Langit Kota Makkah Selasa (6/8/2019) pagi terlihat mendung. Pukul 08.00 waktu Arab Saudi (WAS). Kantor Urusan Haji Indonesia terlihat sibuk. Menunggu kedatangan jenazah almarhum KH Maimun Zubair.
Sudah hampir satu bulan, pada hari-hari sebelumnya, sekitar waktu yang sama langit kota ini selalu cerah. Matahari pagi bersinar dengan cukup terik, menyengat kulit. Tapi hari ini berubah drastis. Menjadi sedikit sejuk.
Saya diikutkan sebagai salah satu anggota WhatsApp Group "Haji Khusus Manaya 2019". Saya berada di tanah air. Tapi dari situ saya bisa memantau aktivitas musim Haji 1440 H. Setidaknya hampir setiap hari.
Dari jemaah haji PT Manaya Indonesia pula saya memperoleh informasi: "Telah wafat Hadlrotus-Syekh Simbah KH. Maimun Zubair, Selasa 6 Agustus 2019 pukul 04.17 waktu Makkatul Mukarromah di RS An Noor KSA..."Â Â
Mbah Moen, demikian sapaan akrabnya di kalangan umat, kerap menjelaskan. Kehormatan umat muslim itu dapat meninggal dunia di Tanah Suci. Bahkan sering meminta doa agar dipanggil Allah pada hari Selasa. Innalillahi wainnailayhi rojiun, KH Maimun Zubair menghembuskan nafas terakhirnya dalam usia 90 tahun pada hari Selasa. Ketika sedang melaksanakan ibadah haji.
Tak lama berselang kepastian kabar itu muncul di lini masa portal berita. Sudah disertai penjelasan resmi pihak keluarga atau kerabat dekat. Grup-grup WA lainnya pun menyebar secara berantai.
Hanya selisih dua jam sebelumnya. Saya menyampaikan informasi tentang adanya orang mati di Tanah Suci. Peristiwa itu terjadi pada musin haji tahun 1997. Saya menyaksikan sendiri. Saya melihat sendiri. Sesama Jemaah haji meninggal dunia. Begini ulasan singkatnya:
"Rabu (9 April 1997) rombongan Haji Plus Linda Jaya Surabaya dilanda duka. Salah satu jamaahnya, Latief Pudjosakti pukul 20.15 WAS wafat akibat komplikasi pada saluran pernapasan. Alhmarhum dimakamkan di Mala, Makkah hari Kamis setelah sebelumnya dishalatkan di Masjidil Haram.
Dr. Kabat, selaku dokter kloter Linda Jaya, dua hari sebelumnya bersama saya mendatangi kamar Pak Latief di Hotel Hilton (sekarang di Tower Zamzam). Di situ ada istrinya, yang keturunan Jepang, Kristin Yoko. Oleh Pak Kabat diberi wejangan agar sering mengkonsumsi air atau buah agar tenggorokan lekas pulih. Pak Latief abai. Penyakit itu makin parah. Pak Latief tak sadarkan diri. Digotong ke rumahsakit. Sempat opname, tapi tak tertolong.
Di Surabaya sudah dini hari. Saya telepon Redaktur piket malam Harian Surya, Uki M Kurdi. Dia segera menyetop mesin cetak koran yang sudah mulai giling. Ini berita penting. Harus dibikin "Stop Press". Besoknya kabar duka menyebar, sementara koran lain belum punya.Â
Pihak rumahsakit semula menolak kehadiran saya. Ada larangan masuk, apalagi memotret. Profesor Roem Rowi Mutawif haji Linda Jaya meyakinkan. Latief Pudjosakti itu publik figur. Pimpinan Parpol (waktu itu PDI). Anggota DPR. Maka wajib dipublikasikan. Setelah bernegosiasi, saya diperkenankan masuk.