Bayangkan ini, Anda dan pasangan sedang duduk di ruang tamu, menikmati waktu bersama setelah seharian bekerja. Tetapi, alih-alih berbincang atau saling berbagi cerita, Anda berdua justru sibuk dengan ponsel masing-masing. Suara notifikasi terus berdering, mengisi ruangan dengan denting yang perlahan-lahan menggantikan suara percakapan. Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita, tetapi apakah Anda menyadari bahwa di balik kemudahan berkomunikasi dan berbagi, media sosial juga bisa menjadi sumber keretakan dalam rumah tangga?
Pertama, mari kita bicarakan tentang kecemburuan digital. Mungkin Anda pernah melihat pasangan Anda meninggalkan komentar atau memberi tanda suka pada unggahan seseorang yang membuat Anda merasa tidak nyaman. Kecemburuan yang mungkin awalnya sepele ini bisa berkembang menjadi ketidakpercayaan jika tidak segera diatasi. Komentar sederhana di sebuah foto atau pesan singkat kepada teman lama bisa menjadi pemicu konflik yang besar jika dibiarkan begitu saja tanpa komunikasi yang jelas dan terbuka.
Kemudian ada masalah keterbukaan yang berlebihan. Mungkin tanpa disadari, Anda atau pasangan kerap membagikan masalah pribadi atau kebahagiaan berlebihan di media sosial. Apa yang dianggap sebagai 'curhat' atau sekadar berbagi momen sebenarnya bisa membuka ruang pribadi Anda untuk dihakimi oleh orang lain. Hal ini tidak hanya mengundang opini publik, tetapi juga bisa menambah tekanan dan memperburuk situasi di rumah. Apa yang seharusnya diselesaikan secara pribadi kini menjadi tontonan publik, dan ini bisa mempengaruhi kepercayaan serta kedekatan dalam hubungan.
Belum lagi soal waktu yang tidak terkendali. Berapa kali Anda merasa bahwa pasangan Anda lebih fokus pada layar ponsel daripada pada Anda? Ketika waktu bersama yang seharusnya diisi dengan percakapan mendalam atau kegiatan bersama justru hilang karena terlalu lama menjelajahi dunia maya, perasaan diabaikan mulai muncul. Kehadiran fisik tidak lagi cukup jika perhatian tidak diberikan.
Media sosial juga sering memicu komparasi yang tidak sehat. Anda melihat teman-teman membagikan momen bahagia mereka --- liburan mewah, hadiah mahal, atau bahkan pasangan yang selalu tampak romantis. Tanpa sadar, Anda mulai membandingkan hubungan Anda dengan apa yang Anda lihat. Kenapa kita tidak seperti mereka? Mengapa pasangan saya tidak bisa lebih romantis seperti itu? Padahal, apa yang Anda lihat di media sosial sering kali hanya sisi terbaik dan bukan gambaran lengkap dari kehidupan seseorang.
Dan bagaimana dengan kehadiran kembali mantan atau orang dari masa lalu? Media sosial membuat sangat mudah untuk berhubungan kembali dengan siapa pun, termasuk mereka yang pernah ada dalam kehidupan Anda. Satu pesan sederhana bisa memicu nostalgia, dan jika tidak hati-hati, bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih. Hubungan yang sudah berjalan baik bisa terganggu oleh bayang-bayang masa lalu yang tiba-tiba muncul kembali di layar ponsel.
Akhirnya, ada risiko perselingkuhan digital. Mungkin tidak ada pertemuan fisik, tetapi pertukaran pesan yang intens dan penuh emosi bisa sama merusaknya. Media sosial memberikan ruang untuk percakapan pribadi yang bisa berkembang menjadi hubungan emosional yang menggantikan peran pasangan.
Jadi, di tengah kemudahan dan kesenangan yang ditawarkan oleh media sosial, kita harus bertanya, apakah alat ini benar-benar membantu mempererat hubungan kita, atau justru menjadi ancaman bagi keutuhan rumah tangga? Kuncinya adalah bagaimana kita menggunakan media sosial dan bagaimana kita menjaga komunikasi serta kepercayaan dalam hubungan. Dengan kesadaran dan kehati-hatian, media sosial bisa tetap menjadi alat yang memperkaya hidup kita, bukan sebaliknya. Sebelum terlambat, mari kita renungkan kembali, apakah media sosial mendekatkan atau justru menjauhkan kita dari orang-orang yang kita cintai?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H