Pemerintah Indonesia khususnya Dewan Perwakilan Rakyat sedang menata kembali sistem perpajakan Nasional di tengah pandemi, tidak lain yaitu untuk pembahasan Revisi Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam revisi UU tersebut, pemerintah berniat mengadakan enam reformasi perpajakan yang berkaitan dengan UU KUP, UU Pengampunan Pajak, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), PPN multi tarif dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hingga UU Pajak Penghasilan (PPh).Â
PPN merupakan pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan pihak yang membayar PPN adalah konsumen akhir. Dalam draf revisi tersebut, barang kebutuhan pokok dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenakan PPN. Artinya, barang pokok akan dikenakan PPN. Barang pokok yang tidak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017. Barang pokok yang dimaksud, seperti beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, ubi-ubian, sayur-sayuran, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi atau tidak lain adalah sembako (sembilan bahan pokok).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan PPN sembako dan jasa pendidikan tidak akan dikenakan secara merata dan besaran tarif PPN yang dikenakan bakal dibedakan berdasarkan jenisnya. Mengutip Ibu Menteri Sri Mulyani di akun Instagram pribadinya, berikut contoh sembako yang akan dikenakan PPN: beras Basmati, beras Shirataki, daging sapi Kobe, daging sapi Wagyu atau komoditas sembako premium lainnya. Komoditas premium itu berharga 5 hingga 15 kali lipat dari harga sembako biasa. Atas dasar itu, untuk komoditas beras lokal seperti merek Rojolele hingga Pandan Wangi, dan daging lokal akan terbebas dari PPN. Dan Pemerintah tidak akan mengenakan pajak sembako yang dijual di pasar tradisional yang menjadi kebutuhan masyarakat umum, jelasnya. Tetapi belum ada keterangan dengan jelas mengenai aturan untuk kriteria yang tepat untuk barang premiun yang akan dikenakan pajak
Kebijakan mengenai pajak saat ini dinilai terdapat rasa ketidakadilan atas objek pajak yang sama yang dikonsumsi oleh golongan penghasilan berbeda, dan adanya distorsi ekonomi yang disebabkan oleh tax incidence, sehingga harga produk dalam negeri tidak dapat bersaing dengan produk impor. selain itu juga adanya ketidakefisienan pemungutan pajak saat ini dan pemberian fasilitas seperti Surat Keterangan Bebas Pajak (SKB) Pajak dan Surat Keterangan Tidak Dipungut (SKTD) yang menimbulkan biaya administrasi.Â
Indonesia termasuk kedalam negara yang memiliki tarif PPN yang cukup rendah yakni 10%, sebagai perbandingan, rata-rata tarif PPN negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah 19 persen, sedangkan negara Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu 17 persen. Sehingga dengan adanya revisi UU No. 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan dengan diadakannya beberapa kebijakan mengenai pemungutan pajak baru diharapkan adanya keadilan yang tercipta, serta untuk menaikan pendapatan negara.Â
Tanggapan Terkait Isu PPN Pada Sembako
Menurut apa yang dijelaskan oleh Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia bahwa pengecualian pada pembayaran PPN menyebabkan distorsi. Disebutkan bahwa pengecualian pada pembayaran pajak tidak mempertimbangkan jenis, harga, dan kelompok yang mengonsumsi.Â
Apakah pemerintah sudah merencanakan dengan baik-baik terkait kebijakan ini? Pemerintah harus berpikir komprehensif agar tidak terjadi ketidakmerataan keadilan.
Tanggapan
1. Tidak tepat manaikkan pajak pada sembako di masa pandemi seperti ini. dengan menimbang bahwa yang terkena dampak covid adalah seluruh lapisan masyarakat.Â
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,75 juta orang pada Februari 2021. Jumlah tersebut meningkat 26,26% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 6,93 juta orang. Dengan hal tersebut ditakutkan orang yang sebelumnya beli sembako premium beraih ke sembako biasa Ini bisa menyebabkan permintaan sembako biasa naik dan kelangkaan pada sembako biasa.