Mohon tunggu...
Arif R. Haryono
Arif R. Haryono Mohon Tunggu... -

terkadang menulis, jarang bekerja, seringnya melamun dan bermimpi di siang bolong:....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Balada Ormas Zakat

10 Maret 2014   23:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:05 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UU Zakat telah menempatkan masyarakat sebagai entitas periferal dalam pengelolaan zakat nasional.

Persyaratan pendirian LAZ dalam UU Zakat telah memicu diskursus klasik peran masyarakat sipil dalam pengelolaan filantropi Islam. Meski MK telah mengabulkan sebagian tuntutan uji materiil, namun menilik kandungan PP no. 14 tahun 2014 tentang Pengelolaan Zakat bisa jadi tak sedikit yang akan menggerutu membacanya. Patut diingat adagium “UU yang lemah akan melahirkan aturan turunan yang lemah pula”.

Trias Politica ala Zakat

Kelompok masyarakat yang mengajukan uji materiil atas UU Pengelolaan Zakat melihat ada kelemahan substansial dalam UU Zakat. Kelemahan pertama memandatkan kepada BAZNAS empat kewenangan pengelolaan zakat, sebagai perencana, pengendali, koordinator pengelolaan zakat nasional sekaligus operator yang mengumpulkan dan mendistribusikan dana zakat dan infak shadaqah.

Dalam konsep tata kelola yang baik, pemusatan kewenangan pada BAZNAS serasa memutar kembali memori ketika begawan politik-pemerintahan era Yunani kuno dan Roma memisahkan kewenangan di antara lembaga tinggi negara. Baron de Montesquieu mempopulerkannya dengan istilah trias politica. Muaranya bukanlah ketidakpercayaan terhadap manajemen pengelolaan lembaga-lembaga negara, namun memastikan adanya ekuilibrum kewenangan dan proses pengawasan antar lembaga.

MK dalam keputusannya menyatakan bahwa persoalan kewenangan yang dimandatkan UU Zakat kepada BAZNAS sebagai pilihan kebijakan hukum (opened legal policy) dari penyusun undang-undang. Fungsi yang diberikan pun dipandang sebagai salah satu aspek mendukung pengelolaan zakat yang lebih efektif dan efisien. Thus, tidak mengganggu dan mengurangi hak warga sedikit pun dalam kegiatan pengelolaan zakat.

Kini MK sudah mengetuk palu. BAZNAS pun secara politis telah dibekali kewenangan super-body. Pertanyaannya adakah masyarakat, baik secara perseorangan maupun komunitas, turut diberikan keleluasaan laiknya BAZNAS?

Ormas Zakat

Untuk itu pantas rasanya kita melongok poin kedua kelemahan UU Zakat yaitu penghambatan ruang gerak masyarakat untuk turut aktif mengelola dana zakat dengan mensyaratkan pendirian LAZ diantaranya terdaftar sebagai Organisasi Kemasyarakatan (ormas) Islam dan berbadan hukum. Hal ini akan berimplikasi pada poin ketiga, potensi kriminalisasi masyarakat yang melakukan kegiatan pengelolaan zakat tanpa ijin pejabat berwenang serta tidak lulus uji-syarat UU Zakat.

Pasal ke-Ormas-Islam-an dalam UU Zakat memang ngeri-ngeri-sedap. Pemerintah sendiri berpandangan  bahwa pasal 18 ayat (2) bersifat kumulatif di mana baik organisasi kemasyarakatan yang sudah berdiri, organisasi berbadan hukum, perkumpulan pengurus takmir masjid dan mushalla, hingga perseorangan (alim ulama) harus berbentuk Ormas Islam sekaligus berbadan hukum. Kerancuan – jika tak mau disebut sesat – pikir ini berarti berasumsi bahwa komunitas masyarakat pada sel-sel terkecilnya mampu mengorganisasi dirinya hingga mencapai taraf ormas dan badan hukum. Jika tak mampu dan tetap nekat mengelola zakat, maka “amil ilegal” diancam hukuman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda maksimal Rp. 50,000,000 (lima puluh juta rupiah).

