Elicohen J. “Ambon Manise” Pentury, atau lebih dikenal dengan nama IGO, dilantangkan sebagai sang juara sebuah ajang pencarian bakat, Indonesian Idol 2010.
Selesailah sudah proses berbulan-bulan event tersebut dalam tujuannya mencari seorang superstar baru, yang nantinya akan mewarnai blantika musik Indonesia – yang entah mengapa telah sumpek dengan mono-ragam musik. Ya, bagi saya dunia musik Indonesia sangat terarahkan (driven) oleh kemauan pasar, ketimbang penciptaan-penciptaan jenis musik secara indipenden. Maka seorang musisi Indonesia ketika ingin mencipta sebuah karya album sangat terpengaruh oleh kemana arah pasar sedang memberi respon.
Ketika pasar (baca: masyarakat pembeli musik) senang dengan musik rock, maka lagu yang dikeluarkan akan terwarnai distorsi gitar yang melengking. Ketika pasar menghendaki nuansa pop, maka yang akan ditonjolkan adalah kemanisan lagu. Atau saat warna melayu mulai menusantara, warna vokal dan lagu yang dicari adalah mendayu. Sementara mereka yang berusaha ‘melawan” kemauan pasar tidak akan dilirik oleh produser. Pertimbangannya sangatlah jelas, tidak mau rugi! Mereka yang melawan ini pun akhirnya berusaha kreatif dengan segala keterbatasan yang ada. Muncullah slot musik baru, indie.
Entah apa indikator bagi pasar dalam memilih apa yang menjadi favoritnya tahun ini. Bisa jadi dalam satu tahun preferensi itu berubah sangat drastisnya berkali-kali, tanpa adanya simptom yang zahir. Dugaan saya disini Hukum Gossen menjadi relevan, yaitu menurunnya tingkat kepuasan akibat ekspose yang terus-menerus dari sebuah materi. Maka, ketika masyarakat telah jenuh, mereka akan mencari materi lain yang memberi suasana baru bagi dirinya. Benarkah demikian? Wallahualam.
Ajang pencarian bakat (scout talent) kemudian diadakan untuk mencekoki wajah-wajah baru kepada dunia musik Indonesia. Terlepas dari brand yang digunakan; apakah Indonesian Idol, Indonesia Mencari Bakat, Akademi Fantasi Indosiar, MamaMia, Indonesia’s Got Talent, dan lain sebagainya adalah salah satu upaya dari pasar untuk mengukur dirinya sendiri dalam hal perkembangan jenis yang digemari.
Model pemilihannya pun sangat loose, via sms. Satu sisi ini memang salah satu cara ampuh untuk mengukur kecenderungan pasar terhadap sang calon bintang. Namun sisi lain, metode ini sangat rentan terhadap pengaruh-pengaruh eksternal – yang mirisnya tidak terkait sama sekali dengan perkembangan sang calon bintang untuk bisa survive panjang berkarya di dunia musik Indonesia. faktor demikian misalnya over-blow up terhadap kondisi sang calon bintang yang serba miris dan nelangsa, datang dari daerah Timur (baca: terbelakang), dan lain sebagainya.
Masyarakat Indonesia yang terkenal menderita melankolis-akut diharap menjadi iba dan memilih beliau sebagai sang pemenang. Caranya? Mengirimkan sms sebanyak mungkin. Sang calon groupies, ijinkan saya menggunakan istilah demikian, kemudian mengorganisasi dukungan dari masyarakat luas. Pelbagai cara dilakukan. Kreativitas ditonjolkan. Namun tujuannya hanya satu, kirim sms. Para provider telekomunikasi lah yang akan merengguk keuntungan, bukan sang calon bintang. Tak percaya? Hitunglah sendiri berapa rata-rata sms yang dalam satu minggu dengan tarif premium, kalikan dengan lama waktu ajang tersebut diselenggarakan.
Maka, lupakan membantu sang bintang agar menjadi mampu. Karena tetaplah Sang Midas itu bernama satu: Provider telekomunikasi.
Ciloto, Puncak
8 Agustus 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H