Memfasilitasi focus group discussion, meski hanya dua setengah jam, tetap saja fisik dan pikiran menjadi terkuras. Selepas sore, sekitar pukul 17.00 waktu setempat, penat mulai mendera badan saya. Keputusan untuk segera kembali ke penginapan adalah keputusan yang tepat. Harapannya semoga ketika malam menjelang, badan ini kembali segar untuk melanjutkan aktivitas. Terutama penulisan laporan (My GOD!) [caption id="attachment_287137" align="alignleft" width="300" caption="deretan rumah makan pinggir laut kota padang selepas subuh"][/caption] Seorang rekan saya mengajak berwisata kuliner khas Kota Padang. Tentu tawaran langka ini sungguh tak elok untuk ditolak. Tanpa berpikir dua kali, saya mengiyakan. Kemudian diantarlah kami kepada sebuah rumah makan di pesisir laut Kota Padang. Dari penginapan Hotel Syariah Nabawy 2 Jalan Veteran, Kota Padang belok kanan, lurus saja kira-kira berjarak 1 km. nanti kita akan bertemu dengan deretan rumah makan pinggir laut beraneka macam. Kami memilih rumah makan yang menyediakan televisi. Kebetulan malam itu bertepatan dengan siaran langsung sepakbola Indonesia-Uruguay – dan kita semua tahu berapa hasil akhirnya…. Tak perlu dibahas di sini, hehehe. [caption id="attachment_287150" align="alignright" width="199" caption="kepiting saus padang"][/caption] Cara yang eksotis menikmati nuansa malam. Ditemani suara deru ombak, dan hamparan hasil tangkapan laut nelayan, kami mulai memilih calon makanan. Ada kepiting, ikan bawal, ikan gurame, udang, dan kepiting. Tersedia berbagai macam ukuran dari yang kecil hingga besar. Untuk satu kilo ikan bawal dihargai Rp.20.000/kg. Sementara kepiting Rp. 50.000/kg. Kebingungan mendera ketika ditanyakan minuman. Pertama saya pesan teh tawar panas. Maksudnya adalah ingin badan ini segar kembali. Namun, rekan saya justru mengusulkan alternatif pesanan. Jika menginginkan badan segar kembali maka akan pas memesan teh telor atau teh taluak dalam bahasa setempat. Sudah lama memang saya mendengar tentang minuman khas ini. Namun berkesempatan untuk mencicipinya barulah kali itu saja. Sejujurnya, saya tidak memiliki gambaran sama sekali mengenai rasa teh telor ini. Dulu, sewaktu SMP saya cukup rutin minum kuning telor mentah, di tambah susu coklat, dan madu. Bagi orang lain, amis bau dan rasanya. Tapi entah mengapa saya menyukainya. Saya mulai berhenti mengkonsumsi minuman tersebut ketika ibu saya protes karena telor yang baru dibeli langsung habis (Ups, sorry mom) Singkat cerita, setelah menghabiskan setengah makanan yang dipesan, datanglah yang dinanti-nanti. Kesan pertama saya pada teh telor adalah ia memiliki bentuk dan warna seperti oatmeal yang istri buatkan setiap pagi dan malam. Namun, teh telor memiliki busa – hasil kocokan telor dan teh saya asumsikan – serta bau yang sangat khas seperti perpaduan antara gula aren, teh, dan madu. [caption id="attachment_287156" align="alignleft" width="199" caption="teh telor atau teh taluak"][/caption] Saya bertanya kepada rekan saya tentang cara meminumnya. Ternyata perlu diaduk lebih dahulu untuk lebih menyatukan rasa minuman itu. Setelah saya aduk dan dirasa minuman telah cukup menyatu, saya sedikit mencicipinya. Esapan pertama sedikit terhenyak. Tidak ada rasa amis sama sekali! Justru yang ada adalah rasa manis dari gula aren dan madu yang mendominasi rasa. Telor kuning membuat rasa minuman gurih dan terasa “berat” di mulut. Kocokan telor dan teh membuat sensasi busa tersendiri ketika melewati mulut, turun ke kerongkongan. Lama’ bana! Baru saya ketahui kemudian, ternyata minuman teh telor ini ditambah susu (entah susu kental manis atau susu biasa) yang menambah bobot “berat” minuman. Khasiatnya pun langsung saya rasakan. Tubuh terasa lebih segar dan hangat. Saya pun santai saja menyelesaikan laporan sementara penelitian, plus sedikit melukiskan pengalaman hari pertama saya di Kota Padang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H