Harta Bukan Pilihan
Ketika ayahnya meninggal, Rabi'ah harus berpisah dengan keluarganya. Karena kondisi keuangan semakin sempit maka Rabi'ah kemudian hidup sebagai pembantu, dengan berbagai macam penderitaan datang silih berganti.
Majikannya berlaku semena-mena, selalu dikekang dan diperas. Tiada henti Rabi'ah selalu berdo'a kepada Allah untuk meminta petunjuk kepada-Nya atas penderitaan yang dialami. Rabi'ah tidak pernah menyia-nyiakan waktu luangnya untuk selalu berdo'a di pagi, siang maupun malam hari.
Setiap hari amalan ibadah yang dilakukan Rabi'ah pun semakin meningkat. Ia memperbanyak taubat, dzikir, puasa, serta menjalankan sholat secara rutin. Setiap kali melaksanakan sholat meneteskan air mata, karena merasa rindu kepada Allah.
Lama-kelamaan majikannya ikut mendengar rintihan Rabiah Al-Adawiyah saat berdoa. Suatu malam majikannya melihat ada cahaya yang menerangi bilik Rabi'ah saat beliau berdoa di malam hari. Ketika diintai dari lubang kunci ternyata di atas kepala Rabi'ah ada sebuah lampu menggantung tanpa terhubung pada apapun.
Sang majikannya merasa bahwa Rabi'ah adalah kekasih Allah. Hingga, dari kejadian itu Rabi'ah dibebaskan majikannya. Bahkan diberi pilihan, yaitu mendapatkan semua harta majikannya atau kembali ke kota kelahirannya.
Karena Rabi'ah hidup untuk menjauh dari kekayaan dan kesenangan dunia, maka beliau memilih kembali ke kotanya untuk menjadi sufi dan mendekatkan diri dengan Allah.
Rabi'ah menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat. Hingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada Allah.
Sekembalinya melaksanakan ibadah haji dari Mekkah kesehatan Rabi'ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya.
Menjelang kematiannya banyak orang-orang shaleh ingin mendampinginya, namun Rabi'ah menolak. Rabi'ah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah.