Bila tak kenal maka tak sayang, sayang bila tak kenal. Tapi jangan dulu bertanya siapa dia. Jangan terbiasa, melihat siapa yang bicara. Tapi lihatlah dan perhatikan apa yang dibicarakan. Sedikit bicara banyak bekerja, bekerja bukan hanya dengan fisiknya. Tetapi bekerja dengan pikiran, hati nuraninya, melihat dan mendengar serta menganlisa.
Sosok relawan Bara JP yang satu ini memang belum banyak dikenal. Penampilannya cukup sederhana, tinggi tubuhnya namun ramping, kalau tidak dikatakan kurus. Berpendidikan tinggi dalam bidang perhotelan dan pariwisata. Profesi yang digeluiti selama ini, bahkan sampai kini ditengah umurnya yang sudah purnakarya. Penjelajah lebih dari 80% negara-negara di dunia dan penyandang MBA lulusan dari Cornell University Ithaca New York ini masih dipercaya sebagai konsultan Sekolah Tinggi Prhotelan dan Pariwisata, almamater yang menjadikannya.
Berbincang dengan beliau, tidak akan ada habis-habiisnya. Sebagai pengamat publik, dalam berbagai segi kehidupan yang terkandung didalamnya. Sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dsb. Masalah-masalah aktual yang sedang menjadi pembicaraan banyak orang, diresapi, diamati, dianalisa dan kalau memungkinkan dicarikan solusinya.
Kesempatan bertemu dan berkenalan dengan beliau di markas Bara JP Jl Bhineka Raya no 3 Cawang Baru Cipinang Cempedak Jakarta Selatan. Berkesempatan pula untuk berbincang-bincang mengenai pendapatnya tentang tahun 2014 ini yang disebut-sebut sebagai tahun politik. Perbincangan diawali dengan perkenalan, biasa dipanggil pak Biman dari penggalan nama lengkapnya Subiman Ika Wiryana.
“Pak Biman, apa yang bapak rasakan dan cermati sekarang ini, menyangkut sebentar lagi kita akan merayakan pesta demokrasi, suksesi kepemimpinan melalui Pemilu Legislatif dan Pemilu Eksekutif-Pemilu presiden dan wakilnya”, tanya awak media baranews.co dengan penuh harap.
“Wowww begini mas, yang saya rasakan dan cermati adalah adanya Indikator-Indikator Penghancuran Bangsa dan Negara. Nah ini, idealnya juga perlu dicermati oleh mereka, para calon pemimpin bangsa dan Negara yang telah siap bertarung menjadi caleg, capres dan cawapres. Bahkan juga mereka yang mengincar jabatan politis, menjadi pembantu presiden dalam cabinet yang akan dibentuk kemudian.
Dengan perkataan lain, indikator-indikator itu menjadi tantangan dan peluang sebagai panggilan jiwa bagi mereka para calon pemimpin bangsa dan negara ini. Saya menyebut sebagai panggilan jiwa, sebagai kata ganti panggilan hati nurani, agar tidak rancu dengan nama salah satu parpol yang menjadi kontestan, sebagai kendaraan yang mengantarkan para calon pemimpin itu.
“Pak Biman, kalau boleh tahu secara rinci apa yang bapak maksud dengan indikator-indikator penghancuran bangsa dan Negara itu?”
“Paling tidak terdapat enam indikator yang menunjukkan dengan sangat jelas di depan mata kita adanya fihak-fihak yang berproses menghancurkan bangsa dan negara kita ini, yaitu :
1. Fenomena “Politik Salon Kecantikan” yang menimbulkan distorsi, adanya partai politik yang sudah tidak sejalan dengan pembangunan bangsa dan negara. Bak bedah plastic, permak sana sini…dari jelek menjadi (seolah) “tampak cantik”.
2. Adanya upaya gerakan penghancuran terhadap bangsa dan negara secara sistematis dengan munculnya kelompok ormas brsar yang anarkis. Adanya kelompok yang mengkafirkan kelompok lain. Seolah ada tentara dalam tentara, ada polisi dalam polisi, ada negara dalam negara, tetapi pengelola negara diam saja.
3. Adanya gerakan penghancuran bangsa, generasi muda penerus masa depan bangsa melalui “serangan narkoba” yang sudah merebak ke seantero tanah air, baik di masyarakat perkotaan, pelosok-pelosok desa maupun kantor-kantor/instansi pemerintah, bahkan sudah masuk menembus kedalam Lembaga Tinggi Negara. Dengan korban berbagai kelompok umur yang terus meningkat jumlahnya, tetapi pengelola negara sangat lemah melawan ancaman terhadap penghancuran bangsa ini.
4. Adanya rongrongan dari dalam sendiri. Sepak terjang para pemimpin/penentu kebijakan di tiga lembaga tinggi kekuasaan (eksekutif, legislative dan yudikatif} banyak yang menyimpang dari “jiwa dan prinsip Trias Politika”. Bukannya dominan mengedepankan Check and Balance, tetapi lembaga-lembaga tersebut malah dijadikan “medium” semi permanen untuk berkolusi (korupsi berjamaah) merampok asset negara/uang rakyat. Akibatnya “Demokrasi Tanggung Jawab” bergeser menjadi “Demokrasi Transaksional”
5. Munculnya banyak aktor politik instan atau “politisi karbitan” berpandangan sempit, orientasinya hanya pada kepentingan sendiri/kelompoknyya. Sehingga yang berkembang dewasa ini watak manipulatif dan dangkal pikiran dalam berpolitik. Akibatnya melahirkan politisi busuk yang pembohong dan korup. Politisi-politisi semacam inilah yang menjadi penghambat/perusak dinamika dan tata kehidupan berbansa dan bernegara. Sudah 68 tahun Indonesia merdeka masih “jalan di tempat”, tidak maju-maju. Kondisi bangsa dan negara semakin terpuruk, negara-negara tetangga melecehkannya, karena jati diri dan martabat bangsa tergadaikan, nyaris hilang. Korupsi semakin merajalela dan meluas, kehidupan rakyat jauh dari sejahtera dan bdftambah miskin. Sehari-hari mereka hanya menjadi penonton, menyasksikasn kekayaan alamnya sendiri yang melimpah hanya dihikmati para elite kekuasaan, koruptor dan bangsa lain.
6. Keberadaan pemimpin pemerintahan negara antara ada dan tiada. Faktanya Negara ini bagaikan kapal tanpa nahkoda, tanpa arah tujuan kemana negara ini dibawa.
Indikator–indikator ini semua menunjukkan dan memastikan bahwa pengelolaan negara melanggar konstitusi “UUD 1945” dan menyimpang dari Ideologi Pancasila yang menjadi dasar negara sebagai “The Way of Life” NKRI. Intelektual bangsa, wawasan kebangsaan, , jiwa-rasa persatuan dan kesatuan cenderung nisbi. Betapa pentingnya inti ajaran toleransi yang terkandung dalam “Bhineka Tunggal Ika”. Serta kaidah dasar menuju nilai-nilai peradaban bangsa yang luhur dan mulia, melalui “Nation and Character Building” bagi setiap warga negara Indonesia, diabaikan implementasinya oleh pengelola pemerintahan negara.
Akibatnya berbagai sendi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara menjadi jauh dari keteraturan, amburadul, cenderung rusak dan sangat sulit diperbaiki. Karena mental dan karakter rezim penguasa berkadar mengharapkan keuntungan pribadi dari kekuasaan. Segala kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari sudah brgantung pada negara lain, misalnya gula lokal sudah tidak manis lagi, garam lokal sudah tidak asin lagi. Harga barang-barang dan jasa naik terus, tetapi ada satu yang tidak naik-naik, bahkan cenderung turun. Yaitu harga diri bangsa”.
“Sepertinya tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk memilih calon pemimpin, meski sudah dipandu melalui serangkaian kampanye. Apakah pak Biman punya trik atau tip tertentu, bagamana kita bersikap untuk memilih calon pemimpin?”, tanya awak media baranews.co lebih lanjut.
“Pemilu Legislatif, kita akan memilih kendaraan yang akan membawa para calon pemimpin. Sekaligus memilih pemimpin atau wakil rakyat yang akan duduk di kursi parlemen. Ibarat memilih kendaraan dalam arti sebenarnya, silahkan saja memilih kendaraan yang mana saja. Kendaraan lama atau baru, kendaraan mewah atau kendaraan niaga atau kendaraan yang sudah pernah terlihat kwalitas jalannya. Yang penting kenali karakteristik para awak kendaraan dan para penumpang yang ada didalamnya. Intelektualnya, moralnya, integritasnya, jiwa kebangsaan atau nasionalismenya, kepedulian pada rakyat yang telah mempercayai memberi amanah menjadi wakil rakyat, dsb.”.
“Baiklah pak Biman, saya cukupkan dulu bincang-bincang kali ini. Semoga membawa manfaat bagi banyak orang, minimal membuka cakrawala baru. Agar tidak mudah terpengaruh hanya melalui janji-janji yang para calon pemimpin dan wakil rakyat yang sering diobral pada masa kampanye. Terimakasih telah meluangkan waktunya, sampai jumpa pada kesempatan lainnya”
Tags : bara jp, pemilu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H