Langkah sejumlah komunitas WhatsApp Grup (WAG) merupakan jalan setapak menuju ke tengah alun-alun. Namanya: silaturahim atau silaturahmi. Bersama-sama kawan atau teman yang berada dalam jarak berbeda tulus ikhlas, tanpa pamrih menjalin hubungan.
Entah itu kelompok 'biru-putih' sebutan bagi komunitas WAG zaman SMP. Atau kelompok 'campuran' yang terdiri dari kelompok SMA, serta grup zaman kuliah, semua meyakini sebagai pertemuan asyik di dunia maya.
Perkara ada yang kemudian berhubungan di luar jejaring sosial media, itu namanya pertemuan tatap muka secara khusus. Entah sekadar ngopi, atau dalam skala yang lebih besar dinamai reuni.
WAG memang mirip alun-alun pertemuan yang tulus. Penghuninya merupakan warga yang unik. Ada yang suka bicara politik. Bicara kehidupan sehari-hari. Macam-macam lah...
Mengutip Van Romondt (Haryoto, 1986:386), sebagai ruang publik, alun-alun adalah tempat pertemuan rakyat untuk bercakap-cakap, berdiskusi, melakukan pesta rakyat. Menjadi pusat kegiatan sehari-hari. Baik untuk pemerintaha,n militer, perdagangan, kerajinan hingga pendidikan.
Sori, kalau saya mengandaikan Grup WA sebagai alun-alun. Itu cuma kiasan.
Wiwin Widayanti, Indah Wenerda Prodi Ilmu Komunikasi, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, menulis: banyaknya media sosial dan aplikasi percakapan yang digunakan, menjadi forum antar anggota yang terlibat di dalamnya. Mereka saling bertukar informasi dan berkomunikasi dengan cara lebih mudah.
Anggota yang terlibat komunikasi tidak jarang di antaranya dapat membangun emosi yang baik. Tingkat kepercayaan sangat tinggi, karena mereka saling terhubung dalam forum tersebut.
WAG sangat membantu dan mempermudah pengguna untuk melakukan percakapan secara bersamaan dengan pengguna lainnya. Mereka tanpa harus saling bertatap muka secara langsung, bahkan bisa digunakan sebagai media untuk mendiskusikan suatu pembahasan yang sifatnya penting