Padahal secara sosio-historis, lembaga zakat di Indonesia tidak hanya berbentuk organisasi kemasyarakatan semata, tapi justru bentuk yayasan dan amil perseorangan seperti ulama di masjid atau pesantren yang lebih dominan. Bahkan menurut Azyumardi Azra dalam tulisan bertajuk “Diskursus Filantropi Islam dan Civil Society” menegaskan bahwa tradisi filantropi Islam di Indonesia yang mulai tumbuh di abad 19 diwarnai oleh karakteristik swadana, mandiri dari sokongan pemerintah dan menjaga jarak dari lingkar kekuasaan (Azra, 2003). Maka jika memaksa masyarakat untuk menyesuaikan bentuk komunitasnya menjadi badan hukum serta Ormas Islam tentu tidak sesuai dengan fakta lapangan dan aspek historis filantropi Islam di Indonesia.

Mahkamah Konstitusi tidak tutup mata atas fakta historis dan sosiologis ini. Maka dalam amar putusannya MK menyatakan persyaratan UU Zakat yang menyatakan bahwa LAZ wajib berbentuk Ormas sekaligus berbadan hukum mengakibatkan ketidakadilan. MK menyadari keberadaan lembaga atau perseorangan yang selama ini telah mengelola dan bertindak sebagai amil zakat jauh sebelum UU Zakat disahkan akan kelimpungan untuk memenuhi dua bentuk organisasi ini sekaligus. Keputuan tepat kala MK memutuskan pasal persyaratan ormas Islam dan badan hukum bersifat alternatif, yaitu masyarakat dipersilahkan memilih sesuai dengan kebutuhan dan kemanfaatannya.

Balada PP Zakat

Pada sebuah diskusi publik yang membedah PP Zakat – saat itu masih berbentuk rancangan – pemerintah menyatakan bahwa PP Zakat telah menyesuaikan dengan keputusan MK atas uji  materiil UU Zakat. Kenyataannya bertolak belakang dari pernyataan yang disampaikan tersebut.

Pasal 57 PP Pengelolaan Zakat menegaskan bahwa pembentukan LAZ wajib mendapat izin menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh menteri setelah memenuhi persyaratan diantaranya terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial atau lembaga berbadan hukum. Sampai titik ini PP seperti mematuhi keputusan MK karena bentuk badan hukum bersifat alternatif.

Kontradiksi muncul memasuki pasal 58 mengenai mekanisme perizinan di mana izin pembentukan LAZ dilakukan dengan melakukan permohonan tertulis dengan melampirkan baik surat keterangan terdaftar sebagai ormas dari Kementrian Dalam Negeri serta surat keputusan pengesahan sebagai badan hukum dari Kementrian Hukum dan HAM. Pasal 58 telah berposisi diametral dengan pasal 57 PP Pengelolaan Zakat.

Ormas jika mengacu UU no. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan di pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa Ormas dapat berbentuk yayasan atau perkumpulan. Sementara pasal 15 ayat (1) sendiri dengan tegas mengatur bahwa Ormas berbadan hukum otomatis terdaftar setelah mendapat pengesahan badan hukum. Maka ketika PP Pengelolaan Zakat mewajibkan bagi LAZ untuk menyertakan syarat terdaftar sebagai Ormas dan badan hukum tentu telah bertentangan dengan keputusan MK atas uji materiil UU Zakat serta UU Ormas.

Keputusan MK yang memberi penafsiran alternatif ketimbang kumulatif atas persyaratan pendirian LAZ merupakan angin segar bagi masyarakat. Dengan ini masyarakat dapat berpartisipasi aktif mengelola dana filantropi Islam tersebut sesuai kemampuan dan kebutuhannya masing-masing, yaitu mengambil bentuk Ormas atau Yayasan dan Perkumpulan. Kehadiran PP Pengelolaan Zakat yang bertentangan dengan keputusan MK dan UU Ormas sangat terbuka peluang untuk diajukan uji materiil.

Cat: Dimuat di Koran Republika bertarikh Jumat (7/3). Karena keterbatasan tempat telah mengalami proses editing tanpa mengurangi kandungan tulisan. ini versi lengkapnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun