Mengutip term of reference Temu Media Dakwah Formedia (Forum Media Dakwah Indonesia) :
“Legitimasi kebenaran berlandaskan agama seringkali menimbulkan kekacauan penafsiran. Lahirnya konflik di banyak daerah seluruh Indonesia dengan mudah menjadi indikasi adanya pelemahan terhadap konteks agama sebagai lahan perdamaian. Islam maupun agama langit manapun telah sepakat bahwa hadirnya system relegiusitas seyogyanya menjadi keberagaman manusia dipahami sebagai bahan dasar kebersamaan. Dalam konteks ini agama sejatinya sebagai ruh kehidupan kebhinekaan Indonesia.
Kekerasan yang dimotori oleh sekelompok orang atas nama personal salah satu agama menjadi ajang pembiasan makna beragama itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri konflik merupakan indikasi nyata dari sebuah evolusi perbaikan sel-sel kehidupan. Namun demikian konflik bukan seseuatu yang secara mudah dimaklumi. Pada sejarah awal Islam dibangun, kekerasan dengan dalih agama telah sering terjadi.
Konsep Islam kekinian dengan pengikut dari berbagai lini perbedaan menjadi mustahil ketika kehidupan agama bebas dari konflik. Hanya saja statemen ini bukan pembenaran atas segala bentuk perilaku kekerasan. Selain itu media seringkali menjadi pemicu kesalah tafsiran dalam konflik. Untuk itu forum ini hadir sebagai representasi ide keberpihakan kemaslahatan umat, bukan lagi atas nama fanatisme agama.
Formedia berdiri di atas dan untuk semua golongan, tidak memihak pada sekte dan aliran maupun sisi keryakinan manapun. Serta tergambar jelas sebagai mediator perdamaian, menjunjung tinggi ajaran tunggal tauhid yang berlandaskan rahmatan lil alamin. Selanjutnyadalam diskusi membuka kata dengan merujuk pada risalah media dakwah yang menjadi satu-satunya harapan untuk membumikan informasi yang bersifat menentramkan, melalui pemberitaan yang murni tanpa agenda permusuhan, kontra-produktif dan tidak menimbulkan pertikaian”.
*
Konsisten dan konsekuen dengan komitmen itulah pada tanggal 3 Nopember 2012 bertempat di Fefo Café Situ Gintung Ciputat Tangerang, Formedia mengadakan temu diskusi yang membahas keprihatinan seputar dakwah masa kini. Masa-masa maraknya berbagai media massa cetak dan elektronik serta jejaring sosial yang juga berperan sebagai media journalism warga.
Dengan perasaan galau mencermati dakwah masa kini yang lebih cenderung kepada segi entertainmen atau hiburan. Dengan perkataan lain dakwah masa kini bukan lagi dakwah tuntunan, tetapi dakwah tontonan. Para da’i yang humoris atau comedian yang kini banyak meraup keuntungan dari media elektronik yang juga memang berharap rating yang tinggi, disamping tayangan dakwah yang dikemas dalam cerita sinetron.
Lebih dari itu terpikir akan adanya stasiun televisi dakwah tersendiri yang menampilkan dakwah yang mendidik, mencerdaskan dan mencerahkan. Meski tidak menutup kemungkinan juga ada nantinya yang dikemas dalam bentuk seni hiburan. Sebagaimana awal penyebaran agama yang dibawakan oleh para wali songo jaman dahulu, melalui pementasan seni tradisional.
Menjadi tantangan dan peluang bagi Formedia untuk tampil beda, lain daripada yang lain memberi warna tersendiri dalam kancah media dakwah masa kini. Lebih dari itu berharap adanya dakwah yang merintis terjalinnya solidaritas dan toleransi antar lintas umat beragama, mengingat bahwa agama sejatinya adalah sebagai ruh kehidupan kebhinekaan Indonesia.
Beranjak dari terbentuknya Formedia yang berangkat dari kalangan akademisi, akankah mampu menampilkan dakwah yang berdasarkan kaidah logika ilmiah, selain akidah yang selama ini mendominasi. Dakwah yang mendidik, mencerdaskan dan mencerahkan yang mampu menekankan bahwa agama sejatinya adalah mengatur kehidupan dunia antara lain melalui hukum positif. Sedangkan hukum agama yang abstrak sebagai motivasi mengatur kehidupan akherat.
Sebagai contoh kasus yang marak aktual terjadi berulang setiap tahun, adalah fenomena sosial seperti sekarang ini ‘ kepulangan para jemaah haji’. Bila keberangkatannya para jamaah berkonsentrasi pada ritual ibadah, maka kepulangannya idealnya adalah konsentrasi pada penerapan ritual yang diperoleh berkaitan dengan kehajian dan atau kehajahannya tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan, tidak demikian semuanya.
Sebagian jemaah haji mungkin lebih konsentrasi terhadap oleh-oleh dan souvenir bagi para kerabat, tetangga dan komunitasnya. Salah satu oleh-oleh paling favorit adalah air zam-zam, yang diyakini sebagaiair bertuah dan dikeramatkan mujarab sebagai air yang mampumenyembuhkan penyakit dan menyehatkan. Sampai-sampai panitia penyelanggaraan haji merasa perlu harus membatasi bagasi yang satu ini hanya 5 liter tiap jamaah.
Pemahaman bahwa air zam-zam adalah air yang menyembuhkan dan menyehatkan adalah benar adanya. Mengingat bahwa air zam-zam diperoleh dari dalam lapisan tanah yang sangat dalam. Sehingga telah mengalami penyaringan berbagai lapisan tanah dan mengandung berbagai mineral serta pelikan sekelumit (trace elemen} yang diperlukan oleh metabolism tubuh.
Artinya air yang sama kwalitasnya dengan air zam-zam (antara lain misalnya air dari sumur artesis) juga berkhasiat nyata sebagai air yang menyembuhkan dan menyehatkan, sepanjang dikonsumsi secara berimbang dengan zat nutrisi atau gizi yang lain sepanjang waktu dan berkesinambungan. Air zam-zam yang asli sekalipun bila dikonsumsi hanya beberapa teguk karena harus berbagi dengan umat yang lain, tidak akan berdampak nyata terhadap kesehatan. Apalagi setiap hari kemudian mengkonsumsi air yang biasanya yang tidak higienis.
Inilah makna ajaran agama itu menganjurkan agar umathidup sehat, antara lain dengan mengkonsumsi air yang suci, dengan pengertian suci hama atau bebas dari agen penyakit. Agama mengajarkan dengan contoh suri tauladan dan simbol tertentu, antara lain adalah air zam-zam adalah air yang suci hama higienis, bukan air mujarab yang sakral keramat berbau mitos magis atau apapun namanya.
Pada umat beragama yang lain juga dikenal air suci, misalnya di pura Tanah Lot pulau Bali. Juga air suci sungai Gangga di India, mungkin jaman purba dahulu kala belum tercemar, berasal dari mataair pegunungan yang sangat dalam
Mampukan dakwah masa kini merubah perilaku pemahaman tentang air zam-zam, kalau mengingat bahwa mengkonsumsi air zam-zam bukan bagian dari rukun dan atau syarat prosesi ritual jemaah haji. Sehingga di masa-masa mendatang jemaah tidak terbebani dengan air yang nilai ekonomisnya tidak seberapa.. Di lain fihak menutup kemungkinan pemaslsuan air zam-zam dengan air lain yang kemudian menjadi komoditas ekonomi yang menguntungkan sekelompok orang. Hal ini justru mengurangi nilai ibadah haji dan tujuan ibadah lain pada umumnya.
Tags : air zam-zam, ibdah haji, media dalwah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H