakyat kepada para pejabat dan pemimpin negeri ini, walaupun tidak semua para aktor negeri ini busuk, pembohong, dan koruptor, namun tidak sedikit yang sudah kehilangan nilai-nilai luhur luar biasa tingginya seperti, nilai keimanan, kejujuran, rasa malu, kerja keras, tenggang rasa, pengorbanan, Tanggung jawab, ketertiban, pengendalian diri, dll. Melihat realitas yang ada puisi ini seditaknya tidak meleset, akan keadaan negeri ini, kasus korupsi merajalela di rumah rakyat, di jajaran triaspolitika bahkan dapat disebut triaskoruptika, kemudian penegakan hukum layaknya pisau yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, tak ada keadilan untuk rakyat dan seabrek permasalahan demokrasi di Indonesia.
Ujung Tombak KPK
Melihat hal tersebut mungkin ini bisa menjadi cerminan untuk KPK yang saat ini sedang melakukan sayembara pencarian ujung tombak penegak korupsi di negeri ini, mampukah KPK menemukan sosok-sosok yang amanah dan memegang teguh nila-nilai Pancasila?
Sudah 11 tahun usia KPK, sudah satu dasawarsa lebih KPK bekerja, uang negara coba mereka selamatkan dari para pencuri yang memanfaatkan kekuasaan, nama-nama besar banyak yang disikat tanpa pandang pengusaha atau pejabat, dari Bubati sampai besan Presiden, dari makelar hingga anggota parlemen, tapi kritik masih saja datang KPK tak habis-habisnya diserang, jika korupsi masih saja merajalela masih bisakah berharap pada KPK? Korupsi telah merajalela sistemik dan melibatkan banyak lembaga, korupsi bahkan menjangkiti tiga pilar negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, seolah jadi Triaskoruptika, mampukah pejuang anti korupsi bertahan ditengah serangan yang terus disasarkan?
Dibentuk untuk Dibubarkan
Menengok kebelakang mungkin tidak salah kita berucap bahwa lembaga seperti ini pada dasarnya dibentuk untuk diserang dan dibubarkan, tahun 1957 ada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), yang di dalamnya terdapat M Yamin, dkk, namun Paran kalah terhadap pembangkangan, kemudian Operasi Budhi tahun 1963, yang dipimpin oleh AH Nasution. Dalam perjalanannya, fitnah terhadap personel lembaga ini berkembang hingga akhirnya dibentuk Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi), hasilnya tidak jauh beda. Pada era Orde Baru, sejumlah lembaga antikorupsi berdiri. Ada Tim Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Jaksa Agung, namun Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) akhirnya juga hangus ketika sedang mengusut dugaan suap sejumlah hakim agung, ada juga Tim Komisi IV yang dipimpin bung Hatta, dan juga ada OPSTIB, namun semua itu gagal. Sampai akhirnya ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) yang kemudian dibubarkan dan dibentuklah KPK berdasarkan UU No 30/2002, yang mampu bertahan hingga saat ini di tengah gempuran para aktor-aktor busuk diluar sana.
Langkah dan Harapan
Peran KPK saat ini juga tidak berhenti dalam penegakan kasus korupsi dan pengembalian uang negara saja, melihat effek yang besar akibat korupsi di berbagai elemen, KPK juga mulai menanamkan budaya ANTI KORUPSI sejak dini, dari tingkat PUD (Pendidikan Usia Dini) hingga Perguruan Tinggi, hingga nantinya diharapkan akan terbangun generasi yang kita harapkan, generasi yang bebas dari korupsi, Indonesia yang kuat dan bersih.
Pada dasarnya KPK tidak bisa bekerja sendiri, kita sebagai rakyat Indonesia sangat diharap membantu menguatkan KPK, dalam hal pemilihan pimpinan KPK yang baru juga masyarakat dituntut peran aktifnya untuk ikut mengidentifikasi calon-calon yang memenuhi syarat, sehingga para pemimpin KPK yang terpilih nanti merupakan sosok-sosok yang amanah, pancasilais, dan sosok yang diharapkan semua elemen masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H