Sampai hari ini, perempuan masih terpinggirkan oleh kepercayaan populer bahwa semua hal 'di luar keluarga' adalah urusan laki-laki/laki-laki. Perempuan seolah-olah tidak memiliki otoritas dalam urusan 'di luar keluarga', apalagi masalah kepemimpinan. Perempuan seolah dipaksa masuk ke wilayah 'pinggiran' untuk mengurus pekerjaan rumah. Dalam konteks demokrasi dan pemerintahan, seharusnya tidak ada perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki. Karena dalam sistem pemerintahan, yang bergerak adalah sistem, bukan hanya materi.
Sangat meresahkan, zaman sudah maju sejauh ini, masih ada anggapan bahwa perempuan lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Dimana keadilan dan kesetaraan gender? Apakah itu sebabnya tempat ini dianggap sebagai tempat "medan perang" untuk  pria? Pemimpin yang berpikiran model seperti ini menelurkan kebijakan khusus pria. Tidak mencerminkan kesetaraan gender.
Sampai saat ini belum ada undang-undang di Indonesia  yang menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan memegang kekuasaan di pemerintahan. Banyak  contoh  perempuan yang  berhasil memimpin suatu daerah, baik sebagai kepala desa, kepala kelurahan, bupati, walikota, bahkan presiden. Menurut catatan sejarah, kepemimpinan di negara lain juga menjadi bukti keberhasilan seorang wanita. Di Pakistan ada Benazir Buto, di Inggris ada Margaret Teacher, dan masih banyak pemimpin perempuan lainnya yang mampu dan sukses mensejahterakan negara/masyarakatnya.
Oleh karena itu, sudah saatnya sportifitas kita  membuka ruang  yang sama untuk bertanding. Secara fisik laki-laki lebih kuat, tetapi kepemimpinan dalam konteks negara dan pemerintahan bukan hanya masalah fisik, tetapi sistem yang  membutuhkan pemikiran yang cerdas dan kemampuan untuk menyelesaikan semua masalah sosial. Dalam hal ini, perempuan tidak selalu berada di bawah laki-laki. Bahkan wanita terkadang lebih perhatian, mampu menghadapi dan mengurus hal-hal yang diabaikan pria/pria.
Di sumatera barat sendiri perempuan sebagai lambang kehormatan dan kejayaan, perempuan yang menjadi Bundo Kanduang bukan hanya penghias bentuk tetapi juga watak perempuan, sehingga harus memahami  adat yang berlaku, selain malu dan sopan, ia juga tahu bahasa lama dan tahu cara berpakaian. dengan tepat. Perempuan, mengacu pada wanita yang berakhlak baik, percaya kepada Tuhan, sopan dan menghormati diri sendiri. Sifat ini diekspresikan dalam ungkapan: kesantunan sopan santun, memakai baso-basi di lereng jo gendeng, mengetahui kesalahan, takut akan Tuhan dan Rasul, muluik manih baso katuju,  bagaua samo gadang lihai, menghormati pado ibu jo bapa, baitupun jo kita apa adanya. tua.
Saatnya segala sesuatu diselesaikan dengan memuaskan untuk mencapai tujuan bangsa dan negara yang sebenarnya. Penting agar perempuan sebagai pencetak generasi muda berkualitas Indonesia mendapat tempat yang layak. Perempuan adalah pilar negara; "Wanita yang baik, airnya akan baik" dan sebaliknya. Perempuan adalah tulang punggung guru suatu negara. Jika demikian halnya, maka tidak ada lagi alasan  untuk meminggirkan perempuan dalam masyarakat. Perempuan dalam politik di negara demokrasi memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Saya berharap wanita Indonesia selalu menjaga kemurnian hatinya, berakal budi, santun, cerdas, arif, tajam dan benar. Sudah saatnya kita berpikir secara sportif, objektif, kesetaraan gender untuk kemaslahatan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H