Mohon tunggu...
Arif R. Haryono
Arif R. Haryono Mohon Tunggu... -

terkadang menulis, jarang bekerja, seringnya melamun dan bermimpi di siang bolong:....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Supir Taksi (I): Belajar Ke-Indonesia-an

15 Juli 2010   08:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:51 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak itu menanggapi cepat gesture yang kuberi padanya. “Saya ingin naik taksi anda”, kurang lebih begitu kalimat non-verbal yang kulempar.

Perawakannya sedikit gemuk, logatnya dari pulau seberang yang belum bisa kutebak, berusia sekitar 40-an tahun, namun ia lincah-ramah bergerak menyambut Sang Penumpang, seakan kami adalah klien pertamanya di hari itu. Padahal saat itu hari sudah cukup malam, sekitar pukul 21.00.  Di Stasiun Cawang tanda-tanda kehidupan masih saja ramai.

Saya sudah keluar dari subuh tadi pak”. Sedikit tertawa ia menyambut pertanyaan basa-basi saya apakah ia lembur atau dapat shift malam. Jawabnya ringan, tak terkesan nada lelah sedikitpun.

Tak apa pulang malam sedikit, yang penting ada yang dibawa pulang ke rumah untuk anak-istri”. Ia melanjutkan. Rasa kagum ini mulai tumbuh.

***

Taksi meluncur menuju tol TB Simatupang. Hujan cukup deras membuat kaca mobil yang kutumpangi menyusun sulur-sulur air. Anugrah Tuhan Maha Pemurah, gumamku. Siapa yang menyangka di bulan yang semestinya kemarau ini hujan masih bisa menyambangi Kota Metropolis? Saya mulai merebahkan badan. Lelah ini memang tidak bisa dibohongi.

Aneh yah pak hujan kok di bulan Juni?”. Supir Taksi mulai membuka pembicaraan. “Yah begitulah pak. Saya juga heran, tapi tetep seneng. Jadi adem”. Tawaku renyah. Beberapa topik pembicaraan kami lalui sekedarnya.

Pembicaraan mulai menarik ketika ia bercerita tentang keberadaan Kampung Jawa di daerah Sumatra Utara. Dengan lancar ia menceritakan asal-usulnya. “Kampung itu didirikan memang untuk menampung orang Jawa yang datang”.

Cerita bermula ketika pemerintah Orde Baru sedang giat-giatnya menggalakan transmigrasi. Tersebutlah masyarakat dari pulau Jawa yang mengadu nasib menjadi transmigran ke tanah Sumatra Utara. Dan yang menjadi transmigran tidak satu-dua keluarga saja, tapi banyak keluarga. Hanya saja, tidak banyak yang mampu menenggak arak kesuksesan. Sedikit yang sukses ini kemudian mulai membangun rumah tetap dan berinteraksi erat dengan penduduk setempat.

Keberadaan orang Jawa yang menangguk sukses di perantauan tampaknya mulai tersiar ke tanah kelahiran. Tak perlu waktu lama hingga mulai terjadi eksodus warga Suku Jawa ke Sumatra Utara untuk mengadu nasib. “Mencoba sukses di tanah orang lain, karena tanahnya sendiri sudah berallih-fungsi jadi pabrik atau diambil paksa untuk diubah jadi taman pemuas nafsu Si Kaya”, begitu pikirku.

Sayangnya, kegiatan eksodus ini tidak dijalankan dengan perencanaan yang matang. Jadilah mereka merantau tanpa disertai alamat tujuan yang jelas. Mereka hanya berbekal nama, dan logat Jawa yang kental. Kepala desa setempat yang kebingungan ketika jadi tempat bertanya para pendatang hanya mengarahkan ke beberapa rumah kosong untuk ditinggali sementara. Proses ini terjadi berulang dan bertahun-tahun, sampai Sang Kepala Desa akhirnya membangunkan pemukiman yang dinamakan Kampung Jawa.

Herannya proses akulturasi antar dua suku itu berjalan lancar, relatif tanpa konflik mungkin – setidaknya begitulah yang saya tangkap dari cerita-cerita Pak Supir Taksi. Bahkan banyak masyarakat Jawa yang mampu membina keluarga justru dengan penduduk setempat.

Tetangga dekat (suku Minang) malah ga dilirik, Pak. Orang tua dulu lebih senang dapat menantu orang Jawa”. Supir Taksi itu sedikit bercanda menggambarkan kedekatan antara dua suku bangsa ini.

Namun yang pasti, telah tiga generasi Kampung Jawa di Sumatra Utara berdiri. Seakan ingin menunjukkan pada masyarakat luas bahwa kalimat “Berbeda tapi tetap Satu” bukanlah kata yang dirangkai dan diulang tiap seminggu sekali tiap upacara sekolah saja. Tapi kalimat itu memang adalah saripati masyarakat Indonesia yang komunal namun tetap menjaga keramahan dengan orang lain yang tak dikenalnya sekalipun.

Kita mungkin ingat dengan kerusuhan etis di Sampit, Kalimantan yang melibatkan dua suku besar. Atau kerusuhan ambon, yang tak hanya memisahkan dua suku berbasis agama saja. Tapi lebih dalam, kerusuhan itu telah mewariskan budaya kekerasan pada generasi mendatang. Padahal yang berkonflik itu sedianya dulunya adalah tetangga dekat sebelah rumah. Sayang sekali.

Tak berbeda jauh juga terjadi di Rwanda, seperti tergambar dalam film epik “Hotel Rwanda”. Filmnya tak begitu istimewa menurut saya, tapi tema dan ceritanya sangat sesuai dengan konteks masyarakat multi-kultural seperti Indonesia. Betapa dua suku bangsa yang sangat dekat, Suku Tutsi dan Hutu, bisa saja saling bunuh hanya karena alasan “sepele” seperti penguasaan sumber ekonomi (bisa tengok juga film “Blood Diamond”), kekuasaan, uang, dan segala macam.

Namun bertentangan dengan banyak alasan naif itu, ada pula satu alasan bagi kita untuk mengindahkan pikiran perbedaan duniawi, dan mulai berpikir kesamaan manusiawi. Seperti yang ditunjukkan oleh Paul Rusesabagina, Sang Pemilik Hotel Rwanda, yang menolong korban perang dari dua suku yang bertikai. Atau kepala desa di pelosok Sumatera Utara yang berbesar hati meminjamkan beberapa rumah kosong di wilayahnya bagi beberapa kaum pendatang. Apalah salahnya menolong mereka yang kesusahan? Bukankah Al-Quran dan hadist juga mengajarkan bahwa kesolehan sosial tidak kalah pentingnya dibandingkan kesolehan individu?

Saya tidak mengetahui keabsahan dan tingkat validitas cerita Sang Supir Taksi. Tapi ceritanya itu sedikit banyak membuat saya berpikir tentang rasa ke-Indonesia-an kita yang akhir-akhir mulai luntur. Betapa mudahnya kita berkonflik atas hal “sepele” dan alasan jangka pendek. Sementara kita menafikkan rasa kemanusiaan persaudaraan yang telah dipupuk semenjak ratusan atau ribuan tahun silam.

Huft…

“Indonesia tempat lahir beta,
Dibuai dibesarkan Bunda,
Tempat berlindung di hari tua,
Tempat akhir menutup mata

Aku bergumam sendiri. Tak sadar rumah tujuan telah sampai. Ku bayar lebih Supir Taksi. Hari sudah malam, biarlah ia membawa rejeki lebih bagi keluarganya di rumah. Juga atas hikmah yang kudapat malam itu.

Ciputat, 2010
Catatan Perjalanan Malam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun